All Chapters of Cinta CEO dalam Jebakan: Chapter 181 - Chapter 190

356 Chapters

S2| 30. Menentukan Gadis Pilihan

“P-perempuan yang cocok dengan Tuan?” gumam Mia, memaksa otaknya yang beku untuk bekerja lebih keras.“Ya,” angguk Herbert santai. “Aku ingin mencarikan jodoh untuk Julian. Kupikir, kau adalah orang yang tepat untuk membantuku menentukan gadis pilihan. Jadi, katakanlah, Mia. Perempuan seperti apa yang disukai oleh putraku itu?”Hanya dalam sekejap, hati Mia hancur bersamaan dengan asa. Niatnya untuk memantaskan diri di sisi sang CEO telah musnah. Ia merasa bahwa namanya memang telah masuk dalam daftar pengecualian jodoh Julian Evans.“Seperti apa, Mia? Apakah pertanyaanku sesulit itu?” tanya si pria tua sembari membungkuk, mengamati wajah yang tertekuk oleh kepedihan.Kerongkongan sang sekretaris kini segersang Sahara. Tidak ada sedikit pun kesejukan yang berembus dari paru-parunya. Sambil mencengkeram ponsel, gadis itu berusaha menyadarkan diri untuk tidak kehilangan akal sehat. Setelah mampu menahan sesak,
Read more

S2| 31. Menahan Pedih

“M-maaf .... Mengenai hal itu, saya kurang tahu,” ucap Mia terbata-bata. Pita suaranya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama.Ajaibnya, meskipun sang sekretaris tidak mampu mengendalikan kegugupan, Katniss sama sekali tidak curiga. Gadis cantik itu hanya berkedip-kedip, mencerna jawaban yang mengandung teka-teki tersebut.“Benar juga. Kalian tidak menghabiskan waktu bersama selama 24 jam. Tentu saja Anda tidak mengetahuinya,” gumam sang model sembari mengangguk-angguk kecil. Usai menekan bagian dalam pipi dengan lidah selama beberapa saat, gadis itu tiba-tiba menyipitkan mata.“Tapi, jika Anda tidak pernah mengetahuinya, bukankah itu berarti ... kemungkinan besar, Julian memang belum pernah tidur dengan perempuan mana pun?” tanya Katniss dengan mata berbinar-binar. Sedetik kemudian, ia kembali menyatukan telunjuk di bawah dagu. Sambil memutar bola mata ke arah atas, gadis itu menyunggingkan senyum. “Tak kusangka masih
Read more

S2| 32. Lubang yang Sama

Begitu melihat kesedihan yang membeku pada mata yang bergetar hebat, keceriaan Julian sontak menguap. Tanpa mengulur waktu, pria itu menghampiri sang gadis dan memegangi kedua pundaknya. “Mia? Kenapa kau menangis?” tanyanya dengan kerut alis yang dalam.Menyadari keresahan sang CEO, Mia cepat-cepat mengeringkan wajah. “Tidak ada apa-apa, Tuan.”“Jika tidak ada apa-apa, tidak mungkin kau menangis seperti ini. Apakah Papa mengancammu? Apakah dia mengatakan sesuatu yang menyakiti perasaanmu?” selidik Julian sembari merendahkan pandangan, mencoba menangkap sorot mata yang berusaha menghindar darinya.“Saya sungguh baik-baik saja, Tuan,” jawab Mia sambil mengangkat sudut bibirnya yang berat. Secepat kilat, ia memeras otak untuk menelurkan alasan yang masuk akal. “Tadi, Tuan Herbert memperkenalkan saya dengan seorang model. Dia menceritakan perjuangan hidupnya yang membuat saya terharu. Karena itulah saya menangis.
Read more

S2| 33. Kelembutan yang Memabukkan

Senyum Julian melebar ketika melihat Mia kembali duduk di sampingnya. Sembari menyelipkan rambut sang gadis yang baru dikeringkan ke belakang telinga, pria itu menghela napas samar. “Apakah perasaanmu sudah lebih baik?” bisiknya sambil memiringkan kepala.“Ya,” angguk sang sekretaris dengan senyum tipis.Sedetik kemudian, Julian memajukan wajah untuk mendaratkan kecupan lembut. “Kau tidak perlu berkecil hati, Mia. Dirimu jauh lebih baik dari yang kaubayangkan,” hibur pria itu seraya menaikkan alis.Khawatir jika dirinya salah memberi tanggapan, sang gadis kembali mengangguk. “Ya,” desahnya sebelum menarik sudut bibir lebih tinggi. “Jadi, apakah Anda setuju untuk bekerja sama dengan Katniss Johnson?”Mengetahui perbincangan mengenai sang model masih berlanjut, lengkung bibir Julian sontak menciut. “Kenapa kau membahasnya lagi? Tidak bisakah malam ini kita bersantai melepas penat dan semua be
Read more

S2| 34. Akibat Dua Gelas Wine

Di bawah kerut alis yang samar, mata Julian terpejam dalam kenikmatan yang bercampur dengan keraguan. Helaan napasnya tak henti-henti menghangatkan suasana, membakar semangat gadis berpipi merah untuk bergerak lebih lincah. “Lihatlah, Tuan! Aku juga bisa membuatmu bahagia,” ucap Mia sembari terus memanjakan sang CEO dengan genggamannya. Sekali lagi, Julian berusaha mengumpulkan akal sehat. Namun malang, detak jantung selalu membuyarkan kesadaran, sementara aliran darah terlalu cepat untuk bisa dikendalikan. Bukannya menyudahi “pesta”, pria itu malah semakin melambung dalam buaian sang sekretaris. “Ah, aku sungguh tak tahan lagi,” erangnya sembari beranjak dari kasur. Tanpa aba-aba, sang CEO melancarkan serangan balik. Hanya dalam sekejap, Mia terbaring dengan wajah semerah tomat. “Tuan ...” bisik gadis itu sembari tertawa ringan. Ia akhirnya bisa menikmati apa yang selalu menjadi momok baginya. “Jangan salahkan aku, Mia. Kaulah yang me
Read more

S2| 35. Berhentilah Menangis

Begitu membuka mata, Mia terbelalak menatap wajah Julian berada begitu dekat dengannya. Setelah beberapa kali mengedipkan mata, gadis itu mulai celingak-celinguk memeriksa keadaan. “Ini kamarku. Kenapa Tuan CEO bisa ada di sini? Apakah ini mimpi?” batin Mia sebelum mengerutkan alis lebih dalam. “Selamat pagi, Istriku. Apakah tidurmu nyenyak?” sapa Julian, sukses membuat sang gadis tersentak dari perenungan. “Istri?” Hanya dalam sekejap, wajah sang pria berubah tegang. “Apakah kau lupa? Kita sudah menikah dua tahun yang lalu? Kau tidak mengalami amnesia karena kecelakaan semalam, bukan?” Mendengar pernyataan yang sungguh tidak masuk akal, Mia mendesah samar. “Amnesia? Kecelakaan?” Setelah membiarkan sang sekretaris terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar, sebuah tawa pun pecah dari mulut Julian. “Apakah kemampuan aktingku sangat natural? Kau seakan percaya dengan apa yang kukatakan.” “Akting?” tanya Mia dengan suara yang terce
Read more

S2| 36. Dingin

“Mia, apakah kau masih marah padaku?” tanya Julian ketika Mia datang membawakan makan siang. Tanpa membalas tatapan sang CEO, gadis itu meletakkan baki di atas meja. “Selamat menikmati, Tuan,” ucapnya dingin, sebelum berbalik ke arah pintu. Tak ingin kehilangan sang sekretaris, Julian pun bergegas mengejar dan menahan lengan gadis itu. “Mau sampai kapan kau kembali menjadi Mia yang dulu? Tidak bisakah kita bicarakan masalah tadi pagi secara baik-baik?” Masih dengan sorot mata yang menghunus, sang sekretaris menjawab, “Maaf, Tuan. Saya sedang tidak ingin membahas mengenai itu. Tolong beri saya waktu.” “Tapi, hatiku tidak tenang kalau kau terus seperti ini,” desah Julian sembari memegangi kedua pundak sang gadis. Mia kini dapat melihat kerut alis yang jelas di hadapannya. “Tolong jangan membuat saya bertambah marah, Tuan,” pinta gadis itu terdengar seperti mengancam. “Jika Anda menginginkan ketenangan, silakan renungkan kesalahan Anda selagi men
Read more

S2| 37. Konsultasi

Gabriella tersenyum saat melihat tidak ada lagi tangan kecil yang meraih tepian kasur. Tanpa memastikan pun, ia tahu bahwa bayi yang terus gagal keluar dari sarangnya itu, sudah lelah dan berbaring di antara teman-teman beruangnya. Sembari menggoyangkan kepala, wanita itu lanjut memainkan nada-nada. Ketika lagu “Twinkle-Twinkle Little Star” berakhir, barulah ia beranjak dari kursi dan mengintip ke dalam kasur. “Apakah dia sudah tidur?” bisik seseorang tanpa terduga. Dengan mata bulat dan tangan di depan dada, Gabriella berbalik memeriksa. Begitu melihat seorang pria dengan tampang tanpa dosa, helaan napas langsung berembus dari mulutnya. “Kenapa kau masuk secara diam-diam? Mengagetkan saja,” omel sang wanita sembari mendorong punggung kakak iparnya menjauh dari bayi yang terlelap. “Aku sedang stres. Jadi, aku membutuhkan Cayden untuk mengobatinya,” jawab pria seraya bergerak menuju pintu yang terbuka lebar. “Dia sudah tidur. Jangan mengganggun
Read more

S2| 38. Wajah Kedua

Mia langsung beranjak dari kursi ketika melihat kehadiran Julian. Dengan tangan terkepal erat dan paru-paru yang membara, gadis itu mengentakkan kaki menuju sang CEO. “Kenapa Anda pergi begitu saja, Tuan? Apakah Anda tidak memikirkan perasaan Nona Johnson? Dia sudah berbaik hati, meluangkan waktu untuk datang ke sini. Tapi, Anda sama sekali tidak menghargai usahanya,” omel sang sekretaris dengan suara bergetar. Alih-alih menjawab, Julian malah mengatupkan mulut rapat-rapat. Rahangnya sampai berdenyut-denyut di bawah sorot mata yang diwarnai kekecewaan. Mengapa Mia lebih membela Katniss ketimbang dirinya? “Apakah Tuan tidak memperhitungkan konsekuensinya? Anda sudah mempermalukan ayah Anda sendiri, Tuan. Untung saja Nona Johnson mau mengerti. Apakah Anda tidak malu dengan sikap kekanak-kanakan seperti ini?” Dengan segenap tenaga, Julian menggenggam kesabaran. Sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pria itu berusaha meredakan kekesalan. Ia tidak ing
Read more

S2| 39. Pembawa Kebahagiaan

Cayden bertepuk tangan dengan riang. Sembari berjalan cepat mengitari piano yang sedang dimainkan oleh ibunya, ia tertawa bahagia. “Pelan-pelan, Pangeran Kecil. Kau bisa terjatuh jika berlari sekencang itu,” seru Max yang kewalahan menjaga putranya. Cayden semakin hari memang bertambah lincah. Menyaksikan kesulitan sang suami, Gabriella otomatis tertawa. “Bersiaplah, Max. Setelah yang satu ini adalah lagu puncak.” “Apakah lagu bayi paus itu?” tanya sang pria di sela napas yang terengah-engah. “Bayi hiu, Max,” koreksi sang wanita seraya menggeleng samar. “Ya, itulah maksudku. Otakku sudah kekurangan oksigen karena ulah Cayden,” timpalnya sembari menangkap sang bayi dan mengangkatnya ke udara. “Bersantailah sejenak, Pangeran Kecil. Setelah ini adalah lagu kesukaanmu,” ujar Max sembari memasang tampang jenaka. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang ayah, Cayden menggerakkan kaki dengan penuh semangat. Tawanya semakin memenuhi ruang, menghan
Read more
PREV
1
...
1718192021
...
36
DMCA.com Protection Status