Tanpa mau mendengar jawabanku, Gaza segera pergi. Mau nggak mau, aku harus menuruti perkataannya. Tapi kira-kira, apa yang mau diomongin di ruangannya?
Dengan hati kesal, aku terpaksa mengikuti Gaza. Jarakku kurang lebih lima meter di belakang Gaza. Sengaja seperti ini, karena aku takut jika ada karyawan yang melihatku berjalan tepat di belakang Gaza, nanti akan timbul gosip. Adegan menabrak Gaza tadi pun, aku yakin si Angel, dan teman-temannya itu bakalan membuat gosip baru lagi. Ah, sebaiknya nanti aku tanyakan pada Alena, apakah benar selama ini ada gosip tentangku, dan Gaza.
Menghembuskan napas berat, aku mencoba menguatkan diri sebelum benar-benar masuk ke ruangan Gaza. Gagang pintu kupegang, lalu kubuka perlahan, sambil mengucap salam layaknya seorang bawahan ketika akan menghadap sang atasan.
Begitu memasuki ruangan ini, kulihat Gaza tengah setengah duduk di meja kerjanya. Tangannya dia lipat ke dada, dan jangan lupakan tatapan matanya y
"Lo nggak sakit hati, La?"Jangan tanyakan soal itu, karena jelas aku sakit hati. Apalagi, sekarang aku harus kembali melihat pemandangan di mana Gaza dan Lashira tengah berjalan bersisian, sambil melempar canda tawa.Mengapa selalu kebetulan seperti ini, sih? Niat hati ingin mendinginkan pikiran, malah harus tersaji pemandangan yang menyebalkan."Tuh, liat, yang lagi dibicarain malah dateng," kata Alena sambil menunjuk ke arah Gaza dan Lashira. "Pergi aja, yuk," ajak Alena seraya menarik lengan tanganku.Aku pun menurut. Kami bangun dari duduk, kemudian beranjak meninggalkan taman ini. Namun, baru beberapa langkah, kudengar Lashira memanggil namaku. "Alula, tunggu!"Sontak baik aku maupun Alena menghentikan langkah. Aku menoleh ke arah Lashira, meski sebelumnya Alena menyuruh agar tak usah dihiraukan.Kedua sejoli itu berjalan menghampiriku. Lashira dengan agresifnya bergelayut manja di lengan Gaza. Sejuj
"Memang, acaranya kapan?" Dih, aku kok jadi kepo begini, ya? Giliran dijawab, pasti nanti jadi nyesek sendiri."Dua minggu lagi," balas Lashira, "kamu mau ikut, Alula?""Eh? Ng-nggak," tolakku halus. "Lagian, aku kan bukan siapa-siapa."Ya, memangnya aku ini siapa, sehingga harus menghadiri pernikahan petinggi perusahaan. Cuma rakyat jelata yang pantasnya jadi petugas 'rewang'."Lho, nggak papa. Aku udah nganggep kamu temen aku, kok. Kan, sekalian nanti di sana kalau aku butuh sesuatu, bisa minta tolong ke kamu, hehe ...." Lashira berucap dengan entengnya.Dianggap teman kalau lagi butuh. Kentara banget cuma mau manfaatin aku. Lagian, males banget datang jauh-jauh ke Singapur, nyampe sana cuma mau 'mbabu.'"Ekhem! Kalau mau nyuruh-nyuruh orang, sekalian sewa asisten pribadi, jangan nyuruh Alula. Alula itu bukan pembokat lo, ya," kata Alena yang entah sejak kapan ada di sini, padahal setahuku dari tadi dia luar.&
Tidak terasa satu minggu sudah aku membantu persiapan pernikahan Gaza, dan Lashira. Lebih tepatnya sih, jadi babunya Lashira. Mulai dari melihat gedung untuk acara resepsi di Jakarta, sampai test food sama salah satu jasa catering ternama di kota ini.Untuk acara akadnya memang di Singapura, entah alasannya apa. Lalu, sepuluh hari setelahnya, baru resepsi di Jakarta.Sekali lagi jangan tanya bagaimana kabar hatiku, karena setiap menemani Lashira, keping demi keping hati ini jatuh. Terlebih lagi jika Gaza turut menemani, dan mempertontonkan kemesraan mereka di depan mata ini.Kurebahkan tubuh lelah ini di kasur yang sudah mulai usang. Aku masih tinggal bersama Alena, karena dia yang menyuruhku agar tetap di sini. Setuju aja sih, sama ide Alena, soalnya kan bisa irit uang. Setiap bulan, kami bisa patungan untuk bayar sewa kost."Ish! Lo tuh baru pulang udah langsung rebahan aja," ucap Alena yang kini berdiri sambil berk
"Len, gue di mana?" tanyaku saat pertama kali membuka mata, dan yang kudapati hanya Alena yang tengah duduk di samping ranjang tempatku berbaring sekarang. "Lo udah sadar, La? Syukur deh." Alena tersenyum senang. "Gue khawatir tau, waktu dikabarin kalau lo pingsan di ruangan pak Gaza. Sekarang lo ada di pos kesehatan kantor." Aku mengernyitkan dahi, mencerna perkataan Alena. Pingsan di ruangan Gaza? Yang kuingat terakhir kalinya, aku menangis di pelukan Gaza, dan setelah itu aku nggak ingat apa-apa lagi. "Siapa yang bawa gue ke sini, Len?" Tentu aku harus tahu siapa gerangan yang membawaku ke pos kesehatan di kantor ini. Kalau aku yakin sih, bukan Gaza. Mana mungkin seorang petinggi perusahaan mau membawaku ke sini, yang notebene-nya aku hanyalah karyawan biasa. "Tadi gue sempet tanya sama dokter yang jaga di sini, katanya sih, pak Gaza sendiri yang bopong lo ke sini. Terus, pak Gaza j
"Jadi, saya boleh cuti kapan, Pak?" tanyaku pada pak Angga, selaku ketua HRD.Kemarin, pak Abraham membolehkanku untuk cuti, ketika dia ada di Singapura. Dan tadi malam mereka berangkat ke sana, itu berarti aku sudah boleh mengajukan cuti dong?"Mulai Senin depan, ya, Alula," jawab pak Angga."Tapi, Pak, kata pak Abraham, saya udah boleh cuti kalau beliau di Singapore. Bukannya tadi malam berangkat, ya?" protesku."Yang semalam berangkat baru pak Gaza saja, Alula. Pak Abraham, dan istrinya baru akan berangkat Sabtu besok," ucap pak Angga. "Lagi pula, ini kan sudah hari Kamis Alula. Tinggal besok Jum'at saja kamu berangkat kerja. Sabtu dan Minggu memang biasa libur, kan?"Iya, sih, tapi tetap saja aku sudah pengen cuti. Di masa-masa keadaan hati yang seperti ini, mana semangat kerja, coba? Tapi, kalau mau menawar, memangnya aku siapa? Aku kan hanya ka
"Keadaan aku nggak penting, Gaza. Sekarang yang harus kamu prioritaskan itu Lashira.""Alula. Masih bolehkah saya menyimpan rasa untukmu?"Aku menghela napas berat. Rasanya sangat tidak nyaman dalam posisi seperti ini. Kalau boleh jujur, aku memang ingin Gaza selalu mencintaiku, tapi apakah itu bukan perbuatan yang kurang ajar?"Gaza, seperti yang aku bilang tadi, prioritas kamu sekarang itu Lashira. Dia istri kamu, yang berarti lebih berhak untuk kamu berikan perasaan. Kamu jangan buat posisi aku seperti perempuan pengganggu suami orang. Aku takut dicap pelakor," ucapku.Digosipkan dekat dengan Gaza waktu itu saja, sudah membuat hidupku tak nyaman, apalagi sekarang yang status Gaza sudah beristri."Tapi saya tidak bisa melupakan kamu, Alula. Tidak bisa," kata Gaza, sendu."Ada hati yang harus kamu jaga, Gaza. Jangan sia-si
Selesai cuti selama seminggu, kini aku kembali berangkat ke kantor lagi. Baru kemarin rasanya tiba di kampung, sekarang sudah ada di kota lagi, dengan segala hiruk-pikuknya, dengan segala kesibukan yang ada.Lalu, apa selama cuti kemarin, hatiku sekarang sudah membaik?Jawabannya tidak. Tepatnya belum membaik.Yang harus aku hadapi ke depannya, bagaimana caranya berhadapan dengan Gaza, apalagi rencananya nanti aku akan dijadikan sekretarisnya. Bukankah itu semakin membuat hatiku memburuk?Menghela napas berat, aku turun dari motor. Sekarang aku, dan Alena berangkat ke kantor dengan menaiki motor masing-masing, meski kami satu kost. Kata Alena, sayang kalau motor baruku nggak dipake, nanti dikira aku nggak suka."Dah, yuk, masuk," ajak Alena setelah dia selesai berdandan."Len, gue sanggup nggak, ya? Gue nggak yakin bisa kerja secara profesional," keluhku."Pilihan ada di tangan lo. Kalau lo ya
Dan orang itu adalah Lashira, dan juga ....Dari perawakan laki-laki yang bersama Lashira, sepertinya bukan Gaza. Lalu, kenapa mereka sedang berc**man di halaman rumah pak Abraham? Apa Lashira nggak takut ketahuan dia sedang selingkuh?Benar-benar keterlaluan. Aku relakan Gaza buat menikah dengan dia, tapi baru beberapa hari saja mereka menikah, Lashira sudah berani-beraninya selingkuh, di halaman rumah mertuanya, lagi. Sungguh perempuan yang nggak punya hati.Aku nggak rela Gaza dikhianati sama Lashira. Oleh sebab itu, sekarang aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku blazer, kemudian memotret mereka. Ini akan menjadi bukti yang akan aku tunjukkan pada keluarga Alexander, terutama pada Gaza.Setelah mengambil beberapa gambar, kuhampiri dua makhluk menji**kkan itu. Kalau perlu, aku kasih pelajaran sekalian."Heh! Apa yang kalian lakukan di sini?!" teriakku ketika sudah di dekat Lashira, dan laki-laki yang entah siapa itu.&nbs
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara