Home / Romansa / Mantan Jadi Bos / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Mantan Jadi Bos: Chapter 41 - Chapter 50

86 Chapters

Part 41

"Alula?" "Kak Bara?" Mengapa ada dia di sini? Apa dia suaminya tante Nesya? Tapi, rasanya nggak mungkin, sebab tante Nesya umurnya sudah empat puluh lebih, sedangkan kak Bara sekitaran tiga puluh lima. Tapi, bisa jadi kan, kalau kak Bara suka yang lebih tua? Dengan durasi yang cukup lama, kami saling bertatapan. Aku nggak tahu apa arti tatapannya padaku, sedang arti tatapanku padanya, adalah rasa heran kenapa bisa bertemu di sini, dan berbagai pertanyaan yang muncul di kepala. Hingga akhirnya, sebuah suara mengalihkan tatapanku dari kak Bara. suara itu adalah deheman dari mbok Inah, yang sedari tadi berdiri di sampingku. Mungkin dia juga ikutan heran sepertiku, bedanya, herannya mbok Inah, kenapa aku dan orang di hadapanku ini saling memandang. "Eh, Mbok, saya mau langsung pulang, ya," ucapku pada mbok Inah, dengan sedikit grogi, karena orang di hadapanku masih setia memandangiku. "Iya, Mbak. Kata nyonya,
Read more

Part 42

"Alula, kamu mau jadi pacar aku?" Hah? Demi apa, dosen paling ganteng di kampus, nyatain cinta sama aku? Aku lagi mimpi nggak sih, ini? Pipi kanan kiri kutepuk berulang kali, dan sakit rasanya. Artinya ini bukan mimpi. Di hadapanku, dia setengah berlutut sambil menyodorkan setangkai bunga mawar merah. Khas seperti orang yang tengah menyatakan cinta pada umumnya. "P-pak Arsen, ng-ngak ber-bercanda, kan?" Ih, kok aku jadi gagap begini, sih. Mana jantung udah mau loncat, lagi.Dia tersenyum manis, sangat manis, gula sama madu pun kalah. Lalu dia berdiri, tak lagi berlutut seperti tadi. "Kamu mau saya bercanda, atau serius?" Aduuh ... gimana, ya, aku pengen senyum-senyum jadinya, tapi malu. Siapa tahu ini cuma prank dari dosen yang paling digilai oleh para makhluk perempuan di kampus ini. "Serius, Pak." "Iya, ini saya lagi serius, Alula," katanya, "mau, kan, jadi pacar saya?" B
Read more

Part 43

"Nah, Salsa, sekarang udahan dulu mainnya, ya. Waktunya bobo siang," bujukku pada anak majikan, alias anak tante Nesya. Wajah Salsa berubah cemberut setelah kubujuk tadi. "Yah, Kak, padahal masih pengin main." "Mainnya nanti lagi, sekarang waktunya bobo." Tante Nesya memberi tahu jadwal tentang mengurus anaknya ini. Mulai dari mandi, main, makan, sampai tidur siang. "Tapi, kalau nanti aku bobo, Kak Alula jangan pulang, ya," pinta Salsa dengan wajah polosnya. Aku tersenyum ke arahnya, lalu membelai lembut rambut hitam panjangnya. "Iya, Salsa. Kan emang belum waktunya kak Alula pulang." "Ya udah, deh, kalau gitu, aku mau bobo." Salsa mulai beranjak, meninggalkan mainannya yang berserakan di lantai. "Oh, ya, aku lupa ngasih tau kak Alula." "Kasih tau apa, nih? Kak Alula penasaran, dong," godaku. "Katanya om Bara, nanti sore, aku mau diajak nganterin kak Alula, pake mobil om Bara."&nb
Read more

Part 44

"Len, lo tau nggak, kalau pak Arsen udah meninggal?" tanyaku pada Alena yang kini berbaring di sampingku. Kami mau tidur karena sudah hampir larut. Tapi, kebiasaan sebelum tidur, ngobrol dulu sebentar. Pillow talk istilahnya. "Tau. Emangnya kenapa?" jawab Alena. "Kok lo nggak ngasih tau gue, sih?" "Waktu itu lo masih kerja di perusahaan yang lama, La. Kita kan juga jarang kontekan. Lagian, ngapain sih, nanyain itu? Lo nggak lagi bersedih atas kematian dosen yang lo suka dulu, kan?" balas Alena. "Ya, gue nggak sedih, sih, cuma kaget aja. Dan ternyata, pak Arsen itu, adik iparnya tante Nesya, lho, Len," kataku. "Tante Nesya bos lo sekarang?" "Iya. Gue baru tahu tadi siang, karena diceritain sama anaknya tante Nesya." "Kalau pak Arsen adik iparnya tante Nesya, berarti kak Bara juga dong?" tebak Alena. "Ya, iya. Itu makanya waktu itu gue ketemu dia  di rumah tante Nesya," jawabku
Read more

Part 45

Masa kerja dengan tante Nesya sudah selesai. Itu berarti, masa skors-ku di perusahaan pun selesai. Lusa aku akan berangkat kembali ke kantor. Kembali berjibaku dengan setupuk pekerjaan. Ada senang dan sedih yang dirasa. Senangnya, sebentar lagi aku bertemu dengan teman-temanku di kantor, khususnya yang berada satu divisi denganku. Satu bulan rasanya lama sekali tak bertemu dengan mereka. Kangen masa-masa bercanda bareng, hang out bareng, dan nggosip bareng. Sedihnya, aku harus berpisah dengan Salsa. Meski masih berada di satu kota yang sama, tetap saja jarang bertemu nantinya. Aku udah terlanjur sayang sama dia. Sudah kuanggap seperti adikku sendiri, maklum dari dulu aku pengen punya adik perempuan, eh dapatnya dua adik laki-laki. Setelah kejadian di mana Gaza datang ke rumah tante Nesya, aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Padahal, dugaanku dia akan sering ke rumah tante Nesya, setelah tahu aku bekerja di sana. Eh, memangnya aku sia
Read more

Part 46

Dengan rasa semangat yang membara, hari ini aku kembali bekerja di perusahaan Alexander Corp. Berboncengan dengan Alena, aku bertanya tentang banyak hal yang terjadi di kantor saat tidak ada aku di sana. Sebenarnya sih, setiap hari aku tanya sama Alena, tapi sekarang aku tanyakan lagi. Setibanya di depan bangunan yang menjulang tinggi, kami segera menuju tempat parkir khusus untuk sepeda motor. Helm kubuka, lalu bercermin pada kaca spion motor, sambil merapikan rambut, serta melihat kalau-kalau ada yang aneh di wajahku. Untungnya, nggak ada apa-apa, bahkan jerawat pun nggak ada. Lain dengan Alena, dia sibuk dengan cermin kecil di tangan yang diarahkan ke wajahnya. Mengoles lagi bibirnya yang menurutku sudah merah. Berbeda dengan Alena, aku justru sangat jarak pake lipstik, apalagi yang berwarna terang. Seringnya pake lip balm, atau jika lagi pengen pake lipstik, aku memilih yang berwarna nude. "Ayo buruan,
Read more

Part 47

Tanpa mau mendengar jawabanku, Gaza segera pergi. Mau nggak mau, aku harus menuruti perkataannya. Tapi kira-kira, apa yang mau diomongin di ruangannya? Dengan hati kesal, aku terpaksa mengikuti Gaza. Jarakku kurang lebih lima meter di belakang Gaza. Sengaja seperti ini, karena aku takut jika ada karyawan yang melihatku berjalan tepat di belakang Gaza, nanti akan timbul gosip. Adegan menabrak Gaza tadi pun, aku yakin si Angel, dan teman-temannya itu bakalan membuat gosip baru lagi. Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan pada Alena, apakah benar selama ini ada gosip tentangku, dan Gaza. Menghembuskan napas berat, aku mencoba menguatkan diri sebelum benar-benar masuk ke ruangan Gaza. Gagang pintu kupegang, lalu kubuka perlahan, sambil mengucap salam layaknya seorang bawahan ketika akan menghadap sang atasan. Begitu memasuki ruangan ini, kulihat Gaza tengah setengah duduk di meja kerjanya. Tangannya dia lipat ke dada, dan jangan lupakan tatapan matanya y
Read more

Part 48

"Lo nggak sakit hati, La?" Jangan tanyakan soal itu, karena jelas aku sakit hati. Apalagi, sekarang aku harus kembali melihat pemandangan di mana Gaza dan Lashira tengah berjalan bersisian, sambil melempar canda tawa. Mengapa selalu kebetulan seperti ini, sih? Niat hati ingin mendinginkan pikiran, malah harus tersaji pemandangan yang menyebalkan. "Tuh, liat, yang lagi dibicarain malah dateng," kata Alena sambil menunjuk ke arah Gaza dan Lashira. "Pergi aja, yuk," ajak Alena seraya menarik lengan tanganku. Aku pun menurut. Kami bangun dari duduk, kemudian beranjak meninggalkan taman ini. Namun, baru beberapa langkah, kudengar Lashira memanggil namaku. "Alula, tunggu!" Sontak baik aku maupun Alena menghentikan langkah. Aku menoleh ke arah Lashira, meski sebelumnya Alena menyuruh agar tak usah dihiraukan. Kedua sejoli itu berjalan menghampiriku. Lashira dengan agresifnya bergelayut manja di lengan Gaza. Sejuj
Read more

Part 49

"Memang, acaranya kapan?" Dih, aku kok jadi kepo begini, ya? Giliran dijawab, pasti nanti jadi nyesek sendiri. "Dua minggu lagi," balas Lashira, "kamu mau ikut, Alula?" "Eh? Ng-nggak," tolakku halus. "Lagian, aku kan bukan siapa-siapa." Ya, memangnya aku ini siapa, sehingga harus menghadiri pernikahan petinggi perusahaan. Cuma rakyat jelata yang pantasnya jadi petugas 'rewang'. "Lho, nggak papa. Aku udah nganggep kamu temen aku, kok. Kan, sekalian nanti di sana kalau aku butuh sesuatu, bisa minta tolong ke kamu, hehe ...." Lashira berucap dengan entengnya. Dianggap teman kalau lagi butuh. Kentara banget cuma mau manfaatin aku. Lagian, males banget datang jauh-jauh ke Singapur, nyampe sana cuma mau 'mbabu.'"Ekhem! Kalau mau nyuruh-nyuruh orang, sekalian sewa asisten pribadi, jangan nyuruh Alula. Alula itu bukan pembokat lo, ya," kata Alena yang entah sejak kapan ada di sini, padahal setahuku dari tadi dia luar.&
Read more

Part 50

 Tidak terasa satu minggu sudah aku membantu persiapan pernikahan Gaza, dan Lashira. Lebih tepatnya sih, jadi babunya Lashira. Mulai dari melihat gedung untuk acara resepsi di Jakarta, sampai test food sama salah satu jasa catering ternama di kota ini. Untuk acara akadnya memang di Singapura, entah alasannya apa. Lalu, sepuluh hari setelahnya, baru resepsi di Jakarta. Sekali lagi jangan tanya bagaimana kabar hatiku, karena setiap menemani Lashira, keping demi keping hati ini jatuh. Terlebih lagi jika Gaza turut menemani, dan mempertontonkan kemesraan mereka di depan mata ini. Kurebahkan tubuh lelah ini di kasur yang sudah mulai usang. Aku masih tinggal bersama Alena, karena dia yang menyuruhku agar tetap di sini. Setuju aja sih, sama ide Alena, soalnya kan bisa irit uang. Setiap bulan, kami bisa patungan untuk bayar sewa kost. "Ish! Lo tuh baru pulang udah langsung rebahan aja," ucap Alena yang kini berdiri sambil berk
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status