"Jadi, kemarin om kamu yang adiknya almarhum ayah kamu datang ke sini. Dia bilang, ingin menjodohkan kamu sama teman bisnisnya, La."
"Apa?! Jodohin Alula, Bu? Sama siapa?"
"Iya, La, katanya om kamu mau jodohin kamu. Tapi, sama siapa ibu nggak tau," jawab ibu.
Duh, jangan-jangan aku mau dijodohin sama temennya om. Otomatis umurnya juga nggak jauh beda dari om, dong. Atau bahkan mungkin lebih tua. Iiih ... ogah, mending kalau dijodohin sama mantan, eh!
"Halo, Alula. Kamu nggak tidur, kan? Masih dengerin ibu?" tanya ibu. Mungkin bingung karena aku dari tadi diem aja, mikirin kemungkinan-kemungkinan dari perjodohan itu.
"Iya, Bu, Alula denger, kok," ucapku lesu. Gimana mau semangat, coba, orang dapat kabar duka seperti itu. Aku memang paling nggak suka dijodoh-jodohin seperti itu.
Terdengar helaan napas berat ibu di seberang sana, kemudian beliau berucap, "ibu sih, terserah sama kamu aja, La. Mau nerima ya, si
Sejak memberi tahu Gaza kalau aku dijodohin, dia tak lagi menggangguku. Nggak lagi nyuruh-nyuruh yang bukan kerjaanku, dan nggak lagi nyuruh aku ke ruangannya. Dia seperti menjaga jarak denganku, kami bagai orang yang nggak saling kenal. Berpapasan pun dia cuma melirik aja, dan nggak pernah negur.Entah kenapa sikap Gaza yang demikian padaku, justru membuatku sedikit merasa kehilangan. Aku seperti orang yang nggak diinginkan, ditambah lagi, akhir-akhir ini Lashira rajin banget datang ke kantor, dan memamerkan kemesraan pada semua penghuni kantor ini.Cemburu?Enggak sih, cuma aku kesal aja, kenapa mantan justru nasibnya lebih terdepan daripada aku. Punya jabatan yang bagus, pacarnya cantik, lagi. Sedangkan aku cuma karyawan biasa, dan sampai saat ini masih jomlo.Ngenes banget kan, kerja di perusahaan punya mantan, tiap hari harus lihat adegan kemesraan si mantan bareng ceweknya."La, gue heran deh, sama lo. Akhir-akhi
"Kamu mau, Alula?" Sekarang giliran Gaza yang bertanya, dan mulai melihat ke arahku. Padahal dari tadi dia sok-sokan nggak menganggap ada aku di sini.Pandangan mataku dan Gaza bertemu. Tatapan yang sudah lama nggak aku lihat semenjak dia mulai menghindariku. Dan sekarang, demi permintaan pacarnya itu, Gaza menyuruhku?"Mau, ya, Alula, please ...," rayu Lashira dengan tatapan memohonnya, dan sekarang dia memegang lenganku, seperti anak kecil yang sedang meminta dibelikan permen oleh ibunya.Aku bingung, mau menurutinya atau enggak. Mau menurut, kok aku rasanya kek jadi babu, tapi kalau nggak dituruti, aku kasihan sama Lashira."Eh, maaf, Alulanya nggak bisa. Dia lagi capek, jadi jangan disuruh-suruh," kata Alena dengan tegas. Kuyakin sahabatku ini pasti nggak rela aku disuruh-suruh sama pacar mantannya.Alena menyenggol lenganku, dan reflek aku menoleh ke arahnya. Dia berkedip dan itu adalah isyarat agar aku menurutinya."I
"Kamu mau jadi partner saya malam ini, Baby?" bisiknya di telingaku. Seketika tubuhku menegang dipanggil seperti itu olehnya. Degub jantung kini kian kencang, apalagi saat kutahu Alena menghilang entah ke mana, hingga menyisakanku berdua dengan Gaza. Kenapa waktu dipanggil dengan sebutan 'baby' tadi, aku seperti akan mengingat sesuatu, tapi aku juga bingung itu apa. Rasanya sebutan itu kek familiar. "Kalau kamu diam, berarti jawabannya, iya," putus Gaza, dan kini dia sudah berani menggenggam tanganku. Ada gelenyar aneh saat tangan ini digenggam olehnya. Waktu pacaran dulu, sepertinya kami nggak pernah bergenggaman tangan seperti ini. Dulu Gaza adalah orang yang sangat menghormati perempuan. Aku buru-buru sadar saat Gaza mulai menuntunku dan berjalan beberapa langkah dari tempat tadi. "Lepas, Pak! Saya nggak mau jadi partner Bapak." "Kenapa kamu jadi berubah pikiran?" Gaza menatapku heran. "Saya da
Merasakan kepala yang sedikit pusing, aku mencoba untuk membuka mata. Tunggu, kenapa bagian perutku terasa berat, seperti ada sesuatu di atasnya?Begitu kubuka mata, aku langsung kaget karena ada sebuah tangan kokoh berada melingkar di perutku. Dan ...."Aaargh!" jeritku ketika tahu siapa pemilik tangan itu, yang posisinya tidur sambil memelukku. Refleks, aku pun terduduk.Dia pun terbangun, mungkin karena kaget mendengarku menjerit."Alula! Ini masih pagi, kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya tanpa merasa bersalah."Harusnya gue yang tanya sama lo, kenapa lo bisa tidur sambil meluk gue?" Aku balik bertanya dengan nada kesal.Yang ditanya hanya menaikkan sebelah alisnya, lalu kembali memejamkan mata. Tentu itu membuatku jadi tambah kesal."Gaza jawab! Kenapa lo bisa tidur di sini?" tanyaku lagi, "pasti lo nyelonong masuk ke kost gue, kan?"Gaza bangkit, lalu duduk sambil bersandar pada
"Bi, kalau boleh tau, hubungan Gaza sama Lashira sudah sejauh apa, Bi?""Non Lashira sama tuan Gaza ....""Bi Ijah, sarapannya sudah siap?" tanya Gaza yang tiba-tiba datang.Huh! Mengganggu saja, padahal sebentar lagi semua bakal terkuak."Sudah, Tuan. Nasi goreng ebi sesuai request-an Tuan tadi malam."Gaza mengangguk, lalu duduk di meja makan. Bi Ijah segera menyiapkan sarapan untuk majikannya itu, sedangkan aku kembali lagi ke kamar Gaza setelah dia menyuruh agar aku mandi di kamar mandi yang terletak di kamarnya.Setelah berada di kamar mandi, aku bingung, karena sehabis mandi nanti mau pakai baju apa. Nggak mungkin dong, piyamanya dipakai lagi, gaun yang tadi malam juga nggak tahu di mana.Saat sedang mikir sambil mondar-mandir di kamar mandi, tiba-tiba pintunya diketuk."Non Alula, ini bibi, mau bawain baju ganti buat Non."Wah, kebetulan banget, tuh."Iy
"La, lo dari mana aja?" tanya Alena begitu aku sampai di depan pintu kost-ku. Ternyata semalam dia pulang ke sini."Harusnya gue yang tanya ke lo, lo ke mana aja, sampai gue bisa di apartemen Gaza," kataku sambil nyelonong masuk ke tempat berteduhku selama aku mencari nafkah di kota ini. Setelahnya, aku langsung merebahkan tubuh di kasur lantai yang sudah mulai lusuh.Alena menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatal itu. Dia duduk sambil mengamatiku."Keknya lo salah paham, La. Gue jelasin, ya." Dia mengambil napas sejenak. "Jadi, semalam gue liat lo pingsan, dan lagi ditolong sama pak Gaza, La. Gue mendekat, dan bilang sama pak Gaza kalau mau bawa pulang lo. Tapi, waktu gue mau pesen taksi online, pak Gaza bilang kalau dia yang mau nganterin lo pulang, dia minta alamat kost ini ke gue, ya, udah gue kasih.""Terus, setelah itu?" tanyaku mulai penasaran. Kini aku ikut duduk menghadap Alena."Setelah gu
"Lashira dan Agung ini kakak beradik," ucap Gaza, tapi tak membuatku percaya. Entah mengapa Gaza seperti menyembunyikan sesuatu."Kalau kakak beradik, kenapa cowok ini tadi panggil Lashira 'sayang' Pak?" tanya Alena. Aku yakin Lashira merasa semakin terpojok."Benar begitu, Agung?" Gaza menatap cowok yang disebutnya Agung itu.Agung menatap Gaza, kemudian beralih menatap Lashira. Seperti ada sesuatu yang Lashira utarakan lewat tatapan mata itu.Setelah bertatapan dengan Lashira, kini giliran Agung menatap ke arahku, dan Alena. "Iya, gue dan Lashira itu kakak adik. Karena Lashira adik gue, makanya gue panggil dia sayang.""Terus, kenapa lo kek bingung tadi, waktu gue bilang Lashira selingkuh?" tanya Alena ketus."Ya, gue bingung dong. Selama ini kan, Lashira emang nggak pernah selingkuh." Jawaban yang menurutku mbulet. Aku curiga si Agung ini bersekongkol sama Lashira. Bisa aja kan, kalau sebenarnya mereka
Tarik napas yang dalam, lalu keluarkan. Baiklah, tuan mantan, aku turuti kemauanmu. Kucium tangan kekar itu, dan aku rasa Gaza menegang akibat perlakuanku. Tiba-tiba .... "Gaza!" Karena kaget mendengar Gaza dipanggil seseorang, aku pun refleks melepaskan tangan Gaza, dan beralih menoleh ke sumber suara. Waduh, ternyata pak Abraham. Beliau kini menatap heran ke arahku, dan Gaza. "Iya, Pa," jawab Gaza datar, eh, lebih tepatnya santai kek nggak ada apa-apa. Berbanding terbalik denganku yang mulai merasa ketakutan. "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanya pak Abraham. "Papa tadi lihatnya bagaimana?" Gaza balik bertanya. Sumpah, ya, kalau aku jadi pak Abraham, sudah kupites tuh Gaza. Ngomong sama papanya sendiri kok nggak sopan. Pak Abraham menghembuskan napas kasar. Kalau kutebak sih, beliau lagi kesal karena jawaban dari anaknya tadi. "Ya, maksudnya kenapa Al
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara