"Kamu jalannya pake mata nggak sih?!" hardik seorang cewek yang ada di hadapanku. Entah kapan datangnya aku tidak tahu, karena kurasa dari tadi di lobi ini tidak ada seorang pun.
"Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucapku datar. Dalam hati, aku tidak merasa bersalah. Memang sih, tadi aku sedang tidak fokus jalan karena tengok kanan kiri, tapi bukan berarti semua ini murni kesalahanku, ya. Harusnya kan dia jalannya bisa menghindariku yang tadi sedang tidak hadap depan, kalau jadi tabrakan begini, berarti dia juga salah dong, karena dia jalannya juga tidak fokus.
Cewek yang kutaksir umurnya sekitar awal dua puluhan ini memicingkan matanya ke arahku, entah apa maksudnya.
"Lo orang baru di sini, ya?" tanyanya dengan tatapan seperti tadi.
"Iya, Mbak, sekali lagi saya minta maaf, ya, beneran tadi nggak sengaja, soalnya buru-buru," ucapku sembari menelungkupkan tangan ke depan dada.
Dia masih menatapku penuh selidik, tanpa menjawab permintaan maafku. Karena risih ditatap seperti itu, aku pun memilih jongkok untuk mengambil berkas-berkas yang tadi jatuh. Tuh, kan jadi kelupaan, untung saja tidak ada yang terbang berkas-berkasnya.
Aku sibuk memungut berkas-berkas yang berserakan, sedangkan cewek itu masih saja berdiri di tempat semula. Barangkali setelah ini dia mau kembali memakiku. Kalau sampai itu terjadi, maka aku tidak akan bersikap ramah lagi seperti tadi. Bodo amat jika nanti dibilang karyawan baru yang tidak tahu diri.
Selesai membereskan berkas-berkas, aku kembali berdiri. Kulihat cewek itu masih menatapku.
"Permisi, Mbak," pamitku sembari tersenyum padanya, meskipun sebenarnya terpaksa.
Baru saja satu langkah, cewek itu kembali bersuara setelah tadi terdiam lumayan lama. "Tunggu! Gue belum selesai ngomong sama lo."
Aku memutarkan bola mata, malas jika masalah tadi harus diperpanjang. Tanpa membuang waktu, aku pun berbalik kembali menghadapnya. "Ada apa lagi ya, Mbak? Tadi kan saya sudah minta maaf. Beneran tadi saya nggak sengaja, Mbak, tolong jangan diperpanjang."
"Ck! Siapa yang mau memperpanjang? Gue tuh cuma mau tanya aja sama lo," katanya sedikit ketus. "Lo Alula, bukan?"
What?
Dia tahu namaku?
Dari mana coba? Perasaan baru kali ini aku ketemu sama dia.
"Iya, Mbak, saya Alula. Kok Mbak tahu nama saya, ya?"
"Ya, cuma nebak aja," jawabnya enteng.
Nebak?
Dia cenayang kali ya, yang bisa nebak dengan tepat.
"Masa sih? Kalau cuma nebak, nggak mungkin bisa setepat itu dong, Mbak, apalagi kita baru pertama kalinya ketemu." Aku yang tadinya ingin segera pergi dari hadapannya, tiba-tiba saja tertarik untuk balik bertanya.
"Lo it--"
"Lashira! Ngapain kamu masih di sini?" Suara seorang pria yang tiba-tiba datang, sontak menghentikan perkataan cewek di depanku ini.
Penasaran dengan pria itu, aku pun menoleh ke belakang. Dan pada saat bersamaan pula, si pria itu menatap ke arahku.
Oh ... astaga!
Dia?
"Oh, ini Kak, tadi aku nabrak dia," tunjuk cewek di depanku. Ooh, jadi namanya Lashira. Terus apa hubungannya sama ....
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya ketus padaku.
Ish! Lama nggak ketemu kenapa dia jadi berubah jadi begini sih. Mana tambah ganteng, lagi. Nyesel ketemu sama dia.
"Ya gue kerja di sinilah. Lo sendiri ngapain di sini?" Aku balik bertanya dengan nada yang tak kalah ketusnya.
"Suka-suka saya mau di mana, bukan urusan kamu!" ujarnya dengan tatapan tajamnya padaku. Sedetik kemudian, dia berbalik menghadap cewek yang bernama Lashira tadi. "Sayang, udah yuk, kita masuk." Dia menggenggam tangan cewek itu, lalu pergi meninggalkanku yang kini masih terpaku melihatnya bersama cewek itu.
Huh! Kenapa harus dipertemukan kembali dengan situasi seperti ini?
Dan apa itu tadi? Sayang? Dia memanggil cewek bernama Lashira itu dengan panggilan 'sayang'?
=========Aufa=========
"Len, gue mau cerita sama lo," bisikku pada Alena. Kebetulan kubikel tempatku bekerja bersebelahan dengan kubikel Alena.
"Ya udah, cerita aja." Alena ikut berbisik. Sebenarnya sih, bu Indira sedang tidak mengawasi, tapi aku takut kalau yang lain juga dengar tentang apa yang mau kuceritakan pada Alena, apalagi ini menyangkut masalah pribadi, jadi harus bisik-bisik.
"Nanti aja waktu di kost-an. Nanti gue nginep di kost lo lagi. Tapi lo jangan bilang-bilang ke Tere sama Gio ya," kataku masih berbisik.
"Emangnya kenapa?"
"Ini rahasia, Len."
"Oke." Alena mengacungkan jempolnya.
=========Aufa========
"Jadi lo mau cerita apa, La?" tagih Alena ketika kami sampai di kost-nya. "Katanya rahasia. Emang apaan sih? Serius dari tadi gue penasaran tahu."
"Sabar napa sih," ujarku, "bentar, gue mau minum dulu." Segera kumenyambar gelas plastik yang ada di atas meja, lalu mulai menuangkan air dari galon. "Aah, segarnya ...," kataku begitu air membasahi kerongkongan.
Alena kini tengah berbaring di kasur lantai miliknya sambil bermain ponsel. Karena tubuh terasa amat lelah, akhirnya aku pun ikut berbaring di sampingnya.
"Cepetan cerita, keburu gue tidur nanti," desak Alena.
"Sore-sore gini nggak boleh tidur tahu, pamali! Nanti bisa jadi orang fakir, kalau nggak, bisa jadi gila kalau keseringan tidur sore hari, apalagi kalau sampai empat puluh hari," ujarku sok menasehati. Ini sering ibu katakan padaku kalau lihat aku lagi tiduran di sore hari. Tuh, kan, jadi ingat ibu lagi.
"Iya, bawel! Makanya cepetan cerita, biar gue nggak tidur."
Aku menghembuskan napas, dan mulai bercerita. "Tadi siang gue ketemu salah satu mantan gue di kantor, Len."
"Ha?! Mantan lo?" Alena refleks bangkit dari posisinya berbaring. Dia duduk sambil menatap ke arahku. Aku pun mengangguk. "Emang salah satu dari mantan lo ada gitu yang kerja di kantor kita? Kok lo nggak pernah cerita sih, La."
"Yaelah, gue aja nggak tahu, gimana mau cerita sama lo." Aku ikutan duduk juga. Nggak nyaman rasanya kalau cerita sambil tiduran, tapi yang diajak cerita sambil duduk.
"Emangnya lo ketemu di kantor pas kapan? Terus di mana tepatnya?" Bukan Alena namanya kalau tidak kepo.
"Di lobi pas gue disuruh buat fotokopi sama bu Indira," jawabku tanpa memberi tahu kejadian detailnya.
"Dia kerja di kantor kita juga? Atau cuma lagi berkunjung aja?"
"Gue nggak tahu, tapi tadi gue lihat penampilannya sih, kayak orang-orang atasan gitu, pake jas. Kalau cuma karyawan biasa kayak kita, kayaknya jarang deh yang pake jas."
"Fix, La! Kita harus selidikin!"
==========Aufa=========
Kebiasaan yang paling tidak bisa aku hilangkan adalah bangun kesiangan, seperti saat ini. Sebenarnya sih, kalau sedang tidak menstruasi, aku bisa bangun pas subuh, tapi berhubung sekarang sedang mens, jadi aku sengaja me-nonaktifkan alarm yang biasa kusetel pas subuh.
Parahnya lagi, si Alena juga ikutan bangun kesiangan. Alhasil, di jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi ini, kami belum bersiap-siap.
"Len, lo udah belum sih? Lama amat mandinya," gerutuku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi
"Iya sebentar lagi, Beib."
=========Aufa=========
Akhirnya setelah adu kecepatan dengan waktu, aku dan Alena sampai juga di kantor, meski telat sepuluh menit. Untung saja kost Alena dekat dengan kantor, coba kalau jauh, bisa telat lebih lama lagi.
Kami berjalan tergesa-gesa di lobi untuk segera menghampiri lift yang akan membawa kami ke lantai tiga tempat di mana divisi kami berada.
"Berdoa, La, semoga nggak disemprot sama mak lampir," kata Alena saat kami berada di dalam lift.
"Kalau telat gini, biasanya hukumannya apa, Len?""Ih, disuruh buat berdoa malah tanya hukuman. Lo mau dihukum?"
"Ya, enggaklah!"
Sesampainya di depan ruang divisi, kami tidak ak langsung masuk, karena dari luar kami mendengar kalau di dalam sepertinya sedang ada arahan, dan itu bukan dari bu Indira, si ketua divisi.
"Siapa, Len?" tanyaku penasaran.
"Nggak tahu, La, gue nggak paham suaranya."
Tapi kok, aku kayak familiar dengan suaranya ya?
"Alula! Alena! Kenapa kalian masih di sini? Kalian telat ya?" Aku berjingkat begitu mendengar suara perempuan dari arah belakangku. Sontak aku, dan Alena pun menoleh.
"Eh, bu Indira," ucapku dan Alena kompak. Tak lupa juga sambil senyum terpaksa.
"Kami mau masuk, Bu, tapi di dalam sepertinya--"
"Di dalam lagi ada arahan langsung dari CEO," ujar bu Indira yang memotong perkataanku. "Jadi benar kalian telat?"
Aku mengangguk lalu menunduk, tidak tahu dengan Alena. Dadaku sudah kembang kempis, takut diberi SP di status baruku sebagai karyawan.
"Baiklah, karena hari ini saya sedang berbaik hati, maka kalian saya maafkan. Tapi, kalau kesalahan ini kalian ulangi, maka jangan salahkan saya kalau saya harus memberi kalian hukuman, dan tak tanggung-tanggung juga surat peringatan."
"Iya, Bu," ucapku berbarengan dengan Alena.
"Ya sudah, sekarang kalian masuk, tapi harus dengan sopan karena di dalam sedang ada CEO kita."
Masalah dengan bu Indira selesai, sekarang aku dan Alena harus menghadapi si CEO, yang mungkin saja lebih garang dari bu Indira. Ibarat keluar dari kandang macan, masuk ke kandang buaya.
Bagaimana nasibku selanjutnya?
To be continued
. Dengan langkah pelan, dan hati yang sudah tidak karuan, aku, dan Alena melangkah memasuki ruang divisi. Sepertinya bu Indira mengikuti di belakang kami. Huft. Tarik napas, bismillah. Semoga tidak disemprot sama CEO yang sedang memberi arahan di dalam. Lagian aku juga heran sih, masa iya seorang yang punya jabatan tertinggi di perusahaan ini langsung turun tangan memberi arahan pada karyawan di divisi marketing, yang notebene-nya bukan termasuk jajaran divisi yang tinggi di kantor ini. Aku memegang gagang pintu kaca tapi tidak tembus pandang ini, lalu dengan pelan aku mulai membukanya. "Permisi, Pak," ucapku sendirian, sedangkan Alena malah diam saja. Huh, dasar! Seketika pria yang sedang berdiri itu menoleh ke arahku, dan tatapan kami pun bertemu. Apa?! Kenapa dia lagi? Sedang apa dia di sini? Jangan-jangan dia .... Pria itu menaikkan satu alisnya, sembari menatapku dengan tatapan elangnya. Wiih ... kok jadi serem ya. "Maaf, Pak, kami terlambat," celetuk Alena y
. Daripada mati penasaran, maka kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang, masa bodo dengan pemandangan yang akan terlihat nanti. Semoga saja tidak membuatku jantungan. "Elaah ... cuma pel-pelan doang yang jatuh, kirain apaan," gerutuku begitu melihat ternyata sebuah pel-pelan yang jatuh. "Mbak!" Aku berjingkat ketika tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari samping. "Hih! Mbak Fitri bikin kaget aja, deh," ujarku pada sosok yang kini sudah berdiri di sampingku, dan entah kapan datangnya. "Hehe ... maaf Mbak, kalau saya bikin Mbak Alula kaget. Saya cuma mau ambil pel-pelan itu," tunjuknya pada alat pel yang tadi sempat bikin jantungku hampir lompat. Mbak Fitri ini adalah salah satu office girl di kantor ini. "Oh, iya, iya." Aku mengangguk. "Eh, Mbak Fit, btw, jam segini kok kantor udah sepi ya?" Sekalian saja kan aku tanyakan tentang ini. Mbak Fitri sudah lama bekerja di sini, jadi dia pasti paham tentang kantor. "Ah, nggak juga Mbak Alula, kantor mah sampai malem jug
."Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?"Aku berdecak sebal. Kenapa sih, nih orang malam-malam begini bikin kesel. Bukannya aku mau nolak rezeki tumpangan ya, tapi aku tuh nggak nyaman aja bareng sama dia, apalagi status kami ini 'mantan'.Dia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi yang jelas ini bikin aku grogi."Emmm ... kayaknya gue mau pesen ojek online aja deh," putusku tanpa menatap ke arahnya."Yakin?" Satu alisnya terangkat. "Ini sudah malam, saya tidak ingin kamu ....""Nggak usah sok peduli!" tegasku memotong ucapannya."Saya bukan peduli sama kamu. Saya cuma tidak mau saja kalau ada salah satu dari karyawan saya yang telat berangkat kerja besok. Bisa rugi perusahaan saya kalau kamu sering terlambat."Ada cabe nggak sih, buat nyumpel mulutnya yang nyebelin itu?Aku memutarkan bola mata. Jangan ditanya bagaimana gondoknya hati ini dibi
"Aduuuh ... udah siang nih, La. Mau ke kantor pake apa coba? Mana tinggal tigapuluh menit lagi kantor masuk. Lo sih, tadi malem pake bocorin ban motor gue," gerutu Alena yang entah ke berapa di pagi ini. Gara-garanya karena kami berdua sama-sama terlambat bangun, dan tidak adanya kendaraan yang akan membawa kami ke kantor."Ban bocor kan, gue nggak sengaja. Lo tenang aja deh, entar gue yang bayar tagihan biaya tambal ban," kataku."Bukan masalah duit, La, tapi masalah kedisiplinan. Kalau nggak ada motor gini, kita bisa telat, La. Lo tau sendiri kan, waktu kita telat kemarin diberi hukuman berupa tugas yang bejibun? Nah, kalau sekarang telat lagi, bukan nggak mungkin kita dipecat, La.""Ya coba lo hubungi Gio, Len, suruh jemput," usulku mengalihkan topik, biar Alena nggak bahas masalah kantor. Pening nih kepala kalau teringat urusan kantor."Gio nggak punya mobil. Emang lo mau bonceng bertiga? Bisa kena tilang kita.""Y
.Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini.Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah.Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku.Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d
Mengenang tentang masa lalu adalah hal yang tak kusukai, baik itu masa lalu yang indah, atau bahkan masa lalu yang buruk. Alasannya satu, hanya akan membuat hati menjadi galau, dan mood seketika berubah jadi nggak enak. Kenangan yang indah memang kerap kali membuat kita tersenyum jika mengingatnya. Namun, itu hanya sekilas saja, setelahnya kita akan merasa sedih, karena kita tak bisa memutar waktu untuk kembali ke masa-masa indah itu. Sedangkan untuk kenangan buruk, sudah pasti hanya akan membuat kita kembali merasa sedih, jika kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepala. Tersebab itu semua, aku paling malas jika harus mengenang tentang masa lalu. Dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena bayangan-bayangan masa lampau yang dengan kurang ajarnya terus berkelebat di kepala. Sudah berulang kali aku coba mengusirnya, tapi tetap saja terus berputar-putar di kepala, bagaikan sebuah film. Alhasil, hari ini mataku pun
A-anu, Pak ...." "Anu apa? Kamu kangen sama saya, makanya mau nyamperin saya?" tanyanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi itu. "Ih! Ya enggaklah, Pak!" elakku. Gila aja kali kangen sama mantan. "Kalau iya juga nggak papa. Gratis kok kangen sama saya. Atau jangan-jangan kamu pengin pulang bareng saya?" "Saya masih punya uang kali, Pak, buat pesen ojol, atau buat naik angkot," kataku mulai kesal. "Lalu ada apa gerangan kamu berada di depan ruangan saya?" "Saya mau tanya sesuatu sama Bapak," ucapku. "Tanya apa?" Dia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Tanya sakit hati apa enggak, kamu putusin dulu?" "Bukan, Pak. Ngapain saya tanya nggak penting gitu," bantahku. "Jadi menurut kamu perasaan saya dulu ke kamu itu nggak penting. Begitu?" Gaza berjalan memutari tubuhku yang berdiri dengan kaku. "Pak, please deh, saya nemuin Bapak bukan mau
"Nah, itu dia orang yang saya tunggu." Aku, dan Alula serentak menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Tampak di sana seorang perempuan tengah berjalan ke arah kami. Ia adalah perempuan yang sering bersama Gaza. "Hai, Sayang ... udah lama nunggu, ya," sapa perempuan itu pada Gaza yang menyambutnya dengan senyum semringah. Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan-akan lama nggak bertemu. Tampaknya mereka juga lupa jika di sini ada aku, dan Alula. "Oh, enggak, kok," balas Gaza masih dengan senyumnya. Tersenyum kecut, aku beralih dari menatap dua insan yang tengah menampilkan drama yang bikin muak. Jus jeruk di depanku kusesap. Mencoba mendinginkan hati yang tiba-tiba terasa sedikit berasap. Aku menatap ke arah Alena yang ternyata tengah menatapku juga, dengan tatapan 'kasihan'. Aku paling benci ditatap seperti ini. Perempuan itu duduk di samping Alena, lalu tersenyum padaku, dan Alena. Dengan terpaksa, aku
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara