Home / Romansa / Mantan Jadi Bos / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Mantan Jadi Bos: Chapter 11 - Chapter 20

86 Chapters

Part 11

A-anu, Pak ...."  "Anu apa? Kamu kangen sama saya, makanya mau nyamperin saya?" tanyanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi itu.  "Ih! Ya enggaklah, Pak!" elakku. Gila aja kali kangen sama mantan.  "Kalau iya juga nggak papa. Gratis kok kangen sama saya. Atau jangan-jangan kamu pengin pulang bareng saya?"  "Saya masih punya uang kali, Pak, buat pesen ojol, atau buat naik angkot," kataku mulai kesal.  "Lalu ada apa gerangan kamu berada di depan ruangan saya?"  "Saya mau tanya sesuatu sama Bapak," ucapku.  "Tanya apa?" Dia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Tanya sakit hati apa enggak, kamu putusin dulu?"  "Bukan, Pak. Ngapain saya tanya nggak penting gitu," bantahku.  "Jadi menurut kamu perasaan saya dulu ke kamu itu nggak penting. Begitu?" Gaza berjalan memutari tubuhku yang berdiri dengan kaku.  "Pak, please deh, saya nemuin Bapak bukan mau
Read more

Part 12

"Nah, itu dia orang yang saya tunggu." Aku, dan Alula serentak menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Tampak di sana seorang perempuan tengah berjalan ke arah kami. Ia adalah perempuan yang sering bersama Gaza.  "Hai, Sayang ... udah lama nunggu, ya," sapa perempuan itu pada Gaza yang menyambutnya dengan senyum semringah. Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan-akan lama nggak bertemu. Tampaknya mereka juga lupa jika di sini ada aku, dan Alula.  "Oh, enggak, kok," balas Gaza masih dengan senyumnya.  Tersenyum kecut, aku beralih dari menatap dua insan yang tengah menampilkan drama yang bikin muak. Jus jeruk di depanku kusesap. Mencoba mendinginkan hati yang tiba-tiba terasa sedikit berasap.  Aku menatap ke arah Alena yang ternyata tengah menatapku juga, dengan tatapan 'kasihan'. Aku paling benci ditatap seperti ini.  Perempuan itu duduk di samping Alena, lalu tersenyum padaku, dan Alena. Dengan terpaksa, aku
Read more

Part 13

Permisi, Mbak Alula."  Mendengar namaku dipanggil, aku pun mendongak. "Iya, Mbak Siti, ada apa?"  "Ini ada titipan buat Mbak Alula." Mbak Siti menyerahkan sebungkus besek berwarna putih.  Aku menerimanya. "Dari siapa, Mbak?" "Kurang tahu, Mbak La. Saya tadi dititipin ini oleh mbak Nela, resepsionis depan. Mbak Nela juga tidak bilang dari siapa. Cuma bilang buat mbak Alula," terang mbak Siti.  Mbak Siti ini salah satu office girl di kantor ini, jadi sudah biasa dititipin ini itu.  "Ya udah, terima kasih, ya, Mbak. Nanti biar aku tanya sendiri ke Mbak Nela."  "Iya, Mbak. Kalau begitu saya permisi, Mbak."  * Tanpa membuang waktu, aku pun segera membuka besek ini.  Ternyata sebuah paket ayam bakar dari restoran depan. Kira-kira siapa yang ngasih.  Segera aku ambil ponsel dari dalam tas, dan mulai mengetikkan nama pada bagian kontak.  "Halo
Read more

Part 14

Pak, please ... jangan seperti psikopat. Saya takut, Pak."  "Saya tidak akan menghilangkan nyawa kamu, Alula ...."  "Tap--."  Si*l!  Gaza kembali ....  "Gazaaa!" teriak seseorang yang baru saja datang.  Refleks Gaza menghentikan perbuatannya padaku, dan sedikit menjauhkan dirinya dari tubuhku. Baik aku maupun Gaza, kini sama-sama salah tingkah dipergok dalam posisi seperti tadi.  "Gaza, jawab Tante! Apa yang kamu lakukan bersama Alula?" tanya bu Indira.  Oh, ya, aku baru ingat kalau bu Indira, selaku ketua divisiku, adalah tante dari Gaza.  "M-maaf, Bu. Di sini bukan saya yang salah," ucapku takut-takut.  "Saya sedang tidak bertanya sama kamu, Alula." Oke, aku diam. Di sini posisiku cuma karyawan rendahan, yang posisinya mungkin saja tidak penting di kantor ini.  "Gaza. Tolong jelaskan semuanya!" perintah bu Indira.  "Sep
Read more

Part 15

Akhir pekan adalah hari yang paling dinanti-nanti oleh kebanyakan orang di dunia ini. Terutama bagi karyawan-karyawan kantor yang sudah menghabiskan lima hari untuk berjibaku dengan pekerjaan.  Biasanya, jika weekend, aku selalu menghabiskan waktuku untuk rebahan di kamar kost, sambil nonton drama luar negeri lewat ponsel. Tak lupa juga snack, dan minuman selalu aku siapkan. Sebut aja 'me time'.  Namun, jika ada teman yang mengajakku pergi untuk jalan-jalan ataupun liburan, maka aku juga tidak akan menolak. Tapi, itu pun jika aku duitnya lagi longgar, kalau enggak, ya cukup mantengin layar HP.  Lain dengan sekarang. Karena aku menginap di kost Alena, maka aku dan Alena sudah merencanakan bahwa pagi ini akan jogging di sekitar komplek.  "Udah siap belum, La?" tanya Alena sembari merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang tengah ia pegang. Mau jogging aja, kudu dandan.  "Bentar lagi ...," jawabku seraya mengikat tali
Read more

Part 16

Mendengar suara adzan subuh, aku pun tersadar dari alam mimpi. Menguap sebentar sambil merentangkan tangan. Nikmat mana yang bisa aku dustakan ketika aku bisa tidur nyenyak semalam? Tadi malam aku sengaja tidur agak cepat. Jika biasanya aku tidur di atas jam sepuluh malam, maka tadi malam jam delapan aku sudah bersiap untuk berkelana ke dunia mimpi. Dan, tak butuh waktu lama untukku terlelap. Sebelum pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu, aku sempatkan untuk mengecek ponsel sejenak. Satu-satunya yang aku tuju adalah aplikasi hijau. Barangkali ada pesan masuk yang cukup penting. Dari banyaknya pesan yang masuk, rata-rata bukanlah pesan pribadi, tetapi pesan di grup-grup yang aku ikuti. Bahkan, nggak ada chat dari ibu di kampung. "Tumben banget ibu nggak nge-chat. Biasanya nggak pernah absen," gumamku. Gini amat ya, nasib jadi jomlo, nggak ada yang nge-chat buat ngasih perhatian. Nggak ada yang nge-chat ngegombal, a
Read more

Part 17

"Saya panggil orangnya, ya." Pak Angga keluar dari ruangan divisi ini, dan tak lama kemudian kembali lagi dengan seseorang di sampingnya. Melihat orang itu, aku terkejut. "Bagas!" celetuk Alena. Ya, dia adalah Bagas. Orang yang kemarin berkenalan denganku dan Alena sewaktu makan di tenda lontong sayur. Mendengar namanya di panggil, Bagas pun melempar senyum pada Alena. "Kamu sudah mengenal Bagas, Alena?" tanya pak Angga. "Sudah, Pak. Kemarin baru aja kenalan. Ya, nggak, Gas?" Alena bertanya genit, dan diiyakan dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Bagas. Sekilas aku melirik pada Gio. Sepertinya Gio sedikit tidak suka pada sikap Alena kali ini. Mungkin saja Gio cemburu. "Bagus kalau kamu sudah mengenalnya, Alena. Nanti kamu bisa ajari Bagas bekerja. Dan kamu Bagas, silakan memperkenalkan diri pada teman-temanmu di divisi ini," tutur pak Angga. **********Aufa********
Read more

Part 18

Di sinilah aku, dan Alena sekarang. Di depan ruangan orang paling penting di perusahaan ini. Sudah sekitar lima menit sampai, baik aku maupun Alena, belum ada yang berani mengetuk pintu ruangan CEO. Aku menyuruh Alena supaya mengetuk pintu, dan masuk duluan, namun dia menolak, dan malah balik menyuruhku. "Udah, deh, Bismillah aja, semoga kita nggak dimarahin," ucapku. "Tapi, feeling gue nggak enak, La. Jangan-jangan bener kalau pak Gaza mau marahin kita, gara-gara tadi kita ngomong kek gitu ke Lashira." Alena tampak gusar. "Kan yang ngomong gitu ke Lashira, itu lo. Gue nggak." "Tapi kan kita tadi barengan pas ketemu sama Lashira." Menghembuskan napas kasar, aku menyudahi adu pendapat dengan Alena. "Ya udahlah, ayo masuk aja. Udah sore ini. Persetan nanti dimarahin kek, dihukum kek, bahkan dikasih SP juga bodo amat." "Ya, lo duluan sana yang masuk." Alena mendorong tubuhku ke arah
Read more

Part 19

Tak terasa sudah satu bulan aku bekerja di perusahaan Alexander Corp. Aku sudah mulai menguasai apa yang menjadi job desc-ku, tanpa harus sering bertanya pada teman satu divisi, jika aku sedikit tak paham tentang tugasku. Dengan para karyawan kantor dari divisi lain pun banyak yang sudah kukenal, bahkan sampai akrab juga. Baik sesama karyawan perempuan, maupun beda jenis, namun masih tetap di batas yang wajar. Aku dan beberapa teman yang cukup dekat denganku di kantor pun sering menghabiskan waktu bersama, baik di jam makan siang, maupun selepas jam pulang. Oh, ya, antara aku dan Alena juga masih menjalankan misi untuk pedekate sama Bagas, meski dulu sempat diperingati oleh CEO. Kebetulan hari ini adalah hari di mana aku menerima gaji pertamaku sebagai karyawan Alexander Corp. Cukup besar ternyata, padahal aku sempat menduga kalau karyawan divisi marketing sepertiku, gajinya tidaklah seberapa, apalagi statusku yang masih karyawan b
Read more

Part 20

Suasana seketika menjadi tegang. Bagaimana tidak, soalnya sang pemilik perusahaan ini tengah hadir di ruang divisi kami, guna melihat kinerja karyawan.  Sekarang, aku tahu bagaimana rupa ayahnya Gaza. Dengan wajah yang mirip dengan Gaza, serta postur tubuhnya pun tak jauh berbeda. Warna kulit Gaza kuning langsat, sedangkan ayahnya cenderung ke sawo matang.  "Saya sangat senang, kalian bisa bekerja dengan baik. Saya juga mengapresiasi kinerja kalian, karena tanpa kalian, pemasaran produk kita tidak akan berkembang pesat. Divisi marketing, merupakan divisi yang penting di semua perusahaan, termasuk perusahaan ini," ucap pak Abraham dengan raut bahagianya.  Memandang pak Abraham, aku jadi teringat tentang Gaza yang dulu. Sederhana dan bersahaja, juga murah senyum. Mungkin sifat Gaza yang dulu, adalah turunan dari ayahnya, sedangkan Gaza yang sekarang, turunan dari genderuwo.  "Sepertinya, saya baru melihat kamu. Apakah kamu karyawan b
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status