Home / Romansa / Red in Us / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of Red in Us: Chapter 91 - Chapter 100

176 Chapters

91. Suami-Istri Beneran?

“Gue tadi mau buatin the jahe, sebenarnya,” ujar Rabu setelah Katha keluar kamar mandi. Dia sendiri sudah mandi di kamar mandi lain. Katha menggosok rambutnya yang basah, lalu menggeleng. “Panas, ntar,” jawabnya. “Cokelat panas?” tawar Rabu lagi. Dia sudah berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. “Itu mah minuman lo.” “Terus lo mau minum apa?” tanya Rabu. “Atau mau langsung tidur? Masih jam setengah sembilan ini. Bukan lo banget.” “Gue belum jawab, lo udah nyerocos aja,” sahut Katha sambil duduk di depan meja rias. Dia menyalakan haid dryer hingga menimbulkan suara bising. Rabu terkekeh pelan. “Sorry. Kebawa emosi lo tadi. Kirain marah abnormal, ternyata emang lagi PMS.” Katha memutar duduknya hingga dia berhadapan dengan Rabu. Matanya melotot, tapi tangannya masih sibuk mengeringkan rambut. “Oke, oke. Lo mau minum apa? Kayaknya lo emang butuh yang hangat-hangat. Di luar baru hujan.” Rabu lagi-lagi mengangkat kedua tang
Read more

92. Pertanyaan Kaia

Katha sedang sangat pusing saat dia menerima telepon dari sang mama. Dia hampir mengabaikan telepon itu karena masih teringat perihal Tante Ambar tempo hari. Akan tetapi, kalau tidak diangkat, dia khawatir itu sesuatu yang penting. “Kenapa, Ma?” tanya Katha setelah menggeser tombol hijau. “Ah, ini, Papa sama Mama ada undangan acara pernikahan yang harus dihadiri. Kamu nanti tolong jemput Kaia di TK, ya. Tau sendiri kakakmu lagi sakit,” ujar Dewi. Helaan napas langsung keluar dari mulut Katha. Dia menatap berbagai berkas yang berserakan di atas meja. Sakitnya Kandara hari ini membuat pekerjaannya jadi banyak. Sejak pagi dia sudah menggantikan kakaknya itu meeting, membahas naskah novel yang hendak diangkat jadi serial, lalu memeriksa berbagai proposal yang masuk. Namun, dia tentunya tidak bisa membiarkan keponakannya menunggu lama di TK. “Jam berapa?” tanyanya kemudian. “Gayamu kayak lagi sibuk banget, Tha, sampai hela napas gitu,” ledek Dewi.
Read more

93. Ketahuan Papa

Rabu dan Kaia menjemput Katha sepulang kerja. Ketiganya berangkat ke supermarket, karena Kaia meminta beberapa jajanan. Keripik pisang cokelat yang diberikan Rabu rupanya masih kurang memuaskannya. Dan Katha tidak ingin berdebat dengan keponakannya, sehingga memilih untuk memberikan izin. “Lo mau apa, Tha?” tanya Rabu saat mereka melewati rak berisi berbagai mi instan. “Gue mau mi cup yang pedes itu, loh, Bu,” jawab Katha sambil terus menyusuri deretan mi dengan menggandeng Kaia. “Mulai, deh,” ujar Rabu. “Lo udah beli bubuk cabe loh, ini.” Dia menunjuk dua botol bubuk cabe di dalam troli. “Ya, biar sensaninya lebih dapat, gitu, Bu. Lagian namanya aja yang super pedas. Padahal mah, nggak ada apa-apanya,” sahut Katha. Rabu menghela napas. Dia akhirnya membiarkan Katha memasukkan lima mi cup super pedas itu ke dalam troli saat perempuan itu menemukannya di rak bagian atas. “Kai sekarang mau beli apa?” tanya Rabu pada Kaia yang diam. “Suda
Read more

94. Sudah Isi, Belum? II

Katha menghela napas lega karena orang tuanya tidak mendengar obrolan mereka tadi. Dia mencoba mengalihkan obrolan saat papanya bertanya apa yang mereka bincangkan, hingga tawa Kandara terdengar sampai luar rumah. “Papa, kok, udah pulang?” tanya Katha sambil melirik Rabu di sebelahnya. Berbanding dengan dirinya yang tadi was-was, Rabu malah tampak santai. “Oh, itu Mamamu tadi nggak betah karena ada musuhnya semasa kuliah,” sahut Agung. “Mama punya musuh?” tanya Katha. “Nggak ada. Papamu ngarang itu,” tukas Dewi. “Itu cuma temen yang buat Mama kurang nyaman.” “Apa bedanya sama musuh?” goda Agung. “Papa nggak usah mancing-mancing, ya!” Serempak semua orang yang di ruang keluarga itu tertawa, tentunya kecuali Dewi. “Oh, ya, Tha. Kamu sama Rabu nginep aja di sini,” ujar Dewi. Tanpa berpikir, Katha langsung menggelengkan kepala. “Rabu besok kerja, Ma. Dia harus berangkat pagi-pagi banget.” Itu hanya dusta. Ra
Read more

95. Waktu Berburu Cowok

Katha menghela napas begitu masuk ke rumah. Dia tidak langsung mandi, melainkan berbaring di sofa depan televisi.“Kayaknya kita nggak boleh telepon keluarga kalau lagi ada di dalam mobil, deh,” ujarnya.Rabu mengernyit. “Kenapa?”“Ya, gitu. Kejadian yang bikin gue sebel selalu terjadi kalau kita lagi telepon orang tua dalam mobil.”Jawaban Katha membuat Rabu terkekeh. Kali ini emosi Katha tidak sampai meledak-ledak, meski mulutnya terus saja melontarkan kalimat-kalimat keluhan.“Itu kebetulan aja, Tha. Kemarin kebetulan pas ada acara arisan di rumah lo. Terus tadi kebetulan ibu ke kamar mandi, dan hp-nya dipegang Bude Marni.”Lagi-lagi Katha menghela napas panjang. Dia menutup matanya dengan lengan, menghalau silau dari cahaya lampu.“Mandi, sana!” perintah Rabu. Dia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Ntaran,” sahut Katha.
Read more

96. Insiden Kamar Mandi

Rabu masih terkejut dengan ucapan Katha tadi. Ini memang bukan kali pertama dia mendengar ucapan semacam itu keluar dari mulut Katha. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Muncul kepanikan dalam dirinya. Dia mulai takut Katha bisa menemukan laki-laki yang disukainya saat melakukan perburuan itu.Sampai jarum jam menunjukkan angka tiga, Rabu belum juga bisa tidur. Dia terduduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan Katha yang tidur. Diamatinya wajah sang sahabat yang terlelap dengan tenang, padahal sedang berada di dalam ruangan bersama seorang laki-laki dewasa yang normal.“Bisa-bisanya lo bikin gue gini, Tha,” gumam Rabu.Perlahan dia mengarahkan tangannya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Katha. Namun, perbuatan itu membuatnya menginginkan hal yang lebih. Dia jadi ingin menyentuh wajah Katha.“Gue aja belum pernah menyentuh wajah ini kalau tidak dalam situasi tertentu,” gumamnya lagi. Dia me
Read more

97. Pengganggu is Coming

Katha tertawa-tawa setelah keluar dari kamar mandi. Dia yang tadinya terkejut, berubah jadi terpingkal-pingkal kala sadar Rabu terpeleset di kamar mandi. Sungguh bodoh baginya.“Ketawa aja terus!” gerutu Rabu yang sudah keluar dari kamar mandi. Dia berjalan dengan sedikit menahan sakit di bagian pantantnya menuju lemari.Katha yang sedang duduk di meja rias menoleh, lalu kembali tertawa. Meski sekarang Rabu hanya mengenakan handuk di pinggang, dia tidak bisa memikirkan apa pun selain posisi menyedihkan Rabu di kamar mandi tadi. Ya, walau sebenarnya ada hal lain yang membuatnya canggung kalau mengingat apa yang sempat dilihatnya di kamar mandi.“Lagian lo bego banget. Bisa-bisanya sampai kepeleset gitu,” sahut Katha.“Gue lupa kalau tutup botol sabun kebuka. Ya, man ague tau kalau dia tumpah juga ke lantai,” keluh Rabu sambil mengeluarkan kemeja dari lemari. Saat hendak berganti pakaian, dia melirik Katha yang ternyata t
Read more

98. Gorgeous in Pink

Guru lelaki itu pergi setelah kedatangan Rabu. Wajahnya berubah masam, apalagi saat Rabu dengan sengaja memeluk pinggang Katha."Lo kok di sini?" tanya Katha. Dia menepis tangan Rabu di pinggangnya, kesal karena lelaki itu mengusir mangsanya.Rabu mengeluarkan sebuah gawai dari saku celananya. "Gue kan udah bilang mau antar ini." Dia mengulurkan gawai pada Katha. "Segitu semangatnya cari mangsa, sampai hp sendiri ketinggalan, malah nggak sadar."Katha yang awalnya kesal, jadi terkekeh. "Trus lo tadi sengaja ganggu gue?" tanyanya sambil memasukkan gawai ke dalam tas."Kapan lagi gue bisa jahilin orang-orang gitu," sahut Rabu. Padahal dia tak sedang menggoda siapa pun. Dia hanya sedang menjaga apa yang harus dia jaga."Bang Kandara mana? Kok lo jalan sendiri di tempat asing?" tanya Rabu sambil mengalihkan pandangan mengitari sekitar. Saat itu, beberapa anak perempuan tampak tertarik pada Rabu.Katha yang menyadari itu langsung berdecih. Dia me
Read more

99. Rayuan Jenis Baru

“Sayang, aku lapar,” ujar Rabu sambil kembali memeluk pinggang Katha.Dia sengaja melakukan itu untuk mengusir remaja yang sedang berdiri di depan Katha. Namun, anak lelaki itu tampak tidak peduli sama sekali dengan panggilannya pada Katha.Sedangkan Katha sendiri malah tertawa setelah mendengar ucapan remaja lelaki di depannya, sampai dia tak sadar kalau Rabu kembali memanggilnya dengan panggilan seperti tadi. Dia juga tidak sadar pinggangnya dipeluk oleh lelaki itu.“Nomor kamu tertinggal di kontak saya?” tanya Katha meladeni rayuan remaja di depannya. “Sebentar.” Dia kemudian mengeluarkan gawai dari dalam tas, lalu membuka kontaknya. “Coba sebut nama kamu,” ujarnya.“Ditulis dengan nama kontak brondong manisku,” jawab remaja itu sambil nyengir lebar.Hal itu tentu saja membuat Rabu mendengkus kasar. Rasanya dia ingini menarik Katha menjauh dari remaja nekat itu.Katha lagi-lagi t
Read more

100. Dugaan Rabu

Katha dan Rabu langsung menghampiri Rendra di apartemennya. Lelaki itu tampak berantakan, begitu juga raut wajahnya."Tadi gue mau ngajak makan siang Shae, Tha. Tapi waktu gue samperin ke kantor, dia nggak ada. Katanya udah gak ngantor dari kemarin. Gue panik, Tha. Gue langsung ke sini, dan ternyata dia juga nggak ada," cerita Rendra tanpa diminta. Dia menyugar rambutnya kasar.Katha menoleh ke arah Rabu. Dia juga tidak bisa membantu menenangkan Rendra, sebab dirinya pun kini ikut panik. Dia takut kondisi mental Shae ternyata belum membaik, dan sahabatnya itu memilih melakukuan hal-hal yang tidak baik lagi."Gimana, Bu?" tanya Katha.Rabu memejamkan mata sejenak. Dia punya satu pemikiran, tapi ragu mengatakannya pada Katha, apalagi Rendra.Katha yang merasa Rabu memikirkan sesuatu, langsung meraih tangan lelaki itu. "Bu, kasih tau apa pun yang sekarang lagi lo pikirin," pintanya.Tatapan Katha membuat Rabu frustrasi dan khawatir. Lalu dia be
Read more
PREV
1
...
89101112
...
18
DMCA.com Protection Status