Gabriella tersenyum saat melihat tidak ada lagi tangan kecil yang meraih tepian kasur. Tanpa memastikan pun, ia tahu bahwa bayi yang terus gagal keluar dari sarangnya itu, sudah lelah dan berbaring di antara teman-teman beruangnya. Sembari menggoyangkan kepala, wanita itu lanjut memainkan nada-nada. Ketika lagu “Twinkle-Twinkle Little Star” berakhir, barulah ia beranjak dari kursi dan mengintip ke dalam kasur.
“Apakah dia sudah tidur?” bisik seseorang tanpa terduga.
Dengan mata bulat dan tangan di depan dada, Gabriella berbalik memeriksa. Begitu melihat seorang pria dengan tampang tanpa dosa, helaan napas langsung berembus dari mulutnya.
“Kenapa kau masuk secara diam-diam? Mengagetkan saja,” omel sang wanita sembari mendorong punggung kakak iparnya menjauh dari bayi yang terlelap.
“Aku sedang stres. Jadi, aku membutuhkan Cayden untuk mengobatinya,” jawab pria seraya bergerak menuju pintu yang terbuka lebar.
“Dia sudah tidur. Jangan mengganggun
Mia langsung beranjak dari kursi ketika melihat kehadiran Julian. Dengan tangan terkepal erat dan paru-paru yang membara, gadis itu mengentakkan kaki menuju sang CEO. “Kenapa Anda pergi begitu saja, Tuan? Apakah Anda tidak memikirkan perasaan Nona Johnson? Dia sudah berbaik hati, meluangkan waktu untuk datang ke sini. Tapi, Anda sama sekali tidak menghargai usahanya,” omel sang sekretaris dengan suara bergetar. Alih-alih menjawab, Julian malah mengatupkan mulut rapat-rapat. Rahangnya sampai berdenyut-denyut di bawah sorot mata yang diwarnai kekecewaan. Mengapa Mia lebih membela Katniss ketimbang dirinya? “Apakah Tuan tidak memperhitungkan konsekuensinya? Anda sudah mempermalukan ayah Anda sendiri, Tuan. Untung saja Nona Johnson mau mengerti. Apakah Anda tidak malu dengan sikap kekanak-kanakan seperti ini?” Dengan segenap tenaga, Julian menggenggam kesabaran. Sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pria itu berusaha meredakan kekesalan. Ia tidak ing
Cayden bertepuk tangan dengan riang. Sembari berjalan cepat mengitari piano yang sedang dimainkan oleh ibunya, ia tertawa bahagia. “Pelan-pelan, Pangeran Kecil. Kau bisa terjatuh jika berlari sekencang itu,” seru Max yang kewalahan menjaga putranya. Cayden semakin hari memang bertambah lincah. Menyaksikan kesulitan sang suami, Gabriella otomatis tertawa. “Bersiaplah, Max. Setelah yang satu ini adalah lagu puncak.” “Apakah lagu bayi paus itu?” tanya sang pria di sela napas yang terengah-engah. “Bayi hiu, Max,” koreksi sang wanita seraya menggeleng samar. “Ya, itulah maksudku. Otakku sudah kekurangan oksigen karena ulah Cayden,” timpalnya sembari menangkap sang bayi dan mengangkatnya ke udara. “Bersantailah sejenak, Pangeran Kecil. Setelah ini adalah lagu kesukaanmu,” ujar Max sembari memasang tampang jenaka. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang ayah, Cayden menggerakkan kaki dengan penuh semangat. Tawanya semakin memenuhi ruang, menghan
“Astaga,” desah Gabriella sembari menggeleng pelan. “Aku tidak pernah menyangka jika Paman dan Bibi melarang hubungan kalian,” gumam wanita itu, mengubah lengkung bibir sang sekretaris menjadi jauh lebih miris. Selang keheningan sejenak, Gabriella kembali menoleh dengan sorot mata prihatin. “Kenapa orang tuamu tidak setuju? Mereka sudah sangat mengenal keluarga Evans. Bukankah seharusnya, mereka tidak memiliki alasan untuk menolak pria sebaik Julian?” Dengan semangat yang hampir padam, Mia mendongak menatap langit malam. “Justru karena itulah, orang tua saya menentang. Kami sudah terlalu dekat dengan keluarga Evans. Hal itu merupakan suatu keberuntungan yang sangat besar.” “Lalu, apa masalahnya?” desah Gabriella yang tak lepas memandangi raut wajah berselimut kesedihan. “Jika saya menjadi seorang Nyonya Evans, banyak orang akan beranggapan bahwa keluarga saya serakah dan tidak tahu cara berterima kasih. Orang tua saya tidak mau jika putri tunggal mere
Mia melangkah gontai menuju pintu apartemennya. Ada perasaan enggan untuk masuk ke sana. Gadis itu takut jika pria yang tidak pernah meninggalkan benaknya, tiba-tiba menyambut dengan tangan terentang lebar. Ia khawatir tidak mampu menahan diri untuk menolak dekapan. “Ah, kenapa aku jadi pengecut seperti ini?” gumamnya dengan suara tipis yang menggetarkan. Sedetik kemudian, Mia tertunduk menatap ponsel dalam genggaman. Dua pesan masuk sedang menunggu untuk dibaca. Dengan susah payah, ia menelan ludah. Ibu jarinya gemetar di antara nama-nama yang berdampingan di layar. “Haruskah aku mengabaikan pesan Tuan?” pikir sang sekretaris sembari menarik napas panjang. Setelah mengembuskannya dengan cepat, jari gadis itu mendarat pada nama Katniss. “Terima kasih banyak, Nona Sanders. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mohon doakan saya agar bisa meluluhkan hati Julian Evans dalam tiga pertemuan.” Mata Mia kembali panas menangkap huruf-hur
Setelah tangis putrinya mereda, Minnie akhirnya menyatukan pandangan. Sembari menyeka pipi yang sembap di hadapannya, wanita tua itu mendesah, “Kenapa tidak kau katakan sejak dulu kalau kau menyukai Tuan Julian? Jika Ayah dan Ibu tahu, kami tidak akan mati-matian melarang.”Dengan senyum getir, Mia meremas tangan sang ibu dan mengecupnya. “Ini sama sekali bukan kesalahan kalian, melainkan kebodohanku, Bu. Aku seharusnya sadar diri dan berpegang teguh pada nasihat orang tua.”“Kau pasti sangat menderita setiap kali kami mengingatkan hal itu kepadamu,” gumam Minnie dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. Setelah menarik napas yang sangat berat, sang gadis mengangkat pundaknya sekilas. “Aku tahu itu demi kebaikanku. Karena itulah, aku sangat menyesal karena telah mengesampingkan logika.”“Tidak, Mia. Itu adalah ego Ayah dan Ibu. Kami takut jika ketenteraman keluarga kita terusik. Kami lu
“Ada apa Anda kemari, Tuan?” tanya Mia seraya menghalangi Julian agar tidak masuk ke dapur. “Kenapa kau tidak membalas pesanku? Apa kau tidak tahu seberapa besar kekhawatiranku?” balas pria itu sambil membulatkan mata. “Ah, itu,” desah sang gadis sebelum menelan ludah. “Saya belum sempat membacanya.” Mendeteksi keraguan yang mengintip dari celah kata, mata sang CEO sontak menyipit. “Memangnya, apa yang kau lakukan sampai tidak memiliki lima detik untuk membuka pesanku?” “Tadi saya bermain dengan Cayden. Sesampainya di rumah, saya langsung memasak spaghetti,” sahut sang gadis dengan ekspresi datar. “Benarkah?” selidik Julian seraya memiringkan kepala. Sedetik kemudian, ia menerobos mengikuti aroma yang memanggil hidungnya. Menyaksikan gerakan tak terduga itu, sang gadis pun terbelalak. Secepat kilat, ia menahan lengan Julian sehingga pria itu berputar menghadapnya. “Berhentilah bersikap seolah ini rumah Anda, Tuan,” seru Mia, me
Dengan mata melekat pada Julian, Mia berjinjit menuju kamar mandi. Pria yang berbaring di kasur itu masih terpejam. Meskipun sang gadis memutar tuas pintu dan menimbulkan bunyi “klik”, ia sama sekali tidak bergerak.“Apakah dia terbangun?” batin si pelayan muda sembari mendekap dua botol kecil di tangannya. Satu berisi putih telur dan satu lagi kosong.Selang beberapa saat, barulah gadis itu bisa bernapas lega. Julian malah memeluk guling lebih erat.“Aku harus cepat,” pikir Mia seraya masuk dan merapatkan pintu dengan sangat pelan.Begitu tiba di tempat tujuan, gadis itu segera beraksi. Ia meletakkan bawaannya di atas wastafel, lalu membuka wadah pembersih muka milik Julian. Tanpa membuang waktu, ia menuangkan gel ke botol kosong yang telah disediakan.“Untunglah isinya tersisa sedikit,” gumam Mia sembari mengamankan botol yang telah berisi. Kemudian, gadis itu mengambil putih telur dan memasukkannya
“Jadi, Tuan Julian adalah cinta pertamamu?” simpul Minnie dengan helaan napas tak percaya. Ia tidak pernah tahu bahwa putrinya memiliki cerita semacam itu.“Apakah aku tidak boleh menjadikannya cinta pertamaku?” celetuk Mia dengan ekspresi datar.“Bukannya tidak boleh. Hanya saja, itu sangat konyol, Mia. Kau jatuh cinta hanya karena putih telur.”Mendengar celetuk sang ibu, Mia pun mendesah pasrah. “Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa mengendalikan hatiku, Bu.”“Dan sekarang pun, kau masih bertekuk lutut pada pria itu, hm?” selidik si wanita tua sambil meringankan sudut bibirnya.Melihat jawaban sang putri lewat bahu yang terangkat singkat, senyum Minnie sontak berubah miris. Ia mengerti bahwa perasaan terkadang memang sulit dijinakkan.“Entah permintaan ini jahat atau tidak, tapi ... Ibu berharap pertemuan Tuan Julian dengan wanita itu tidak berlangsung lancar,” ucapnya
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb