"Nah, Salsa, sekarang udahan dulu mainnya, ya. Waktunya bobo siang," bujukku pada anak majikan, alias anak tante Nesya.
Wajah Salsa berubah cemberut setelah kubujuk tadi. "Yah, Kak, padahal masih pengin main."
"Mainnya nanti lagi, sekarang waktunya bobo."
Tante Nesya memberi tahu jadwal tentang mengurus anaknya ini. Mulai dari mandi, main, makan, sampai tidur siang.
"Tapi, kalau nanti aku bobo, Kak Alula jangan pulang, ya," pinta Salsa dengan wajah polosnya.
Aku tersenyum ke arahnya, lalu membelai lembut rambut hitam panjangnya. "Iya, Salsa. Kan emang belum waktunya kak Alula pulang."
"Ya udah, deh, kalau gitu, aku mau bobo." Salsa mulai beranjak, meninggalkan mainannya yang berserakan di lantai. "Oh, ya, aku lupa ngasih tau kak Alula."
"Kasih tau apa, nih? Kak Alula penasaran, dong," godaku.
"Katanya om Bara, nanti sore, aku mau diajak nganterin kak Alula, pake mobil om Bara."&nb
"Len, lo tau nggak, kalau pak Arsen udah meninggal?" tanyaku pada Alena yang kini berbaring di sampingku. Kami mau tidur karena sudah hampir larut. Tapi, kebiasaan sebelum tidur, ngobrol dulu sebentar. Pillow talk istilahnya."Tau. Emangnya kenapa?" jawab Alena."Kok lo nggak ngasih tau gue, sih?""Waktu itu lo masih kerja di perusahaan yang lama, La. Kita kan juga jarang kontekan. Lagian, ngapain sih, nanyain itu? Lo nggak lagi bersedih atas kematian dosen yang lo suka dulu, kan?" balas Alena."Ya, gue nggak sedih, sih, cuma kaget aja. Dan ternyata, pak Arsen itu, adik iparnya tante Nesya, lho, Len," kataku."Tante Nesya bos lo sekarang?""Iya. Gue baru tahu tadi siang, karena diceritain sama anaknya tante Nesya.""Kalau pak Arsen adik iparnya tante Nesya, berarti kak Bara juga dong?" tebak Alena."Ya, iya. Itu makanya waktu itu gue ketemu dia di rumah tante Nesya," jawabku
Masa kerja dengan tante Nesya sudah selesai. Itu berarti, masa skors-ku di perusahaan pun selesai. Lusa aku akan berangkat kembali ke kantor. Kembali berjibaku dengan setupuk pekerjaan.Ada senang dan sedih yang dirasa. Senangnya, sebentar lagi aku bertemu dengan teman-temanku di kantor, khususnya yang berada satu divisi denganku. Satu bulan rasanya lama sekali tak bertemu dengan mereka. Kangen masa-masa bercanda bareng, hang out bareng, dan nggosip bareng.Sedihnya, aku harus berpisah dengan Salsa. Meski masih berada di satu kota yang sama, tetap saja jarang bertemu nantinya. Aku udah terlanjur sayang sama dia. Sudah kuanggap seperti adikku sendiri, maklum dari dulu aku pengen punya adik perempuan, eh dapatnya dua adik laki-laki.Setelah kejadian di mana Gaza datang ke rumah tante Nesya, aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Padahal, dugaanku dia akan sering ke rumah tante Nesya, setelah tahu aku bekerja di sana. Eh, memangnya aku sia
Dengan rasa semangat yang membara, hari ini aku kembali bekerja di perusahaan Alexander Corp.Berboncengan dengan Alena, aku bertanya tentang banyak hal yang terjadi di kantor saat tidak ada aku di sana. Sebenarnya sih, setiap hari aku tanya sama Alena, tapi sekarang aku tanyakan lagi.Setibanya di depan bangunan yang menjulang tinggi, kami segera menuju tempat parkir khusus untuk sepeda motor.Helm kubuka, lalu bercermin pada kaca spion motor, sambil merapikan rambut, serta melihat kalau-kalau ada yang aneh di wajahku. Untungnya, nggak ada apa-apa, bahkan jerawat pun nggak ada.Lain dengan Alena, dia sibuk dengan cermin kecil di tangan yang diarahkan ke wajahnya. Mengoles lagi bibirnya yang menurutku sudah merah.Berbeda dengan Alena, aku justru sangat jarak pake lipstik, apalagi yang berwarna terang. Seringnya pake lip balm, atau jika lagi pengen pake lipstik, aku memilih yang berwarna nude."Ayo buruan,
Tanpa mau mendengar jawabanku, Gaza segera pergi. Mau nggak mau, aku harus menuruti perkataannya. Tapi kira-kira, apa yang mau diomongin di ruangannya?Dengan hati kesal, aku terpaksa mengikuti Gaza. Jarakku kurang lebih lima meter di belakang Gaza. Sengaja seperti ini, karena aku takut jika ada karyawan yang melihatku berjalan tepat di belakang Gaza, nanti akan timbul gosip. Adegan menabrak Gaza tadi pun, aku yakin si Angel, dan teman-temannya itu bakalan membuat gosip baru lagi. Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan pada Alena, apakah benar selama ini ada gosip tentangku, dan Gaza.Menghembuskan napas berat, aku mencoba menguatkan diri sebelum benar-benar masuk ke ruangan Gaza. Gagang pintu kupegang, lalu kubuka perlahan, sambil mengucap salam layaknya seorang bawahan ketika akan menghadap sang atasan.Begitu memasuki ruangan ini, kulihat Gaza tengah setengah duduk di meja kerjanya. Tangannya dia lipat ke dada, dan jangan lupakan tatapan matanya y
"Lo nggak sakit hati, La?"Jangan tanyakan soal itu, karena jelas aku sakit hati. Apalagi, sekarang aku harus kembali melihat pemandangan di mana Gaza dan Lashira tengah berjalan bersisian, sambil melempar canda tawa.Mengapa selalu kebetulan seperti ini, sih? Niat hati ingin mendinginkan pikiran, malah harus tersaji pemandangan yang menyebalkan."Tuh, liat, yang lagi dibicarain malah dateng," kata Alena sambil menunjuk ke arah Gaza dan Lashira. "Pergi aja, yuk," ajak Alena seraya menarik lengan tanganku.Aku pun menurut. Kami bangun dari duduk, kemudian beranjak meninggalkan taman ini. Namun, baru beberapa langkah, kudengar Lashira memanggil namaku. "Alula, tunggu!"Sontak baik aku maupun Alena menghentikan langkah. Aku menoleh ke arah Lashira, meski sebelumnya Alena menyuruh agar tak usah dihiraukan.Kedua sejoli itu berjalan menghampiriku. Lashira dengan agresifnya bergelayut manja di lengan Gaza. Sejuj
"Memang, acaranya kapan?" Dih, aku kok jadi kepo begini, ya? Giliran dijawab, pasti nanti jadi nyesek sendiri."Dua minggu lagi," balas Lashira, "kamu mau ikut, Alula?""Eh? Ng-nggak," tolakku halus. "Lagian, aku kan bukan siapa-siapa."Ya, memangnya aku ini siapa, sehingga harus menghadiri pernikahan petinggi perusahaan. Cuma rakyat jelata yang pantasnya jadi petugas 'rewang'."Lho, nggak papa. Aku udah nganggep kamu temen aku, kok. Kan, sekalian nanti di sana kalau aku butuh sesuatu, bisa minta tolong ke kamu, hehe ...." Lashira berucap dengan entengnya.Dianggap teman kalau lagi butuh. Kentara banget cuma mau manfaatin aku. Lagian, males banget datang jauh-jauh ke Singapur, nyampe sana cuma mau 'mbabu.'"Ekhem! Kalau mau nyuruh-nyuruh orang, sekalian sewa asisten pribadi, jangan nyuruh Alula. Alula itu bukan pembokat lo, ya," kata Alena yang entah sejak kapan ada di sini, padahal setahuku dari tadi dia luar.&
Tidak terasa satu minggu sudah aku membantu persiapan pernikahan Gaza, dan Lashira. Lebih tepatnya sih, jadi babunya Lashira. Mulai dari melihat gedung untuk acara resepsi di Jakarta, sampai test food sama salah satu jasa catering ternama di kota ini.Untuk acara akadnya memang di Singapura, entah alasannya apa. Lalu, sepuluh hari setelahnya, baru resepsi di Jakarta.Sekali lagi jangan tanya bagaimana kabar hatiku, karena setiap menemani Lashira, keping demi keping hati ini jatuh. Terlebih lagi jika Gaza turut menemani, dan mempertontonkan kemesraan mereka di depan mata ini.Kurebahkan tubuh lelah ini di kasur yang sudah mulai usang. Aku masih tinggal bersama Alena, karena dia yang menyuruhku agar tetap di sini. Setuju aja sih, sama ide Alena, soalnya kan bisa irit uang. Setiap bulan, kami bisa patungan untuk bayar sewa kost."Ish! Lo tuh baru pulang udah langsung rebahan aja," ucap Alena yang kini berdiri sambil berk
"Len, gue di mana?" tanyaku saat pertama kali membuka mata, dan yang kudapati hanya Alena yang tengah duduk di samping ranjang tempatku berbaring sekarang. "Lo udah sadar, La? Syukur deh." Alena tersenyum senang. "Gue khawatir tau, waktu dikabarin kalau lo pingsan di ruangan pak Gaza. Sekarang lo ada di pos kesehatan kantor." Aku mengernyitkan dahi, mencerna perkataan Alena. Pingsan di ruangan Gaza? Yang kuingat terakhir kalinya, aku menangis di pelukan Gaza, dan setelah itu aku nggak ingat apa-apa lagi. "Siapa yang bawa gue ke sini, Len?" Tentu aku harus tahu siapa gerangan yang membawaku ke pos kesehatan di kantor ini. Kalau aku yakin sih, bukan Gaza. Mana mungkin seorang petinggi perusahaan mau membawaku ke sini, yang notebene-nya aku hanyalah karyawan biasa. "Tadi gue sempet tanya sama dokter yang jaga di sini, katanya sih, pak Gaza sendiri yang bopong lo ke sini. Terus, pak Gaza j
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara