"Lashira dan Agung ini kakak beradik," ucap Gaza, tapi tak membuatku percaya. Entah mengapa Gaza seperti menyembunyikan sesuatu.
"Kalau kakak beradik, kenapa cowok ini tadi panggil Lashira 'sayang' Pak?" tanya Alena. Aku yakin Lashira merasa semakin terpojok.
"Benar begitu, Agung?" Gaza menatap cowok yang disebutnya Agung itu.
Agung menatap Gaza, kemudian beralih menatap Lashira. Seperti ada sesuatu yang Lashira utarakan lewat tatapan mata itu.
Setelah bertatapan dengan Lashira, kini giliran Agung menatap ke arahku, dan Alena. "Iya, gue dan Lashira itu kakak adik. Karena Lashira adik gue, makanya gue panggil dia sayang."
"Terus, kenapa lo kek bingung tadi, waktu gue bilang Lashira selingkuh?" tanya Alena ketus.
"Ya, gue bingung dong. Selama ini kan, Lashira emang nggak pernah selingkuh." Jawaban yang menurutku mbulet. Aku curiga si Agung ini bersekongkol sama Lashira. Bisa aja kan, kalau sebenarnya mereka
Tarik napas yang dalam, lalu keluarkan. Baiklah, tuan mantan, aku turuti kemauanmu. Kucium tangan kekar itu, dan aku rasa Gaza menegang akibat perlakuanku. Tiba-tiba .... "Gaza!" Karena kaget mendengar Gaza dipanggil seseorang, aku pun refleks melepaskan tangan Gaza, dan beralih menoleh ke sumber suara. Waduh, ternyata pak Abraham. Beliau kini menatap heran ke arahku, dan Gaza. "Iya, Pa," jawab Gaza datar, eh, lebih tepatnya santai kek nggak ada apa-apa. Berbanding terbalik denganku yang mulai merasa ketakutan. "Apa yang kalian berdua lakukan di sini?" tanya pak Abraham. "Papa tadi lihatnya bagaimana?" Gaza balik bertanya. Sumpah, ya, kalau aku jadi pak Abraham, sudah kupites tuh Gaza. Ngomong sama papanya sendiri kok nggak sopan. Pak Abraham menghembuskan napas kasar. Kalau kutebak sih, beliau lagi kesal karena jawaban dari anaknya tadi. "Ya, maksudnya kenapa Al
Dengan napas terengah-engah, aku menuju ruangan Gaza. Harus banget minta penjelasan ke dia, kenapa fitnah aku kalau aku hamil sama dia, sampai-sampai aku dibawa bu Indira ke rumah sakit buat cek kehamilan."Gaza! Apa maksud lo pake bilang ke pak Abraham, dan bu Indira, kalau gue hamil anak lo!" tuntutku begitu masuk ke ruangan Gaza, dan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti biasanya.Dia sepertinya terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba, apalagi sambil marah-marah. Mungkin sekarang keadaanku di matanya bak orang gila."Kamu bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk, kan?" Dia malah melempar tanya.Aku memutar bola mata, kesal rasanya. "Kelamaan! Gue ke sini mau minta penjelasan dari Lo.""Bisa bicara lebih sopan? Saya di sini atasan kamu, Alula," ucapnya sok.Menghembuskan napas kasar, kemudian aku berjalan mendekat ke arahnya. Tanpa menunggu disuruh duduk, aku lebih dulu mendaratkan pantat di kursi
"Baiklah. Saya mau mengantar ini," ucap Gaza seraya menyodorkan sebuah paper bag.Apa ya, isinya?"Apa, tuh?" tanyaku sambil menatap paper bag itu, namun belum kuterima."Kamu bisa membukanya nanti di dalam."Oke, aku terima aja, barangkali isinya emas atau berlian. Eh, nggak mungkinlah mantan ngasih gituan!"Thanks," ucapku, "ya, udah, lo nggak ada urusan lagi, kan? Pergi sana, gue mau masuk."Bukannya pergi seperti kataku, Gaza justru hanya sedikit bergeser dari tempatnya berdiri. "Silakan masuk. Saya harap kamu tidak terkejut setelah melihat isinya."Aku mengerutkan dahi, kurang paham dengan maksudnya. Jangan-jangan, di dalam paper bag ini ada barang terlarang atau ...."Kenapa kamu menatap saya seperti itu? Tenang saja, isinya bukan narkoba atau pun sejenisnya." Gaza tersenyum miring.Udahlah, buang pikiran buruk jauh-jauh. Nggak baik juga buat kesehatan kalau mikir yan
"Apa?! Jadi semalam pak Gaza nginep di kost lo?!" tanya Alena dengan ekspresi terkejutnya. Sebenarnya aku sudah menduga, sih, dan setelah ini dia pasti heboh.Aku cuma mengangguk aja, menanggapi pertanyaan Alena. Untung sekarang lagi di kost Alena, jadi nggak mungkin ada yang mencuri dengar, meskipun Alena tadi ngomongnya kek mercon. Coba aja kalau lagi di kantor, udah habis aku."Terus, terus, lo sama pak Gaza ngapain aja, La? Jangan bilang kalian ...."Tuk.Aku memukul kepala Alena dengan pensil, menghentikan ucapannya yang mungkin saja menjurus ke yang tidak-tidak."Jangan mikir aneh-aneh! Gue sama dia nggak ngapa-ngapain," kataku.Alena menelisik wajahku. Biasanya kalau dia kek gini, itu artinya dia lagi mencari-cari adakah kebohongan padaku."Lo nggak bohong, kan, La?" tanya Alena dengan nada yang menurutku mengerikan, apalagi jari telunjuknya menunjuk ke wajahku."Ya, nggakl
"Alula," panggil bu Indira, yang ternyata sudah berdiri di dekat meja kerjaku. Terlalu fokus mantengin PC, sampai-sampai nggak sadar tuh atasan udah ada di dekatku."Ya, Bu?" sahutku."Saya disuruh pak Abraham memanggil kamu untuk segera ke ruangannya," ucap bu Indira.Aku mengernyit heran. Ngapain ya, pemilik perusahaan manggil aku? Mau kasih bonus lagi, seperti waktu itu? Boleh juga sih."Mmm ... disuruh ngapain, ya, Bu, saya ke sana?" tanyaku."Kamu ini, kalau disuruh ke sana, ya, ke sana, saja. Ngapain pake tanya-tanya segala!" Si mak lampir marah. Padahal udah beberapa hari ini dia tobat marah-marah, eh sekarang khilaf lagi."Baik, Bu," jawabku seraya bangkit dari duduk, lalu mengambil alat tulis, siapa tahu ini diperlukan.Tanpa berlama-lama lagi, aku pun segera meninggalkan ruang divisi ini, menuju ruangan pemilik perusahaan yang berada di lantai paling atas di kantor ini.
"Ya, udah, La, lo yang sabar aja." Alena mengusap pundakku, setelah aku ceritakan tentang perintah dari pak Abraham. "Oh, ya, selama lo di-skors, mendingan lo tinggal di tempat gue aja, ya," ajak Alena."Thanks, Len, tapi gue nggak mau ngerepotin lo," kataku.Selama ini, Alena udah baik banget sama aku. Selain sebagai sahabat, aku juga udah menganggapnya sebagai saudara. Setiap ada masalah, pasti aku cerita ke Alena, begitu juga dengannya. Dan kali ini, aku nggak mau repotin dia lagi."Siapa yang repot, sih, La? Justru gue seneng kalau lo tinggal bareng gue. Lagian lo betah amat tinggal sendirian di kost, mana jauh lagi dari kantor," gerutu Alena. "Mending bareng gue, setidaknya buat sebulan ini lah, jadi lo nggak perlu ngeluarin duit buat bayar kost lo.""Ya, gue yang nggak enak, lah, Len. Masa gue numpang di tempat lo, mana gue lagi di-skors.""Lo tuh kek sama siapa aja, deh, La. Heran gue. Dari dulu kita juga selalu
Hari ini aku mau mencoba mencari pekerjaan, untuk mengisi waktu selama aku di-skors. Pekerjaan yang nggak terikat kontrak tentunya. Contohnya, kerja di laundry, kedai, atau warung makan. Ya, yang bosnya membolehkan kerja selama kurang dari sebulan. Kata Alena, aku nggak usah kerja dulu. Waktu-waktu di-skors begini, bisa dijadikan buat me-refresh pikiran, dan buat me time, serta melakukan hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan pas lagi nggak ada libur kerja. Sebenarnya sih, aku mau aja melakukan seperti saran Alena, asal dompetku lagi tebal, sayangnya justru sebaliknya. Pengen juga sih, pulang kampung. Nanti kalau ditanya kenapa mudik, padahal bukan di liburan nasional, aku bisa jawab kalau kantor memberiku cuti. Tapi kan aku nggak setega itu buat bohong ke orang-orang, apalagi ke ibu. Yang membuatku ngotot hari ini cari kerja, karena tadi malam aku ditelfon sama adikku. Dia bilang, lagi butuh uang buat bayar program pari
Baiklah, hilangkan gengsi, saatnya menuju ke pasar. Dan, aku harus menyeberang jalan raya dulu untuk sampai ke pasar itu. Pada saat aku menyeberang, tiba-tiba .... "Tiiin!" Terdengar suara klakson mobil yang amat keras. Ketika aku menoleh ke arah kanan, ada sebuah mobil Alphard, yang tengah melaju ke arahku. Jaraknya lumayan dekat, hingga seperti mau menabrakku. Tubuhku seketika kaku di tempat. Kaki ini rasanya seperti ada lemnya, lengket ke aspal yang sedang kupijak. "Aaargh ...." Aku berteriak, karena tubuh ini seperti tak bisa untuk lari. Detik kemudian, aku memejamkan mata, dan mungkin sebentar lagi mobil itu menabrakku, dan nyawaku ...? Karena tidak ada yang aku rasakan selama beberapa saat, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka mata. Napas lega dihembuskan, karena mobil itu tak jadi menabrak, tapi kini posisinya hanya tinggal beberapa senti saja di dekat tubuh ini. Hampir saja!
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara