Tak terasa sudah satu bulan aku bekerja di perusahaan Alexander Corp. Aku sudah mulai menguasai apa yang menjadi job desc-ku, tanpa harus sering bertanya pada teman satu divisi, jika aku sedikit tak paham tentang tugasku.
Dengan para karyawan kantor dari divisi lain pun banyak yang sudah kukenal, bahkan sampai akrab juga. Baik sesama karyawan perempuan, maupun beda jenis, namun masih tetap di batas yang wajar.
Aku dan beberapa teman yang cukup dekat denganku di kantor pun sering menghabiskan waktu bersama, baik di jam makan siang, maupun selepas jam pulang.
Oh, ya, antara aku dan Alena juga masih menjalankan misi untuk pedekate sama Bagas, meski dulu sempat diperingati oleh CEO.
Kebetulan hari ini adalah hari di mana aku menerima gaji pertamaku sebagai karyawan Alexander Corp. Cukup besar ternyata, padahal aku sempat menduga kalau karyawan divisi marketing sepertiku, gajinya tidaklah seberapa, apalagi statusku yang masih karyawan b
Suasana seketika menjadi tegang. Bagaimana tidak, soalnya sang pemilik perusahaan ini tengah hadir di ruang divisi kami, guna melihat kinerja karyawan. Sekarang, aku tahu bagaimana rupa ayahnya Gaza. Dengan wajah yang mirip dengan Gaza, serta postur tubuhnya pun tak jauh berbeda. Warna kulit Gaza kuning langsat, sedangkan ayahnya cenderung ke sawo matang. "Saya sangat senang, kalian bisa bekerja dengan baik. Saya juga mengapresiasi kinerja kalian, karena tanpa kalian, pemasaran produk kita tidak akan berkembang pesat. Divisi marketing, merupakan divisi yang penting di semua perusahaan, termasuk perusahaan ini," ucap pak Abraham dengan raut bahagianya. Memandang pak Abraham, aku jadi teringat tentang Gaza yang dulu. Sederhana dan bersahaja, juga murah senyum. Mungkin sifat Gaza yang dulu, adalah turunan dari ayahnya, sedangkan Gaza yang sekarang, turunan dari genderuwo. "Sepertinya, saya baru melihat kamu. Apakah kamu karyawan b
"Jadi, ada kepentingan apa yang membuat Bapak sampai menyuruh saya ke sini?" tanyaku ketus ketika tiba di ruangan CEO alias kandang macan. Berdiri tegak memandang ke arah Gaza yang tengah duduk membelakangiku di kursi panasnya. Sebenarnya dari lubuk hati terdalam, aku malas sekali bertandang ke ruangan ini, sampai-sampai mengorbankan jam makan siangku bersama teman-teman. "Duduk!" perintah Gaza, masih membelakangiku. Oke, tanpa disuruh dua kali, aku pun mendaratkan pantatku di kursi depan meja Gaza. Capek tau, dari tadi berdiri terus, untung lagi nggak pake sepatu hak tinggi. Gaza masih belum mau memberi tahu perihal kenapa ia memanggilku ke sini. Dia masih diam, dan itu membuatku kesal. "Pak, saya sudah di sini, cepat sampaikan keperluan Bapak ke saya, biar cepet selesai. Saya kan mau makan siang bareng temen-temen," kataku sedikit memaksa. Bodo amat kalau dia merasa tidak dihormati, lagian ditunggu
"Oke. Saya akan beri tahu kamu. Tapi tentunya itu tidak gratis. Ada harga yang harus kamu bayar." Ya ampun! Perhitungan banget sih, nih orang. Rasanya pengen nendang dia ke Antartika, deh. "Apa yang harus saya lakukan, Pak?" "Gampang! Cukup pulang dengan saya nanti," kata Gaza. Nih, mau modus kali, ya. "Ngapain pulang bareng Bapak? Mending Bapak kasih tau aja alamat bengkelnya di mana. Saya bisa ke sana sendiri, kok." Ogah, kali pulang bareng dia. Masa pagi, siang, sore, sama mantan terus. Mana mantan udah punya cewek baru, lagi, nanti bisa-bisa aku dikatain pelakor. "Kalau menolak tawaran saya, ya, sudah. Saya tidak akan memberi tahu kamu di mana tempat bengkel itu. Biar kamu terus dihantui sama hutang kamu itu." Nih orang pinter banget nyari kesempatan, ya. "Ya, udah, saya ikut Bapak. Tapi, setelah urusan saya dengan orang bengkel selesai, Bapak harus berjanj
"Eh, kita mau ke mana lagi sih?" tanyaku ketus, "tempat kost gue udah deket dari sini. Lo nggak perlu nganter gue." "Siapa bilang mau mengantar kamu? Kamu yang harus ikut saya." "Ya, tapi ke mana, Bambang!" "Ke hotel." "Hah?!" Aku melongo. "Ngapain?" Gaza tak menjawab pertanyaanku, sebaliknya dia cuma cengar-cengir nggak jelas sambil fokus nyetir. Gila mendadak mungkin dia, ya? "Za, lo jangan macem-macem, ya. Lo emang bos gue, tapi bukan berarti lo bisa ngajakin gue ke hotel. Gue masih punya harga diri, Gaza!" cecarku. Lagi-lagi Gaza cuma cengar-cengir doang, dan itu bikin aku tambah kesal. ==========Aufa========= Setibanya di hotel, Gaza mengajakku ke kafe yang memang masih satu gedung dengan hotel ini. Seenggaknya aku masih bisa sedikit bernapas lega karena Gaza nggak nyewa kamar buat .... "Sedari tadi kamu pasti berpikir kalau saya mau mengajak kamu chec
"Jadi, kemarin om kamu yang adiknya almarhum ayah kamu datang ke sini. Dia bilang, ingin menjodohkan kamu sama teman bisnisnya, La.""Apa?! Jodohin Alula, Bu? Sama siapa?""Iya, La, katanya om kamu mau jodohin kamu. Tapi, sama siapa ibu nggak tau," jawab ibu.Duh, jangan-jangan aku mau dijodohin sama temennya om. Otomatis umurnya juga nggak jauh beda dari om, dong. Atau bahkan mungkin lebih tua. Iiih ... ogah, mending kalau dijodohin sama mantan, eh!"Halo, Alula. Kamu nggak tidur, kan? Masih dengerin ibu?" tanya ibu. Mungkin bingung karena aku dari tadi diem aja, mikirin kemungkinan-kemungkinan dari perjodohan itu."Iya, Bu, Alula denger, kok," ucapku lesu. Gimana mau semangat, coba, orang dapat kabar duka seperti itu. Aku memang paling nggak suka dijodoh-jodohin seperti itu.Terdengar helaan napas berat ibu di seberang sana, kemudian beliau berucap, "ibu sih, terserah sama kamu aja, La. Mau nerima ya, si
Sejak memberi tahu Gaza kalau aku dijodohin, dia tak lagi menggangguku. Nggak lagi nyuruh-nyuruh yang bukan kerjaanku, dan nggak lagi nyuruh aku ke ruangannya. Dia seperti menjaga jarak denganku, kami bagai orang yang nggak saling kenal. Berpapasan pun dia cuma melirik aja, dan nggak pernah negur.Entah kenapa sikap Gaza yang demikian padaku, justru membuatku sedikit merasa kehilangan. Aku seperti orang yang nggak diinginkan, ditambah lagi, akhir-akhir ini Lashira rajin banget datang ke kantor, dan memamerkan kemesraan pada semua penghuni kantor ini.Cemburu?Enggak sih, cuma aku kesal aja, kenapa mantan justru nasibnya lebih terdepan daripada aku. Punya jabatan yang bagus, pacarnya cantik, lagi. Sedangkan aku cuma karyawan biasa, dan sampai saat ini masih jomlo.Ngenes banget kan, kerja di perusahaan punya mantan, tiap hari harus lihat adegan kemesraan si mantan bareng ceweknya."La, gue heran deh, sama lo. Akhir-akhi
"Kamu mau, Alula?" Sekarang giliran Gaza yang bertanya, dan mulai melihat ke arahku. Padahal dari tadi dia sok-sokan nggak menganggap ada aku di sini.Pandangan mataku dan Gaza bertemu. Tatapan yang sudah lama nggak aku lihat semenjak dia mulai menghindariku. Dan sekarang, demi permintaan pacarnya itu, Gaza menyuruhku?"Mau, ya, Alula, please ...," rayu Lashira dengan tatapan memohonnya, dan sekarang dia memegang lenganku, seperti anak kecil yang sedang meminta dibelikan permen oleh ibunya.Aku bingung, mau menurutinya atau enggak. Mau menurut, kok aku rasanya kek jadi babu, tapi kalau nggak dituruti, aku kasihan sama Lashira."Eh, maaf, Alulanya nggak bisa. Dia lagi capek, jadi jangan disuruh-suruh," kata Alena dengan tegas. Kuyakin sahabatku ini pasti nggak rela aku disuruh-suruh sama pacar mantannya.Alena menyenggol lenganku, dan reflek aku menoleh ke arahnya. Dia berkedip dan itu adalah isyarat agar aku menurutinya."I
"Kamu mau jadi partner saya malam ini, Baby?" bisiknya di telingaku. Seketika tubuhku menegang dipanggil seperti itu olehnya. Degub jantung kini kian kencang, apalagi saat kutahu Alena menghilang entah ke mana, hingga menyisakanku berdua dengan Gaza. Kenapa waktu dipanggil dengan sebutan 'baby' tadi, aku seperti akan mengingat sesuatu, tapi aku juga bingung itu apa. Rasanya sebutan itu kek familiar. "Kalau kamu diam, berarti jawabannya, iya," putus Gaza, dan kini dia sudah berani menggenggam tanganku. Ada gelenyar aneh saat tangan ini digenggam olehnya. Waktu pacaran dulu, sepertinya kami nggak pernah bergenggaman tangan seperti ini. Dulu Gaza adalah orang yang sangat menghormati perempuan. Aku buru-buru sadar saat Gaza mulai menuntunku dan berjalan beberapa langkah dari tempat tadi. "Lepas, Pak! Saya nggak mau jadi partner Bapak." "Kenapa kamu jadi berubah pikiran?" Gaza menatapku heran. "Saya da
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara