Hari ini aku mau mencoba mencari pekerjaan, untuk mengisi waktu selama aku di-skors. Pekerjaan yang nggak terikat kontrak tentunya. Contohnya, kerja di laundry, kedai, atau warung makan. Ya, yang bosnya membolehkan kerja selama kurang dari sebulan.
Kata Alena, aku nggak usah kerja dulu. Waktu-waktu di-skors begini, bisa dijadikan buat me-refresh pikiran, dan buat me time, serta melakukan hal-hal apa saja yang tidak bisa kita lakukan pas lagi nggak ada libur kerja.
Sebenarnya sih, aku mau aja melakukan seperti saran Alena, asal dompetku lagi tebal, sayangnya justru sebaliknya.
Pengen juga sih, pulang kampung. Nanti kalau ditanya kenapa mudik, padahal bukan di liburan nasional, aku bisa jawab kalau kantor memberiku cuti. Tapi kan aku nggak setega itu buat bohong ke orang-orang, apalagi ke ibu.
Yang membuatku ngotot hari ini cari kerja, karena tadi malam aku ditelfon sama adikku. Dia bilang, lagi butuh uang buat bayar program pari
Follow dan subscribe, kakakšš¤ā¤ļø
Baiklah, hilangkan gengsi, saatnya menuju ke pasar. Dan, aku harus menyeberang jalan raya dulu untuk sampai ke pasar itu. Pada saat aku menyeberang, tiba-tiba .... "Tiiin!" Terdengar suara klakson mobil yang amat keras. Ketika aku menoleh ke arah kanan, ada sebuah mobil Alphard, yang tengah melaju ke arahku. Jaraknya lumayan dekat, hingga seperti mau menabrakku. Tubuhku seketika kaku di tempat. Kaki ini rasanya seperti ada lemnya, lengket ke aspal yang sedang kupijak. "Aaargh ...." Aku berteriak, karena tubuh ini seperti tak bisa untuk lari. Detik kemudian, aku memejamkan mata, dan mungkin sebentar lagi mobil itu menabrakku, dan nyawaku ...? Karena tidak ada yang aku rasakan selama beberapa saat, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka mata. Napas lega dihembuskan, karena mobil itu tak jadi menabrak, tapi kini posisinya hanya tinggal beberapa senti saja di dekat tubuh ini. Hampir saja!
"Nah, Alula, ini rumah saya," ucap tante Nesya ramah, ketika kami sampai di depan rumahnya. Kalau dilihat dari luar begini, lumayan besar rumahnya, tapi sepertinya tidak berlantai dua.Halaman rumah ini bisa dikatakan hijau, yang mana banyak rumput Jepang tersebar hampir memenuhi seluruh halaman. Ada beberapa pohon juga, seperti pohon Pinus, dan pohon yang menyerupai pohon Cemara. Tak lupa juga ada banyak jenis tanaman bunga, yang aku yakin benar-benar dirawat oleh pemiliknya.Cukup sejuk, dan asri, tentunya enak dipandang, dan membuat siapa saja yang datang ke sini, akan merasa betah. Baru di depan rumah aja, aku sudah merasa betah, entah di dalam nanti."Bagus, rapi, dan sejuk, ya, rumah tante," ucapku dengan rasa kekaguman."Ya, begitulah. Tapi, ini semua bukan tante yang merawat, Alula. Ada orang yang tante pekerjakan. Kalau tante lagi nggak sibuk, tante sempetin buat ngurus bunga-bunga itu," ujar tante Nesya sembari menunjuk k
"Alula?""Kak Bara?"Mengapa ada dia di sini? Apa dia suaminya tante Nesya? Tapi, rasanya nggak mungkin, sebab tante Nesya umurnya sudah empat puluh lebih, sedangkan kak Bara sekitaran tiga puluh lima. Tapi, bisa jadi kan, kalau kak Bara suka yang lebih tua?Dengan durasi yang cukup lama, kami saling bertatapan. Aku nggak tahu apa arti tatapannya padaku, sedang arti tatapanku padanya, adalah rasa heran kenapa bisa bertemu di sini, dan berbagai pertanyaan yang muncul di kepala.Hingga akhirnya, sebuah suara mengalihkan tatapanku dari kak Bara. suara itu adalah deheman dari mbok Inah, yang sedari tadi berdiri di sampingku. Mungkin dia juga ikutan heran sepertiku, bedanya, herannya mbok Inah, kenapa aku dan orang di hadapanku ini saling memandang."Eh, Mbok, saya mau langsung pulang, ya," ucapku pada mbok Inah, dengan sedikit grogi, karena orang di hadapanku masih setia memandangiku."Iya, Mbak. Kata nyonya,
"Alula, kamu mau jadi pacar aku?"Hah? Demi apa, dosen paling ganteng di kampus, nyatain cinta sama aku? Aku lagi mimpi nggak sih, ini? Pipi kanan kiri kutepuk berulang kali, dan sakit rasanya. Artinya ini bukan mimpi.Di hadapanku, dia setengah berlutut sambil menyodorkan setangkai bunga mawar merah. Khas seperti orang yang tengah menyatakan cinta pada umumnya."P-pak Arsen, ng-ngak ber-bercanda, kan?" Ih, kok aku jadi gagap begini, sih. Mana jantung udah mau loncat, lagi.Dia tersenyum manis, sangat manis, gula sama madu pun kalah. Lalu dia berdiri, tak lagi berlutut seperti tadi."Kamu mau saya bercanda, atau serius?"Aduuh ... gimana, ya, aku pengen senyum-senyum jadinya, tapi malu. Siapa tahu ini cuma prank dari dosen yang paling digilai oleh para makhluk perempuan di kampus ini."Serius, Pak.""Iya, ini saya lagi serius, Alula," katanya, "mau, kan, jadi pacar saya?"B
"Nah, Salsa, sekarang udahan dulu mainnya, ya. Waktunya bobo siang," bujukku pada anak majikan, alias anak tante Nesya.Wajah Salsa berubah cemberut setelah kubujuk tadi. "Yah, Kak, padahal masih pengin main.""Mainnya nanti lagi, sekarang waktunya bobo."Tante Nesya memberi tahu jadwal tentang mengurus anaknya ini. Mulai dari mandi, main, makan, sampai tidur siang."Tapi, kalau nanti aku bobo, Kak Alula jangan pulang, ya," pinta Salsa dengan wajah polosnya.Aku tersenyum ke arahnya, lalu membelai lembut rambut hitam panjangnya. "Iya, Salsa. Kan emang belum waktunya kak Alula pulang.""Ya udah, deh, kalau gitu, aku mau bobo." Salsa mulai beranjak, meninggalkan mainannya yang berserakan di lantai. "Oh, ya, aku lupa ngasih tau kak Alula.""Kasih tau apa, nih? Kak Alula penasaran, dong," godaku."Katanya om Bara, nanti sore, aku mau diajak nganterin kak Alula, pake mobil om Bara."&nb
"Len, lo tau nggak, kalau pak Arsen udah meninggal?" tanyaku pada Alena yang kini berbaring di sampingku. Kami mau tidur karena sudah hampir larut. Tapi, kebiasaan sebelum tidur, ngobrol dulu sebentar. Pillow talk istilahnya."Tau. Emangnya kenapa?" jawab Alena."Kok lo nggak ngasih tau gue, sih?""Waktu itu lo masih kerja di perusahaan yang lama, La. Kita kan juga jarang kontekan. Lagian, ngapain sih, nanyain itu? Lo nggak lagi bersedih atas kematian dosen yang lo suka dulu, kan?" balas Alena."Ya, gue nggak sedih, sih, cuma kaget aja. Dan ternyata, pak Arsen itu, adik iparnya tante Nesya, lho, Len," kataku."Tante Nesya bos lo sekarang?""Iya. Gue baru tahu tadi siang, karena diceritain sama anaknya tante Nesya.""Kalau pak Arsen adik iparnya tante Nesya, berarti kak Bara juga dong?" tebak Alena."Ya, iya. Itu makanya waktu itu gue ketemu dia di rumah tante Nesya," jawabku
Masa kerja dengan tante Nesya sudah selesai. Itu berarti, masa skors-ku di perusahaan pun selesai. Lusa aku akan berangkat kembali ke kantor. Kembali berjibaku dengan setupuk pekerjaan.Ada senang dan sedih yang dirasa. Senangnya, sebentar lagi aku bertemu dengan teman-temanku di kantor, khususnya yang berada satu divisi denganku. Satu bulan rasanya lama sekali tak bertemu dengan mereka. Kangen masa-masa bercanda bareng, hang out bareng, dan nggosip bareng.Sedihnya, aku harus berpisah dengan Salsa. Meski masih berada di satu kota yang sama, tetap saja jarang bertemu nantinya. Aku udah terlanjur sayang sama dia. Sudah kuanggap seperti adikku sendiri, maklum dari dulu aku pengen punya adik perempuan, eh dapatnya dua adik laki-laki.Setelah kejadian di mana Gaza datang ke rumah tante Nesya, aku sudah tidak pernah lagi bertemu dengannya. Padahal, dugaanku dia akan sering ke rumah tante Nesya, setelah tahu aku bekerja di sana. Eh, memangnya aku sia
Dengan rasa semangat yang membara, hari ini aku kembali bekerja di perusahaan Alexander Corp.Berboncengan dengan Alena, aku bertanya tentang banyak hal yang terjadi di kantor saat tidak ada aku di sana. Sebenarnya sih, setiap hari aku tanya sama Alena, tapi sekarang aku tanyakan lagi.Setibanya di depan bangunan yang menjulang tinggi, kami segera menuju tempat parkir khusus untuk sepeda motor.Helm kubuka, lalu bercermin pada kaca spion motor, sambil merapikan rambut, serta melihat kalau-kalau ada yang aneh di wajahku. Untungnya, nggak ada apa-apa, bahkan jerawat pun nggak ada.Lain dengan Alena, dia sibuk dengan cermin kecil di tangan yang diarahkan ke wajahnya. Mengoles lagi bibirnya yang menurutku sudah merah.Berbeda dengan Alena, aku justru sangat jarak pake lipstik, apalagi yang berwarna terang. Seringnya pake lip balm, atau jika lagi pengen pake lipstik, aku memilih yang berwarna nude."Ayo buruan,
Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' š Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap iniš„ŗ Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.šš„ŗš Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ā¤ļø Aufa
Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena
Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan
Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."
"Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene
"Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj
Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...
"Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"
"Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara