.
Dengan langkah pelan, dan hati yang sudah tidak karuan, aku, dan Alena melangkah memasuki ruang divisi. Sepertinya bu Indira mengikuti di belakang kami.
Huft.
Tarik napas, bismillah. Semoga tidak disemprot sama CEO yang sedang memberi arahan di dalam. Lagian aku juga heran sih, masa iya seorang yang punya jabatan tertinggi di perusahaan ini langsung turun tangan memberi arahan pada karyawan di divisi marketing, yang notebene-nya bukan termasuk jajaran divisi yang tinggi di kantor ini.
Aku memegang gagang pintu kaca tapi tidak tembus pandang ini, lalu dengan pelan aku mulai membukanya.
"Permisi, Pak," ucapku sendirian, sedangkan Alena malah diam saja. Huh, dasar!
Seketika pria yang sedang berdiri itu menoleh ke arahku, dan tatapan kami pun bertemu.
Apa?!
Kenapa dia lagi?
Sedang apa dia di sini?
Jangan-jangan dia ....
Pria itu menaikkan satu alisnya, sembari menatapku dengan tatapan elangnya. Wiih ... kok jadi serem ya.
"Maaf, Pak, kami terlambat," celetuk Alena yang sedari tadi diam. Sedang aku? Aku sudah tak mampu lagi berkata-kata melihat bahwa pria itu ada di sini.
"Berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya pria itu pada Alena.
"Ti-tiga tahun, Pak," jawab Alena yang kurasa dia sedang ketakutan.
"Sering terlambat seperti ini?" tanyanya lagi.
"Ti-tidak, Pak."
"Baik. Kamu silakan duduk," perintahnya pada Alena. "Dan kamu." Dia beralih kembali menatapku. "Sejak kapan kamu bekerja di sini?"
"Baru tiga hari, Pak," jawabku datar, meski sebenarnya aku ketakutan.
"Baru tiga hari, dan kamu sudah terlambat?" sarkasnya. "Hebat! Karyawan macam apa kamu!" Dia bertepuk tangan mengejekku.
"Ma-maaf, Pak." Rasanya aku ingin menangis diperlakukan begini. Seumur-umur belum pernah dibentak di depan umum seperti ini. Waktu di kantor yang dulu, aku tidak pernah dimarahi atasan di depan karyawan lain, lah ini ....
"Kamu pikir dengan minta maaf, semuanya selesai?" Eh, apa-apaan ini? Kok rasanya jadi kurang nyambung ya? Apa karena aku yang tadi hanya terbawa perasaan?
Aku tertunduk, dan sedikit pun tidak berani mengangkat kepala, apalagi sampai bersuara. Tapi, aku merasa kalau dia sedang memperhatikanku. Bukan berarti aku ge-er ya.
"Bu Indira." panggilnya.
"Ya, Pak," sahut bu Indira.
"Saya minta Anda memberikan banyak tugas pada karyawan yang terlambat ini, anggap sebagai hukuman karena terlambat," perintah pria itu pada bu Indira--atasanku.
"Baik, Pak."
"Dan kamu karyawan baru." Aku mengangkat wajah dengan takut-takut.
"Iya, Pak," sahutku.
"Saya tunggu kamu di ruangan saya jam sepuluh nanti," ucapnya sambil berlalu meninggalkan ruangan ini. "Oh, ya, kalau nanti kamu terlambat, maka saya akan memberikan tambahan hukuman untuk kamu."
=========Aufa=========
Suatu hal yang tidak ak pernah aku inginkan terjadi di dunia ini adalah bertemu dengan mantan, dengan kondisiku yang berada di bawah tekanannya. Apa kata dunia jika mereka tahu bahwa kini aku merasa ketakutan oleh sosok yang dinamakan mantan, padahal waktu dulu masih menjalin kasih, akulah yang biasanya menekan, dan dia yang mengalah. Sekarang keadaannya justru terbalik.
Sekarang aku sudah sampai di depan pintu ruangan CEO. Ragu-ragu aku mengetuk pintu ruangannya ini. Sebenarnya bukan hanya ragu, tapi juga takut.
Setelah mendapat sahutan dari dalam yang menyuruhku untuk masuk, aku pun membuka pintunya dengan pelan.
"Permisi, Pak," ucapku begitu memasuki ruangan CEO ini. Tak dipungkiri aku mulai menggigil. Bukan karena dinginnya AC di ruangan ini, tapi karena rasa takut yang sedari tadi menghantui, meskipun si empunya ruangan duduk membelakangi tempatku berdiri.
"Kamu telat sepuluh detik," ucapnya yang masih membelakangiku.
Ish! Sepuluh detik saja dipermasalahkan, bagaimana kalau sepuluh menit, atau sepuluh jam?
Eh, tapi kok dia bisa tahu kalau aku yang datang sih? Padahal kan sedari tadi dia duduk di kursi kebesarannya itu sambil membelakangi. Apa dia masih paham betul sama suaraku ini ya? Kalau iya ... fix, dia belum move on!
"Kan, cuma sepuluh detik, Pak, bukan sepuluh menit, jadi nggak papa, dong," protesku sok santai, padahal hati sudah kebat-kebit.
"Kamu berani membantah ucapan saya?" Dia memutar kursi kebesarannya, sehingga kini dia bisa menatapku dengan mata tajamnya. Tangannya dia silangkan di depan dada, membuatnya terkesan angkuh. Beneran dia mantanku apa bukan sih?
Diberi tatapan mematikan seperti itu membuat nyaliku menciut, terpaksa aku harus menurunkan ego, bersikap pasrah di depan mantan yang dulunya justru sering pasrah padaku. Sialnya sekarang keadaannya terbalik.
"Tidak, Pak."
Dia mengangguk. "Lalu, sampai kapan kamu mau berdiri di sana?"
Lah, memangnya aku harus di mana?
"Kan Bapak belum menyuruh saya duduk," ucapku hati-hati.
"Oh, baiklah, silakan duduk." Gitu kek dari tadi!
Dengan segera, aku pun bersiap untuk duduk di kursi yang tepat berada di hadapannya, yang dipisahkan oleh meja kebesaran CEO.
"Siapa yang menyuruh kamu duduk di situ?" ucapnya, membuatku seketika bingung.
"Lalu saya harus duduk di mana, Pak? Di sofa itu?" Tanganku menunjuk pada sebuah sofa panjang yang berada di ruangan ini. "Atau duduk di lantai?"
Dia menggeleng tanpa melepaskan tatapannya padaku. "Duduk di sini," ucapnya sembari menepuk-nepuk pahanya.
Ini orang waras tidak sih sebenarnya? Tiga tahun tidak bertemu, jangan-jangan otaknya sudah konslet.
Dulu jangankan nyuruh duduk di pangkuan, gandengan tangan saja jarang.
"Bapak sehat?" tanyaku.
"Menurut kamu?" Dia menaikkan sebelah alisnya.
Aku mendengkus kesal. Gini amat ya, berhadapan sama mantan.
"Udah deh, Pak CEO yang terhormat, sebenarnya saya dipanggil ke sini dalam rangka apa ya?" tanyaku sedikit ketus. Kesel tahu kalau ke sini cuma untuk dipermainkan.
"Nggak sopan kamu!" makinya.
Ya sudah, aku diam, biar aman, meski sebenarnya aku ingin juga memaki-maki nih orang, kalau saja tidak ingat jabatan dia.
"Kenapa diam?"
"Terus saya harus apa, Pak?"
"Kamu belum menuruti perintah saya."
"Perintah yang mana, Pak?"
"Duduk di sini." Kembali dia menepuk pahanya.
Aku menghembuskan napas kasar. "Pak, tolong bisa serius, nggak?"
"Kamu juga nggak serius."
Ish!
Ingin rasanya berkata kasar.
"Saya kan dari tadi serius, Pak," bantahku.
"Tapi dulu kamu nggak serius dengan hubungan kita."
Skak mat!
======Aufa=======
"La, tadi lo ke ruangan CEO abis diapain?" tanya Alena. Di jam makan siang ini, aku dan Alena tidak keluar untuk makan, melainkan menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk dari bu Indira.
Ditanyain seperti itu, membuatku kesal karena teringat kejadian di ruang CEO tadi.
"Nostalgia," jawabku singkat.
"Nostalgia? Nostalgia gimana maksud lo, La? Kalau cerita jangan setengah-setengah gitu napa."
"Lo inget kan, Len, kalau kemarin gue bilang, gue ketemu sama mantan?"
Alena mengangguk. "Iya, terus korelasinya sama pak bos itu apa?"
"Bos lo itu mantan gue," bisikku.
"Ha? Jadi, pak Gaza itu mantan lo?"
"Ish! Jangan keras-keras napa sih ngomongnya!" Aku tengok kanan kiri, takut ada yang mendengar celetukan Alena tadi.
"Sorry, La, tapi ini lo serius?" Alena memastikan.
"Iya, gue serius, gue aja nggak nyangka tau, kalau dia bos di sini. Lo juga kenapa nggak cerita."
"Ye ... mana gue tahu kalau lo pernah pacaran sama pak Gaza. Eh, tapi lo beneran tadi habis nostalgia? Masa-masa pacaran dulu?"
Aku memutar bola mata. "Enggak! Gue cuma dikerjain aja sama dia."
Ya, karena di ruangan CEO tadi tak kunjung ada pembicaraan yang serius, maka aku pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, meski si empunya ruangan belum mengijinkan.
"Cie-cie ... mungkin dianya sengaja ngerjain lo, La, biar bisa berduaan sama lo," goda Alena.
"Ih, apaan sih! Ngaco aja lo!" makiku, "eh, tapi lo jangan bilang sama siapa-siapa ya, kalau Gaza itu mantan gue. Ini cuma rahasia kita berdua. Awas kalau lo ember, Len!"
"Tenang aja, Beib, gue nggak akan bocorin ke orang-orang kok, asal ...," ucapnya menggantung.
"Asal apa?"
"Lo traktir gue makan. Itung-itung buat tutup mulut. Kebetulan juga keuangan gue bulan ini udah menipis."
Ck, pemerasan! Bukan Alena namanya kalau tidak bisa memanfaatkan kesempatan.
========Aufa=========
"La, gue pulang dulu nggak papa, kan?" tanya Alena padaku yang masih sibuk menyelesaikan tugas yang terlalu banyak ini. Semua gara-gara CEO menyebalkan itu.
"Ya udah pulang aja."
"Nih, kunci motor gue, lo bawa aja, La." Alena menaruh kunci motornya di meja kerjaku.
"Eh, jangan, nanti lo pulangnya naik apa, Len, kalau motornya gue bawa," tolakku.
"Nanti gue nebeng Gio, La, sekalian pedekate." Alena mengedipkan sebelah matanya. "Tapi lo pulangnya nanti ke kost-an gue."
"Oke," kataku. Alena segera beranjak pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini, karena yang lainnya sudah pulang semua.
Nasib punya bos yang sakit hati sama aku ya gini, memberi tugas tidak tanggung-tanggung banyaknya. Sebenarnya tugas hukuman dari bu Indira tadi sudah selesai tepat waktu, tapi setelahnya bu Indira kembali memberiku tugas-tugas ini yang katanya sebagai hukuman tambahan dari pak bos alias CEO. Kam**et emang!
Selama tiga tahun bekerja di kantor yang dulu, aku jarang banget lembur mendadak begini. Kalaupun lembur, pasti banyak temannya, tidak seorang diri seperti ini. Sudah jomblo, lembur pun harus sendirian. Ngenes amat sih hidup ini. Kalau saja lagi tidak butuh pekerjaan, sudah pasti kuputuskan untuk resign dari kantor ini begitu tahu kalau yang jadi CEO itu si mantan.
Lagi asyik dengan pikiran sendiri, sedangkan jari menari-nari di atas keyboard, tiba-tiba suasana berubah menjadi mencekam.
Aku menghentikan aktivitasku mengetik, lalu menengok kanan kiri. Tidak ada sesuatu yang aneh, bedanya tidak ada lagi suara-suara bising dari luar ruangan, sekarang hanya ada sunyi.
Bulu kudukku pun seketika merinding.
Kulirik jam di pergelangan tangan. Masih pukul lima sore, kenapa sudah sesepi ini di perusahaan yang lumayan besar ini?
Masa iya sudah pada pulang semua, dan tidak ada yang lembur dari divisi lain?
Apa orang-orang semua sedang konsentrasi lembur ya? Atau sedang pergi makan sore? Atau mungkin juga sedang sholat asar?
Ah, daripada pikiran terus bertanya-tanya, dan tidak kunjung mendapat jawaban, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari ruangan ini sebentar.
Kulihat di koridor kantor juga sepi. Benar-benar tidak ada seorang pun yang kelihatan. Ini kantor apa kuburan sih? Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku melangkah menuju ruang divisi lain yang tepatnya berada di depan ruang divisiku, siapa tahu di dalam sana banyak orang, dan aku bisa bergabung sama mereka.
Begitu gagang pintu ruangan kupegang, tiba-tiba ada suara benda jatuh dari belakangku.
Apa itu?
Kenapa suaranya malah tiba-tiba membuat jantungku berdetak begitu kencang?
Aku tengok tidak ya?
To be continued
. Daripada mati penasaran, maka kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang, masa bodo dengan pemandangan yang akan terlihat nanti. Semoga saja tidak membuatku jantungan. "Elaah ... cuma pel-pelan doang yang jatuh, kirain apaan," gerutuku begitu melihat ternyata sebuah pel-pelan yang jatuh. "Mbak!" Aku berjingkat ketika tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari samping. "Hih! Mbak Fitri bikin kaget aja, deh," ujarku pada sosok yang kini sudah berdiri di sampingku, dan entah kapan datangnya. "Hehe ... maaf Mbak, kalau saya bikin Mbak Alula kaget. Saya cuma mau ambil pel-pelan itu," tunjuknya pada alat pel yang tadi sempat bikin jantungku hampir lompat. Mbak Fitri ini adalah salah satu office girl di kantor ini. "Oh, iya, iya." Aku mengangguk. "Eh, Mbak Fit, btw, jam segini kok kantor udah sepi ya?" Sekalian saja kan aku tanyakan tentang ini. Mbak Fitri sudah lama bekerja di sini, jadi dia pasti paham tentang kantor. "Ah, nggak juga Mbak Alula, kantor mah sampai malem jug
."Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?"Aku berdecak sebal. Kenapa sih, nih orang malam-malam begini bikin kesel. Bukannya aku mau nolak rezeki tumpangan ya, tapi aku tuh nggak nyaman aja bareng sama dia, apalagi status kami ini 'mantan'.Dia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi yang jelas ini bikin aku grogi."Emmm ... kayaknya gue mau pesen ojek online aja deh," putusku tanpa menatap ke arahnya."Yakin?" Satu alisnya terangkat. "Ini sudah malam, saya tidak ingin kamu ....""Nggak usah sok peduli!" tegasku memotong ucapannya."Saya bukan peduli sama kamu. Saya cuma tidak mau saja kalau ada salah satu dari karyawan saya yang telat berangkat kerja besok. Bisa rugi perusahaan saya kalau kamu sering terlambat."Ada cabe nggak sih, buat nyumpel mulutnya yang nyebelin itu?Aku memutarkan bola mata. Jangan ditanya bagaimana gondoknya hati ini dibi
"Aduuuh ... udah siang nih, La. Mau ke kantor pake apa coba? Mana tinggal tigapuluh menit lagi kantor masuk. Lo sih, tadi malem pake bocorin ban motor gue," gerutu Alena yang entah ke berapa di pagi ini. Gara-garanya karena kami berdua sama-sama terlambat bangun, dan tidak adanya kendaraan yang akan membawa kami ke kantor."Ban bocor kan, gue nggak sengaja. Lo tenang aja deh, entar gue yang bayar tagihan biaya tambal ban," kataku."Bukan masalah duit, La, tapi masalah kedisiplinan. Kalau nggak ada motor gini, kita bisa telat, La. Lo tau sendiri kan, waktu kita telat kemarin diberi hukuman berupa tugas yang bejibun? Nah, kalau sekarang telat lagi, bukan nggak mungkin kita dipecat, La.""Ya coba lo hubungi Gio, Len, suruh jemput," usulku mengalihkan topik, biar Alena nggak bahas masalah kantor. Pening nih kepala kalau teringat urusan kantor."Gio nggak punya mobil. Emang lo mau bonceng bertiga? Bisa kena tilang kita.""Y
.Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini.Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah.Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku.Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d
Mengenang tentang masa lalu adalah hal yang tak kusukai, baik itu masa lalu yang indah, atau bahkan masa lalu yang buruk. Alasannya satu, hanya akan membuat hati menjadi galau, dan mood seketika berubah jadi nggak enak. Kenangan yang indah memang kerap kali membuat kita tersenyum jika mengingatnya. Namun, itu hanya sekilas saja, setelahnya kita akan merasa sedih, karena kita tak bisa memutar waktu untuk kembali ke masa-masa indah itu. Sedangkan untuk kenangan buruk, sudah pasti hanya akan membuat kita kembali merasa sedih, jika kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepala. Tersebab itu semua, aku paling malas jika harus mengenang tentang masa lalu. Dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena bayangan-bayangan masa lampau yang dengan kurang ajarnya terus berkelebat di kepala. Sudah berulang kali aku coba mengusirnya, tapi tetap saja terus berputar-putar di kepala, bagaikan sebuah film. Alhasil, hari ini mataku pun
A-anu, Pak ...." "Anu apa? Kamu kangen sama saya, makanya mau nyamperin saya?" tanyanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi itu. "Ih! Ya enggaklah, Pak!" elakku. Gila aja kali kangen sama mantan. "Kalau iya juga nggak papa. Gratis kok kangen sama saya. Atau jangan-jangan kamu pengin pulang bareng saya?" "Saya masih punya uang kali, Pak, buat pesen ojol, atau buat naik angkot," kataku mulai kesal. "Lalu ada apa gerangan kamu berada di depan ruangan saya?" "Saya mau tanya sesuatu sama Bapak," ucapku. "Tanya apa?" Dia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Tanya sakit hati apa enggak, kamu putusin dulu?" "Bukan, Pak. Ngapain saya tanya nggak penting gitu," bantahku. "Jadi menurut kamu perasaan saya dulu ke kamu itu nggak penting. Begitu?" Gaza berjalan memutari tubuhku yang berdiri dengan kaku. "Pak, please deh, saya nemuin Bapak bukan mau
"Nah, itu dia orang yang saya tunggu." Aku, dan Alula serentak menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Tampak di sana seorang perempuan tengah berjalan ke arah kami. Ia adalah perempuan yang sering bersama Gaza. "Hai, Sayang ... udah lama nunggu, ya," sapa perempuan itu pada Gaza yang menyambutnya dengan senyum semringah. Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan-akan lama nggak bertemu. Tampaknya mereka juga lupa jika di sini ada aku, dan Alula. "Oh, enggak, kok," balas Gaza masih dengan senyumnya. Tersenyum kecut, aku beralih dari menatap dua insan yang tengah menampilkan drama yang bikin muak. Jus jeruk di depanku kusesap. Mencoba mendinginkan hati yang tiba-tiba terasa sedikit berasap. Aku menatap ke arah Alena yang ternyata tengah menatapku juga, dengan tatapan 'kasihan'. Aku paling benci ditatap seperti ini. Perempuan itu duduk di samping Alena, lalu tersenyum padaku, dan Alena. Dengan terpaksa, aku
Permisi, Mbak Alula." Mendengar namaku dipanggil, aku pun mendongak. "Iya, Mbak Siti, ada apa?" "Ini ada titipan buat Mbak Alula." Mbak Siti menyerahkan sebungkus besek berwarna putih. Aku menerimanya. "Dari siapa, Mbak?" "Kurang tahu, Mbak La. Saya tadi dititipin ini oleh mbak Nela, resepsionis depan. Mbak Nela juga tidak bilang dari siapa. Cuma bilang buat mbak Alula," terang mbak Siti. Mbak Siti ini salah satu office girl di kantor ini, jadi sudah biasa dititipin ini itu. "Ya udah, terima kasih, ya, Mbak. Nanti biar aku tanya sendiri ke Mbak Nela." "Iya, Mbak. Kalau begitu saya permisi, Mbak." * Tanpa membuang waktu, aku pun segera membuka besek ini. Ternyata sebuah paket ayam bakar dari restoran depan. Kira-kira siapa yang ngasih. Segera aku ambil ponsel dari dalam tas, dan mulai mengetikkan nama pada bagian kontak. "Halo
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara