Share

Mantan Jadi Bos
Mantan Jadi Bos
Penulis: Aufa

Part 1

Penulis: Aufa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-02 22:25:51

"Alula Maheswari. Dengan sangat berat hati, kamu saya pecat."

"Apa, Pak? Kenapa tiba-tiba saya dipecat, Pak? Memangnya saya salah apa?" tanyaku beruntun. Kaget sudah pasti. Bagaimana tidak kaget coba, tiba-tiba saja aku mendengar pernyataan yang sangat menakutkan bagi para karyawan rendahan sepertiku. Padahal seingatku, aku tidak melakukan sebuah kesalahan.

Jantungku sudah berdegup cukup kencang. Harapanku ini semua hanya prank.

Tapi, prank untuk apa? Ini bukan bulan April, jadi sudah jelas bukan April mop. Kalau diingat-ingat, ini juga bukan hari ulang tahunku.

Lalu ini semua maksudnya apa?

Laki-laki paruh baya yang tengah duduk di hadapanku itu menghela napasnya berat. Dia tak kunjung juga menjawab pertanyaan dariku. Hanya menatapku penuh iba.

Sebenarnya aku benci ditatap seperti ini, seolah-olah aku adalah orang yang perlu dikasihani, padahal kan aku hanya butuh jawaban.

"Pak, ini pasti cuma prank, kan?" Aku memastikan. "Aduuh ... ternyata Bapak bisa bercanda juga ya. Hahaha ...."

Aku masih bisa tertawa meski mungkin terlihat palsu, dan orang di depanku ini masih memasang wajah seperti tadi.

Lagi-lagi atasanku yang bernama pak Bambang itu menghela napasnya. Lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi goyang nan empuk yang tengah ia duduki, sembari menatapku yang masih sedikit tertawa.

"Alula, ini bukan sebuah lelucon, apalagi prank seperti yang kamu bilang tadi," ucap pak Bambang.

Perasaanku yang tadinya sudah mulai sedikit tenang, tiba-tiba kembali merasa terancam.

"Maksud Bapak, saya beneran dipecat, Pak?" tanyaku hati-hati.

Pak Bambang mengangguk, kemudian menyodorkan sebuah amplop berwarna kecoklatan. Kalau aku tebak sih, itu pasti uang pesangon.

Berapa ya, pesangonku?

Sepuluh juta?

Duapuluh juta?

Atau bahkan seratus juta?

Ih, apaan sih, posisi sedang terancam seperti ini malah sempat-sempatnya mikirin duit. Dasar Aku!

"Apa ini, Pak?" tanyaku setelah amplop berwarna kecoklatan itu kuterima. Meski berharap isinya uang, tapi tetap saja aku harus pura-pura tidak tahu.

"Itu surat pemecatan kamu, Alula. Maaf, saya tidak bisa memberi pesangon untuk kamu, sebab perusahaan melarangnya."

Apa?!

Jadi aku serius dipecat, dan tanpa pesangon?

Benar-benar tragis nasibku sekarang. Atasanku ini juga seperti tak berbelas kasihan.

Untuk memastikan perkataan pak Bambang, aku pun membuka amplop itu, lalu membacanya.

Dan benar saja, aku dipecat dari perusahaan ini. Padahal tiga tahun yang lalu aku harus bersusah payah berusaha agar bisa diterima bekerja di sini, dengan mengalahkan banyak pesaing yang juga ingin mendapatkan pekerjaan.

Lalu tiba-tiba saja dipecat?

"Tapi alasannya apa, Pak? Seingat saya, saya tidak pernah melakukan kesalahan fatal."

"Ya, benar, Alula. Kamu memang tidak pernah melakukan kesalahan apa pun pada perusahaan. Tapi kesalahanmu pada pak Susilo, selaku direktur di perusahaan ini," jelas pak Bambang.

Oke, kalau kesalahanku pada si tua bangka seperti yang dikatakan sama pak Bambang tadi memang benar adanya, tapi kenapa harus berimbas pada pekerjaanku sih?

"Tapi itu namanya tidak profesional, Pak. Urusan saya sama pak Susilo itu kan ranah pribadi, bukan masalah pekerjaan, kenapa imbasnya ke karir saya?" Aku mencoba membela diri, kali saja berguna.

"Saya tahu, Alula. Tapi, apa iya saya harus membantah perintah dari pak direktur? Tentu itu mengancam posisi saya Alula."

Huft!

Baiklah, kali ini aku harus mengalah, kembali mendebat juga percuma.

==============================

Keluar dari ruangan pak Bambang, aku berjalan lesu menuju ruangan divisi tempatku bekerja.

Setelah ini aku harus membereskan barang-barang, dan juga berpamitan pada teman-teman seperjuanganku.

"La, ada apa? Kok lemes gitu sih, keluar dari ruangannya pak Bambang. Habis diomelin ya?" tanya Arin, begitu melihatku masuk ke ruang divisi ini.

Suara Arin yang cukup keras tadi, tentu saja membuatku jadi pusat perhatian. Pasalnya, semua orang yang ada di ruangan ini otomatis melihat ke arahku. Pasti mereka kepo dengan jawaban yang akan aku utarakan.

"Gue dipecat," ucapku sambil berjalan menuju meja kerja tempat di mana biasanya aku mengerjakan tugas demi tugas yang diberikan oleh perusahaan. Ah, tepatnya kini menjadi mantan meja kerja.

Kalau namanya sudah berubah menjadi mantan, berarti wajib dilupakan. Seperti aku yang rajin banget melupakan barisan para mantan. Eh.

"Hah? Serius lo, La? Jangan bercanda deh," celetuk Tedi.

"Iya, La, nggak lucu tau bercanda kek gitu," timpal Gisel.

Dan banyak lagi celetukan-celetukan yang lainnya yang tak aku pedulikan.

Dibandingkan menjawab keingintahuan mereka, aku lebih memilih membereskan barang-barangku.

Melihatku yang tengah beres-beres, teman-teman satu ruangan ini beranjak menghampiri.

"Lo serius, La?" Arin memastikan, dan aku pun mengangguk.

"Aaarggh ... Alula ... gue sedih kalau lo pergi."

"Gue juga sedih, La."

"Apalagi gue, La. Kalau lo pergi, entar siapa dong yang bakalan jadi partner ghibah kita? Huhuhu ...."

Selanjutnya, suasana berubah menjadi sendu, dan penuh linangan air mata. Teman-teman bergantian memelukku sebagai tanda perpisahan.

Tadinya sih, aku tidak mau nangis, tapi karena terbawa suasana, jadinya ikutan nangis deh.

Tak dipungkiri ini cukup membuatku sedih. Selain kehilangan pekerjaan, aku juga harus berpisah dengan teman-teman yang selama ini melewati masa-masa susah senang bersama.

=============================

Keluar dari kantor dengan predikat dipecat secara tidak terhormat, membuat kepalaku sedikit mendidih. Untung saja tidak sampai meledak. Coba deh, kalau benar-benar meledak, pasti akan terlihat mengerikan.

Ah, aku harus mendinginkan pikiran. Sedih boleh, frustasi jangan. Apalagi sampai depresi. Ih, jangan sampai. Bukan Alula namanya jika terus-terusan meratapi nasib.

Mumpung masih jam dua siang, aku memutuskan untuk mampir ke kafe tempat biasa nongkrong bersama teman-teman.

Eits ... meskipun dipecat tanpa pesangon, tapi aku masih mampu kok untuk sekedar duduk santai di kafe sambil minum es kopi, tidak tahu kalau hari-hari berikutnya.

Masa bodohlah sama hari-hari yang akan datang, yang penting sekarang pikiranku harus adem dulu, plus mengembalikan mood yang tadi sempat hancur.

"Mbak, saya pesen es kopi kayak biasa ya," kataku pada salah satu pelayan di kafe ini. Kebetulan dia sudah paham sama aku, jadi nggak perlu lagi ngasih tahu apa yang mau dipesan.

"Baik, Mbak, ditunggu ya," jawab pelayan itu.

Sembari menunggu pesanan datang, aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil, lalu mulai memainkannya.

"Alula?" Terdengar suara cewek memanggilku. Kok seperti familiar ya suaranya.

Karena penasaran, aku pun mendongak untuk melihat siapa yang tadi memanggilku.

"Loh, Alena? Lo ngapain jam segini di sini? Nggak kerja lo?" tanyaku begitu mengetahui bahwa yang tadi memanggilku adalah sahabatku semasa kuliah dulu.

Alena mendudukkan dirinya di kursi tepat di hadapanku. "Gue lagi libur, La. Tepatnya sih, gue cuti karena pulang kampung. Nih, gue baru aja balik dari kampung, terus mampir ke sini dulu karena haus. Lo sendiri kenapa jam segini keliaran?"

"Gue baru aja dipecat, Len," jawabku jujur. Ya iyalah, masa mau bohong. Kan dosa. Bukan Alula namanya kalau suka bohong.

"Apa?! Lo dipecat, La? Emang lo ada kesalahan gitu?"

"Kalau kesalahan ke perusahaan sih, gue nggak ada. Tapi, gue punya kesalahan sama direkturnya," jelasku. Mungkin ini saatnya aku jujur tentang kenapa aku sampai dipecat dari perusahaan.

Tadi waktu pamitan sama orang-orang kantor, aku nggak ngasih tahu sama mereka perihal sebab pemecatanku, meski banyak dari mereka yang bertanya. Yang tahu alasannya hanya aku, pak Bambang, dan pak Susilo si direktur tua bangka itu.

"Sama direktur? Salah apa emang, Lo?"

"Kemarin pak direktur ngelamar gue buat jadi istrinya, Len, dan gue tolak mentah-mentah," kataku dengan sedikit menurunkan suara, takut ada yang dengar selain aku, dan Alena.

"Yah, kenapa lo nggak terima aja, La? Enak lho jadi istrinya direktur. Duitnya banyak, La. Auto lo jadi sultan, La." Ish, nih orang yang dipikirin cuma duit doang.

Aku menghembuskan napas kasar sebelum menjelaskan lebih detail lagi.

"Coba kalau lo jadi gue, Len. Emangnya lo mau diperistri sama laki-laki yang seumuran sama kakek lo, dan dijadikan istri keempat? Lo mau, Len?"

"Idiih ... ya nggak mau lah, La." Wajah Alena yang tadinya berbinar, kini berubah menampilkan raut jijik.

"Nah, kayak gitu juga alasan gue, Len. Si direktur itu udah tua, dan gue mau dijadiin istri keempat, ya gue ogahlah! Sejomblo-jomblonya gue, dan semiskin-miskinnya gue, gue nggak akan menggadaikan masa depan hanya demi harta. Hidup cuma sekali kok dibikin nggak enak, kan gue yang rugi," jelasku dengan menggebu.

Untung saja kafe lagi sepi, jadi bisa dipastikan tadi tidak ada yang mendengar penjelasanku.

"Wah, gil* tuh." Alena menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keputusan lo itu bener banget, La. Gue juga nggak rela kalau lo dijadiin istri keempat, apalagi sama aki-aki."

"Makanya gue lagi kesel banget nih, Len, dipecat cuma karena ketidak profesionalan si direktur. Mana gue nggak dikasih pesangon lagi," gerutuku.

"Tanpa pesangon? Wah, bener-bener son**ng tuh bos lo. Masa perusahaan besar mecat karyawan dengan seenaknya hanya karena urusan pribadi, dan nggak dikasih pesangon lagi. Kalau gue jadi lo, udah gue maki-maki tuh direktur." Alena terlihat ikut kesal dengan masalahku.

"Tuh tu* ba**ka emang nyebelin banget. Padahal perusahaan itu bukan miliknya, dia cuma jadi direktur doang."

"Kalau gitu, kenapa lo nggak aduin aja sama pemilik perusahaan?"

"Gue nggak tahu siapa pemilik perusahaannya, Len. Nggak pernah liat orangnya juga, padahal udah tiga tahun kerja di sana."

"Ya udah, La, lo sabar aja, siapa tau ini yang terbaik buat hidup lo. Gue pikir-pikir kalau lo tetep kerja di sana juga nggak enak, karena pasti tuh direktur bakalan ngelakuin sesuatu yang lain ke lo."

"Iya juga ya." Aku mengangguk sambil menerawang. Benar juga apa yang dikatakan Alena. Si direktur tua bangka itu nggak bakalan diam saja kalau aku tetap kerja di sana. Bisa jadi dia malah berbuat yang nggak baik ke aku. Kalau gitu, lebih mending dipecat kan?

"Eh, La, tapi lo jangan khawatir, di kantor gue lagi ada lowongan kok, tepatnya di divisi yang sama kayak gue. Ya, meskipun cuma di bagian marketing, nggak kayak jabatan lo di mantan kantor lo. Terus, lo juga tau sendirilah, kalau kantor gue bukan perusahaan besar seperti mantan kantor lo," terang Alena.

Mendengar Alena bilang di kantornya ada lowongan, seketika membuatku seperti mendapat angin segar. Senyum pun terbit dari bibirku.

"Wah, serius lo? Gue mau kok, Len. Nggak masalah kerja di bagian apa aja, yang penting halal plus gue nggak jadi pengangguran," ucapku antusias.

"Ya udah, kalau gitu besok lo dateng aja ke kantor gue bawa surat lamaran. Kalau gue tebak sih, lo bisa langsung diterima, secara pengalaman lo kerja di perusahaan besar itu tiga tahun."

=========================

Selesai nongki bareng Alena, aku pun pulang. Tentu saja sendirian karena Alena tadi dijemput pacarnya. Lagian juga nggak mungkin bareng, karena tempat kost-ku, dan Alena berbeda arah.

Untungnya, kost tempat tinggalku tidak terlalu jauh dari kafe tadi, dan tidak jauh juga dari mantan kantor. Sengaja aku menyewa kost yang dekat sama kantor, biar irit ongkos. Eh, sekarang malah dipecat. Gondok banget sumpah!

Berjalan dengan santai, dan perasaan yang sedikit sudah lebih baik, aku pulang menuju tempat kost.

Sebenarnya sih, pengin sambil nyanyi, tapi karena ini di pinggir jalan raya, maka aku mengurungkan keinginanku itu. Bisa-bisa nanti dianggap orang tidak waras.

Lagi asyik-asyiknya jalan, tiba-tiba saja bajuku basah karena terciprat oleh sebuah mobil yang lewat.

"Kurang aja* tuh mobil," rutukku. "Nih, rasain sepatu gue." Aku pun melepas sepatu, lalu langsung saja aku lemparkan ke arah mobil itu.

Dan ....

Kena kaca belakangnya?

Kok bisa?

Kirain tidak akan mengenai bagian kacanya. Meskipun tidak sampai membuat kaca mobil bagian belakang itu pecah, tapi seketika aku takut.

Lalu mobil itu seketika berhenti. Duh, sial! Pasti habis ini aku akan dimaki-maki sama si pemilik mobil itu.

Gawat!

Aku harus apa ini?

Badanku sudah gemetaran, jantung juga rasanya mau keluar dari tempatnya. Aku benar-benar ketakutan.

Takut diminta ganti rugi, takut dituntut, dan hal lainnya yang mungkin saja akan dilakukan oleh si pemilik mobil itu.

Karena saking takutnya, dan saking tidak bisa berpikir jernih, akhirnya aku memutuskan untuk berbaring di atas tanah. Tepatnya sih, pura-pura pingsan.

Semoga saja dengan kepura-puraan ini, si empunya mobil tidak akan memaki-makiku, dan tidak akan meminta ganti rugi.

To be continued

Komen (5)
goodnovel comment avatar
eny handayani
bgs lanjut dong
goodnovel comment avatar
Mom Mai_DzAm
hahaha.... ada² aja trik nya, pake pura² pingsan segala ...
goodnovel comment avatar
Abdul Abdul
mantap sekali bung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mantan Jadi Bos   Part 2

    Satu.Dua.Tiga.Dalam hati aku menghitung, namun tak kunjung ada tanda-tanda si pemilik mobil tadi menghampiriku. Tepatnya, tidak ada suara jejak kaki orang mau menghampiriku yang saat ini sedang pura-pura pingsan. Eh, tapi harusnya aku senang dong, karena itu berarti aku tidak akan dimarahi sama si empunya mobil, gara-gara kaca mobilnya aku lempari sepatu. Sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba kudengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahku. Hmm ... mungkin si pemilik mobil. Mataku terus terpejam, sedangkan suara langkah kaki itu semakin mendekat. Sebenarnya aku tidak tahan dengan posisi seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak seperti ini, kemungkinan aku akan dimaki-maki, dan dimintai pertanggungjawaban. "Walah, kok malah pingsan toh. Bukannya ini tadi yang lempar sepatu ke kaca mobil, ya?" Dari suaranya, aku bisa tebak kalau yang ngomong ini laki-laki yang sudah cukup berumur. Dan dari suaranya juga, aku yakin kalau aku tidak akan dimarahi, meskipun ak

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-02
  • Mantan Jadi Bos   Part 3

    . Aku mengedipkan mata, mencoba memastikan, benarkah mobil yang berhenti di sebelahku ini adalah mobil yang kemarin. Eh, tapi yang punya mobil mewah seperti itu kan bukan cuma orang yang kemarin saja, tentu ada banyak orang yang bisa memiliki mobil seperti itu kan? Lagi pula, aku tidak hafal plat nomornya. Bodo amatlah itu mobil orang yang kemarin atau bukan, yang pasti, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik aku segera memalingkan wajah ke sisi kiri. Beruntung, tak lama kemudian traffic light berubah jadi warna hijau, dan Alena pun segera menjalankan motornya kembali. Beruntungnya lagi, kulihat mobil itu berjalan mendahului motor yang sedang membawaku ini. Huuh ... selamat, selamat. Aku mengelus dada, lega. Keadaan kembali berpihak padaku. "La, lo kenapa, kok dari tadi diem mulu, nggak biasanya?" tanya Alena dengan suara kerasnya. Maklum, masih di jalan raya. "Nggak papa, cuma lagi latihan jadi pendiem aja," jawabku asal. Nggak mungkin dong, mau me

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05
  • Mantan Jadi Bos   Part 4

    "Kamu jalannya pake mata nggak sih?!" hardik seorang cewek yang ada di hadapanku. Entah kapan datangnya aku tidak tahu, karena kurasa dari tadi di lobi ini tidak ada seorang pun. "Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucapku datar. Dalam hati, aku tidak merasa bersalah. Memang sih, tadi aku sedang tidak fokus jalan karena tengok kanan kiri, tapi bukan berarti semua ini murni kesalahanku, ya. Harusnya kan dia jalannya bisa menghindariku yang tadi sedang tidak hadap depan, kalau jadi tabrakan begini, berarti dia juga salah dong, karena dia jalannya juga tidak fokus. Cewek yang kutaksir umurnya sekitar awal dua puluhan ini memicingkan matanya ke arahku, entah apa maksudnya. "Lo orang baru di sini, ya?" tanyanya dengan tatapan seperti tadi. "Iya, Mbak, sekali lagi saya minta maaf, ya, beneran tadi nggak sengaja, soalnya buru-buru," ucapku sembari menelungkupkan tangan ke depan dada. Dia masih menatapku penuh selidik, tanpa menjawab permintaan maafku. Karena risih ditatap seperti itu,

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-05
  • Mantan Jadi Bos   Part 5

    . Dengan langkah pelan, dan hati yang sudah tidak karuan, aku, dan Alena melangkah memasuki ruang divisi. Sepertinya bu Indira mengikuti di belakang kami. Huft. Tarik napas, bismillah. Semoga tidak disemprot sama CEO yang sedang memberi arahan di dalam. Lagian aku juga heran sih, masa iya seorang yang punya jabatan tertinggi di perusahaan ini langsung turun tangan memberi arahan pada karyawan di divisi marketing, yang notebene-nya bukan termasuk jajaran divisi yang tinggi di kantor ini. Aku memegang gagang pintu kaca tapi tidak tembus pandang ini, lalu dengan pelan aku mulai membukanya. "Permisi, Pak," ucapku sendirian, sedangkan Alena malah diam saja. Huh, dasar! Seketika pria yang sedang berdiri itu menoleh ke arahku, dan tatapan kami pun bertemu. Apa?! Kenapa dia lagi? Sedang apa dia di sini? Jangan-jangan dia .... Pria itu menaikkan satu alisnya, sembari menatapku dengan tatapan elangnya. Wiih ... kok jadi serem ya. "Maaf, Pak, kami terlambat," celetuk Alena y

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-06
  • Mantan Jadi Bos   Part 6

    . Daripada mati penasaran, maka kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang, masa bodo dengan pemandangan yang akan terlihat nanti. Semoga saja tidak membuatku jantungan. "Elaah ... cuma pel-pelan doang yang jatuh, kirain apaan," gerutuku begitu melihat ternyata sebuah pel-pelan yang jatuh. "Mbak!" Aku berjingkat ketika tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari samping. "Hih! Mbak Fitri bikin kaget aja, deh," ujarku pada sosok yang kini sudah berdiri di sampingku, dan entah kapan datangnya. "Hehe ... maaf Mbak, kalau saya bikin Mbak Alula kaget. Saya cuma mau ambil pel-pelan itu," tunjuknya pada alat pel yang tadi sempat bikin jantungku hampir lompat. Mbak Fitri ini adalah salah satu office girl di kantor ini. "Oh, iya, iya." Aku mengangguk. "Eh, Mbak Fit, btw, jam segini kok kantor udah sepi ya?" Sekalian saja kan aku tanyakan tentang ini. Mbak Fitri sudah lama bekerja di sini, jadi dia pasti paham tentang kantor. "Ah, nggak juga Mbak Alula, kantor mah sampai malem jug

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-09
  • Mantan Jadi Bos   Part 7

    ."Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?"Aku berdecak sebal. Kenapa sih, nih orang malam-malam begini bikin kesel. Bukannya aku mau nolak rezeki tumpangan ya, tapi aku tuh nggak nyaman aja bareng sama dia, apalagi status kami ini 'mantan'.Dia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi yang jelas ini bikin aku grogi."Emmm ... kayaknya gue mau pesen ojek online aja deh," putusku tanpa menatap ke arahnya."Yakin?" Satu alisnya terangkat. "Ini sudah malam, saya tidak ingin kamu ....""Nggak usah sok peduli!" tegasku memotong ucapannya."Saya bukan peduli sama kamu. Saya cuma tidak mau saja kalau ada salah satu dari karyawan saya yang telat berangkat kerja besok. Bisa rugi perusahaan saya kalau kamu sering terlambat."Ada cabe nggak sih, buat nyumpel mulutnya yang nyebelin itu?Aku memutarkan bola mata. Jangan ditanya bagaimana gondoknya hati ini dibi

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Mantan Jadi Bos   Part 8

    "Aduuuh ... udah siang nih, La. Mau ke kantor pake apa coba? Mana tinggal tigapuluh menit lagi kantor masuk. Lo sih, tadi malem pake bocorin ban motor gue," gerutu Alena yang entah ke berapa di pagi ini. Gara-garanya karena kami berdua sama-sama terlambat bangun, dan tidak adanya kendaraan yang akan membawa kami ke kantor."Ban bocor kan, gue nggak sengaja. Lo tenang aja deh, entar gue yang bayar tagihan biaya tambal ban," kataku."Bukan masalah duit, La, tapi masalah kedisiplinan. Kalau nggak ada motor gini, kita bisa telat, La. Lo tau sendiri kan, waktu kita telat kemarin diberi hukuman berupa tugas yang bejibun? Nah, kalau sekarang telat lagi, bukan nggak mungkin kita dipecat, La.""Ya coba lo hubungi Gio, Len, suruh jemput," usulku mengalihkan topik, biar Alena nggak bahas masalah kantor. Pening nih kepala kalau teringat urusan kantor."Gio nggak punya mobil. Emang lo mau bonceng bertiga? Bisa kena tilang kita.""Y

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-01
  • Mantan Jadi Bos   Part 9

    .Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini.Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah.Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku.Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-01

Bab terbaru

  • Mantan Jadi Bos   Note

    Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada teman-teman semua yang sudah membaca cerita 'Mantan Jadi Bos' 🙏 Tanpa kalian semua, tentunya cerbung ini tidak akan sampai pada tahap ini🥺 Saya juga meminta maaf apabila banyak narasi atau dialog di cerbung ini yang kurang berkenan di hati teman-teman semua. Semua yang tertulis di cerbung 'Mantan Jadi Bos' adalah fiksi, murni dari imajinasi saya. Apabila ada kesamaan nama, tempat dan lain-lain, sungguh tidak unsur kesengajaan. Sekali lagi saya mohon maaf, dan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk teman-teman semua.🙏🥺😘 Boleh mampir ke cerbung saya yang lain, dan nantikan cerbung baru selanjutnya. Sekian Terima kasih ❤️ Aufa

  • Mantan Jadi Bos   Part 85

    Netra ini perlahan membuka. Pemandangan yang pertama kulihat adalah plafon berwarna putih. Menoleh ke samping, ada Gaza yang kini tersenyum lembut ke arahku."Kamu sudah siuman, Sayang?" tanyanya lembut sembari mengelus pipiku dengan jemarinya."Ini kok aku bisa di sini, Mas? Di mana sih, ini?" Aku balik bertanya dengan suara serak. Sepertinya aku tidur terlalu lama hingga bangun-bangun suaraku menjadi serak seperti ini."Ini di kamar khusus yang ada di gedung tempat resepsi kita."Masih dengan posisi terbaring, aku melihat ke sekeliling. Ya, baru kuingat ruangan ini adalah ruangan yang digunakan untuk meriasku. Eh, tapi bisa-bisanya aku bangun-bangun udah di sini, ya? Masih kuingat tadi menyalami para tamu undangan. Lha, kok aku tiba-tiba malah di sini? Apa cuma mimpi?"Mas, sebenarnya apa yang terjadi, sih?""Kamu pingsan, Sayang. Tadi setelah menyalami banyak tamu, kamu tiba-tiba pingsan. Mungkin karena

  • Mantan Jadi Bos   Part 84

    Hari ini ibu datang dari kampung bersama kedua adikku, dan om Ardi serta istrinya. Tadinya aku mau menawari mereka untuk menginap saja di apartemenku, tapi kata mama Maura sebaiknya nginep di rumah mama Maura aja yang punya banyak kamar. Maklum, di apartemenku cuma ada dua kamar. Itu pun satu ditempati olehku, dan Gaza. Nggak mungkin kan kalau tamu dari kampung yang jumlahnya lima orang disuruh tidur satu kamar?Karena keluargaku menginap di rumah mertua, alhasil aku, dan Gaza pun diharuskan untuk menginap di rumah megah milik mertuaku ini."Ayo, nambah lagi sarapannya." Mama Maura menawari dengan ramah pada keluargaku. "Jangan sungkan-sungkan, anggap saja rumah sendiri.""Terima kasih Bu Maura. Jadi merepotkan begini," balas ibu."Lho, ya, nggak merepotkan, Jeng. Saya malah senang sekali kedatangan besan."Seusai sarapan, mama Maura mengajak kami semua ke butik untuk fitting gaun pengantin, serta seragam yang akan digunakan

  • Mantan Jadi Bos   Part 83

    Ketika membuka pintu, aku dibuat terkejut, saat mengetahui siapa orang yang mencariku.Mau ngapain dia ke sini?"Naufal! Ngapain kamu ke sini?" tanyaku yang mungkin terdengar sedikit ketus.Dia yang ditanya dengan nada seperti itu malah tersenyum, dan melangkah lebih dekat ke arahku. "Beberapa waktu lalu aku sempat kirim pesan ke kamu kan, kalau mau nemuin kamu?""Iya, tapi ada urusan apa? Eh, bentar deh, aku panggil temenku dulu, ya. Biar kita nggak cuma berduaan." Tanpa menunggu jawaban Naufal, aku kembali masuk untuk memanggil Alena.Sekarang statusku adalah seorang istri dari Gaza Alexander. Tidak pantas rasanya jika menemui laki-laki lain tanpa didampingi teman. Bisa-bisa nanti timbul fitnah. Ditambah lagi, firasatku sedikit tidak enak karena kedatangan Naufal."Len, ikut gue ke depan, yuk. Temenin gue ngomong sama itu orang," ujarku sambil menarik lengan Alena yang tengah duduk sambil main ponsel."

  • Mantan Jadi Bos   Part 82

    "Ya, makanya bilang cinta dong. Kamu cinta kan sama aku, Mas?""Tidak."Apa?!Ini aku nggak salah dengar kan?"Mas, maksud kamu apa, coba? Kamu nggak cinta sama aku gitu? Dan ternyata selama ini aku cuma mengira kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya aku cuma dijadiin bahan mainan kamu, dan pemuas nafsu kamu. Gitu maksudnya, Mas?" Sumpah deh, aku udah nyesek banget ngomong seperti ini.Jika benar seperti itu faktanya, aku benar-benar hancur. Orang yang aku cintai, justru cuma memainkan perasaan ini.Air mata mulai membasahi pipiku. Sakit rasanya, meski ini baru dugaanku saja. Harapanku sih, nggak kayak gitu."Sayang, kok jadi nangis, sih?" Gaza merangkulku. Jarinya dia gunakan untuk menghapus air mata di pipi mulus milik istrinya ini. "Bukan begitu maksudnya, Sayang. Aku kan tadi belum selesai bicara.""Ya, udah selesain ngomongnya, cepetan!" perintahku sambil sesenggukan. "Bene

  • Mantan Jadi Bos   Part 81

    "Sayang, teman-teman divisi kamu sedang mengadakan makan siang bersama?" tanya Gaza yang membuat keningku berkerut."Makan siang bersama? Nggak tau, tuh." Aku mengedikkan bahu."Tapi, sepertinya mereka memang sedang makan siang bersama, kok. Coba kamu lihat ke sana."Dengan rasa was-was, aku pun menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Dan benar saja, di sana teman-teman satu divisiku sedang makan bareng, dan kompak melihat ke arahku dan Gaza. Pasti sedari tadi mereka memperhatikan adegan suap-suapan tadi.Kembali menoleh ke Gaza, aku segera meminta bantuan melalui kode raut wajah yang sengaja kubuat manja, bermaksud meminta tolong."Apa?" tanya Gaza yang aku yakin dia sambil nahan agar nggak senyum."Bantuin dong," jawabku dengan suara yang kecil. Takut jika mereka mendengar."Bantuin apa? Mau disuapin? Kan dari tadi juga udah disuapin," kata Gaza meledek. Ngerti banget kalau istrinya ini lagi terpoj

  • Mantan Jadi Bos   Part 80

    Tak terasa sudah satu bulan aku kembali bekerja di kantor, dan selama itu pula rahasia tentang pernikahanku, dan Gaza masih terjaga. Mungkin suatu hari nanti semua orang di kantor akan tahu tentang statusku, karena tidak mungkin juga aku menyembunyikan pernikahan ini selamanya.Untuk pagi ini aku berangkat sendiri, karena Gaza sudah pergi sejak habis subuh tadi bersama papa Abraham. Mereka pergi ke kota sebelah untuk meninjau pembangunan proyek perusahaan.Aku tidak benar-benar berangkat sendirian ke kantor. Maksudnya, untuk hari ini tidak berangkat bersama Gaza karena alasan tadi. Gaza sempat menyuruh Alena untuk menjemputku di apartemen. Katanya sih, nggak tega dan nggak rela kalau aku berangkat naik bus, taksi, atau ojek online. Maklum, suamiku itu agak posesif."Gimana, La, rasanya kembali berangkat kantor bareng gue lagi?" tanya Alena ketika kami berada di parkiran kantor."Seneng, seneng," kataku sambil mengangguk. "Tapi ...

  • Mantan Jadi Bos   Part 79

    "Guys ... lihat deh, pak Gaza lagi lihat ke arah sini," bisik Gaza, dan spontan membuatku melihat ke arah di mana Gaza berada.Memang Gaza sedang melihat ke arah sini. Tepatnya, dia sedang menatap tajam ke arahku. Mungkinkah dia marah karena aku nggak mau diajak makan siang bersama?"Kalian ada punya salah sama pak Gaza?" celetuk Tere, "kalau gue sih, nggak ada."Spontan Alena, dan Gio saling berpandangan, kemudian keduanya kompak menoleh ke arahku. Dari tatapan mereka berdua, seperti mengisyaratkan bahwa mereka mengasihaniku. Pasti mereka juga berpikir kalau Gaza sedang marah padaku.Gio berdehem. "Ya, nggaklah, Re. Pak Gaza kan baru datang hari ini. Kemarin-kemarin dia kan cuti.""Eh, iya juga, ya. Tapi, kok bisa samaan kayak lo ya, La. Pak Gaza mulai nggak kelihatan di kantor tuh pas lo mulai cuti. Dan sekarang, kalian berangkat lagi di hari yang sama juga. Aneh nggak sih? Atau jangan-jangan lo sama pak Gaza janjian, La?"

  • Mantan Jadi Bos   Part 78

    "Mas, berhenti. Turunin aku di sini aja," pintaku pada Gaza. Spontan Gaza pun menepikan mobil yang tengah dikendarainya."Ada apa, Sayang? Kenapa turun di sini?" Gaza balik bertanya."Ya, biar nggak ada orang kantor yang lihat kalau kita berangkat bareng," jawabku.Jarak dari sini ke kantor sudah lumayan dekat, jadi tidak masalah jika aku harus berjalan kaki sebentar. Ini untuk menghindari gosip yang mungkin akan timbul jika orang-orang kantor melihat aku turun dari mobil Gaza."Memangnya kenapa sih, kalau mereka lihat? Wajarlah, kita kan suami istri.""Ih! Mas gimana sih, kita udah sepakat kalau rahasiain dulu pernikahan kita. Cuma sementara aja, kok," ujarku, "udah, ya, aku turun."Sabuk pengaman segera kulepas. Setelahnya aku membuka pintu mobil, namun gagal."Kok, dikunci sih, Mas? Aku mau turun, lho.""Siapa yang mengizinkan kamu turun di sini?" ujar Gaza tanpa melihat ke ara

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status