Home / Romansa / Mantan Jadi Bos / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Mantan Jadi Bos: Chapter 1 - Chapter 10

86 Chapters

Part 1

"Alula Maheswari. Dengan sangat berat hati, kamu saya pecat." "Apa, Pak? Kenapa tiba-tiba saya dipecat, Pak? Memangnya saya salah apa?" tanyaku beruntun. Kaget sudah pasti. Bagaimana tidak kaget coba, tiba-tiba saja aku mendengar pernyataan yang sangat menakutkan bagi para karyawan rendahan sepertiku. Padahal seingatku, aku tidak melakukan sebuah kesalahan. Jantungku sudah berdegup cukup kencang. Harapanku ini semua hanya prank. Tapi, prank untuk apa? Ini bukan bulan April, jadi sudah jelas bukan April mop. Kalau diingat-ingat, ini juga bukan hari ulang tahunku. Lalu ini semua maksudnya apa? Laki-laki paruh baya yang tengah duduk di hadapanku itu menghela napasnya berat. Dia tak kunjung juga menjawab pertanyaan dariku. Hanya menatapku penuh iba. Sebenarnya aku benci ditatap seperti ini, seolah-olah aku adalah orang yang perlu dikasihani, padahal kan aku hanya butuh jawaban. "Pak, ini pasti cuma prank, kan?" Aku memastikan. "Aduuh ... ternyata Bapak bisa bercanda juga ya. Hahaha
Read more

Part 2

Satu.Dua.Tiga.Dalam hati aku menghitung, namun tak kunjung ada tanda-tanda si pemilik mobil tadi menghampiriku. Tepatnya, tidak ada suara jejak kaki orang mau menghampiriku yang saat ini sedang pura-pura pingsan. Eh, tapi harusnya aku senang dong, karena itu berarti aku tidak akan dimarahi sama si empunya mobil, gara-gara kaca mobilnya aku lempari sepatu. Sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Hmm ... mungkin si pemilik mobil. Mataku terus terpejam, sedangkan suara langkah kaki itu semakin mendekat. Sebenarnya aku tidak tahan dengan posisi seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak seperti ini, kemungkinan aku akan dimaki-maki, dan dimintai pertanggungjawaban. "Walah, kok malah pingsan toh. Bukannya ini tadi yang lempar sepatu ke kaca mobil, ya?" Dari suaranya, aku bisa tebak kalau yang ngomong ini laki-laki yang sudah cukup berumur. Dan dari suaranya juga, aku yakin kalau aku tidak akan dimarahi, meskipun ak
Read more

Part 3

. Aku mengedipkan mata, mencoba memastikan, benarkah mobil yang berhenti di sebelahku ini adalah mobil yang kemarin. Eh, tapi yang punya mobil mewah seperti itu kan bukan cuma orang yang kemarin saja, tentu ada banyak orang yang bisa memiliki mobil seperti itu kan? Lagi pula, aku tidak hafal plat nomornya. Bodo amatlah itu mobil orang yang kemarin atau bukan, yang pasti, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik aku segera memalingkan wajah ke sisi kiri. Beruntung, tak lama kemudian traffic light berubah jadi warna hijau, dan Alena pun segera menjalankan motornya kembali. Beruntungnya lagi, kulihat mobil itu berjalan mendahului motor yang sedang membawaku ini. Huuh ... selamat, selamat. Aku mengelus dada, lega. Keadaan kembali berpihak padaku. "La, lo kenapa, kok dari tadi diem mulu, nggak biasanya?" tanya Alena dengan suara kerasnya. Maklum, masih di jalan raya. "Nggak papa, cuma lagi latihan jadi pendiem aja," jawabku asal. Nggak mungkin dong, mau me
Read more

Part 4

"Kamu jalannya pake mata nggak sih?!" hardik seorang cewek yang ada di hadapanku. Entah kapan datangnya aku tidak tahu, karena kurasa dari tadi di lobi ini tidak ada seorang pun. "Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucapku datar. Dalam hati, aku tidak merasa bersalah. Memang sih, tadi aku sedang tidak fokus jalan karena tengok kanan kiri, tapi bukan berarti semua ini murni kesalahanku, ya. Harusnya kan dia jalannya bisa menghindariku yang tadi sedang tidak hadap depan, kalau jadi tabrakan begini, berarti dia juga salah dong, karena dia jalannya juga tidak fokus. Cewek yang kutaksir umurnya sekitar awal dua puluhan ini memicingkan matanya ke arahku, entah apa maksudnya. "Lo orang baru di sini, ya?" tanyanya dengan tatapan seperti tadi. "Iya, Mbak, sekali lagi saya minta maaf, ya, beneran tadi nggak sengaja, soalnya buru-buru," ucapku sembari menelungkupkan tangan ke depan dada. Dia masih menatapku penuh selidik, tanpa menjawab permintaan maafku. Karena risih ditatap seperti itu,
Read more

Part 5

. Dengan langkah pelan, dan hati yang sudah tidak karuan, aku, dan Alena melangkah memasuki ruang divisi. Sepertinya bu Indira mengikuti di belakang kami. Huft. Tarik napas, bismillah. Semoga tidak disemprot sama CEO yang sedang memberi arahan di dalam. Lagian aku juga heran sih, masa iya seorang yang punya jabatan tertinggi di perusahaan ini langsung turun tangan memberi arahan pada karyawan di divisi marketing, yang notebene-nya bukan termasuk jajaran divisi yang tinggi di kantor ini. Aku memegang gagang pintu kaca tapi tidak tembus pandang ini, lalu dengan pelan aku mulai membukanya. "Permisi, Pak," ucapku sendirian, sedangkan Alena malah diam saja. Huh, dasar! Seketika pria yang sedang berdiri itu menoleh ke arahku, dan tatapan kami pun bertemu. Apa?! Kenapa dia lagi? Sedang apa dia di sini? Jangan-jangan dia .... Pria itu menaikkan satu alisnya, sembari menatapku dengan tatapan elangnya. Wiih ... kok jadi serem ya. "Maaf, Pak, kami terlambat," celetuk Alena y
Read more

Part 6

. Daripada mati penasaran, maka kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang, masa bodo dengan pemandangan yang akan terlihat nanti. Semoga saja tidak membuatku jantungan. "Elaah ... cuma pel-pelan doang yang jatuh, kirain apaan," gerutuku begitu melihat ternyata sebuah pel-pelan yang jatuh. "Mbak!" Aku berjingkat ketika tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari samping. "Hih! Mbak Fitri bikin kaget aja, deh," ujarku pada sosok yang kini sudah berdiri di sampingku, dan entah kapan datangnya. "Hehe ... maaf Mbak, kalau saya bikin Mbak Alula kaget. Saya cuma mau ambil pel-pelan itu," tunjuknya pada alat pel yang tadi sempat bikin jantungku hampir lompat. Mbak Fitri ini adalah salah satu office girl di kantor ini. "Oh, iya, iya." Aku mengangguk. "Eh, Mbak Fit, btw, jam segini kok kantor udah sepi ya?" Sekalian saja kan aku tanyakan tentang ini. Mbak Fitri sudah lama bekerja di sini, jadi dia pasti paham tentang kantor. "Ah, nggak juga Mbak Alula, kantor mah sampai malem jug
Read more

Part 7

."Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?" Aku berdecak sebal. Kenapa sih, nih orang malam-malam begini bikin kesel. Bukannya aku mau nolak rezeki tumpangan ya, tapi aku tuh nggak nyaman aja bareng sama dia, apalagi status kami ini 'mantan'. Dia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi yang jelas ini bikin aku grogi. "Emmm ... kayaknya gue mau pesen ojek online aja deh," putusku tanpa menatap ke arahnya. "Yakin?" Satu alisnya terangkat. "Ini sudah malam, saya tidak ingin kamu ...." "Nggak usah sok peduli!" tegasku memotong ucapannya. "Saya bukan peduli sama kamu. Saya cuma tidak mau saja kalau ada salah satu dari karyawan saya yang telat berangkat kerja besok. Bisa rugi perusahaan saya kalau kamu sering terlambat." Ada cabe nggak sih, buat nyumpel mulutnya yang nyebelin itu? Aku memutarkan bola mata. Jangan ditanya bagaimana gondoknya hati ini dibi
Read more

Part 8

"Aduuuh ... udah siang nih, La. Mau ke kantor pake apa coba? Mana tinggal tigapuluh menit lagi kantor masuk. Lo sih, tadi malem pake bocorin ban motor gue," gerutu Alena yang entah ke berapa di pagi ini. Gara-garanya karena kami berdua sama-sama terlambat bangun, dan tidak adanya kendaraan yang akan membawa kami ke kantor. "Ban bocor kan, gue nggak sengaja. Lo tenang aja deh, entar gue yang bayar tagihan biaya tambal ban," kataku. "Bukan masalah duit, La, tapi masalah kedisiplinan. Kalau nggak ada motor gini, kita bisa telat, La. Lo tau sendiri kan, waktu kita telat kemarin diberi hukuman berupa tugas yang bejibun? Nah, kalau sekarang telat lagi, bukan nggak mungkin kita dipecat, La.""Ya coba lo hubungi Gio, Len, suruh jemput," usulku mengalihkan topik, biar Alena nggak bahas masalah kantor. Pening nih kepala kalau teringat urusan kantor. "Gio nggak punya mobil. Emang lo mau bonceng bertiga? Bisa kena tilang kita." "Y
Read more

Part 9

.Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini. Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah. Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku. Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d
Read more

Part 10

Mengenang tentang masa lalu adalah hal yang tak kusukai, baik itu masa lalu yang indah, atau bahkan masa lalu yang buruk. Alasannya satu, hanya akan membuat hati menjadi galau, dan mood seketika berubah jadi nggak enak.  Kenangan yang indah memang kerap kali membuat kita tersenyum jika mengingatnya. Namun, itu hanya sekilas saja, setelahnya kita akan merasa sedih, karena kita tak bisa memutar waktu untuk kembali ke masa-masa indah itu.  Sedangkan untuk kenangan buruk, sudah pasti hanya akan membuat kita kembali merasa sedih, jika kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepala.  Tersebab itu semua, aku paling malas jika harus mengenang tentang masa lalu.  Dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena bayangan-bayangan masa lampau yang dengan kurang ajarnya terus berkelebat di kepala. Sudah berulang kali aku coba mengusirnya, tapi tetap saja terus berputar-putar di kepala, bagaikan sebuah film.  Alhasil, hari ini mataku pun
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status