Dengan mata melekat pada Julian, Mia berjinjit menuju kamar mandi. Pria yang berbaring di kasur itu masih terpejam. Meskipun sang gadis memutar tuas pintu dan menimbulkan bunyi “klik”, ia sama sekali tidak bergerak.
“Apakah dia terbangun?” batin si pelayan muda sembari mendekap dua botol kecil di tangannya. Satu berisi putih telur dan satu lagi kosong.
Selang beberapa saat, barulah gadis itu bisa bernapas lega. Julian malah memeluk guling lebih erat.
“Aku harus cepat,” pikir Mia seraya masuk dan merapatkan pintu dengan sangat pelan.
Begitu tiba di tempat tujuan, gadis itu segera beraksi. Ia meletakkan bawaannya di atas wastafel, lalu membuka wadah pembersih muka milik Julian. Tanpa membuang waktu, ia menuangkan gel ke botol kosong yang telah disediakan.
“Untunglah isinya tersisa sedikit,” gumam Mia sembari mengamankan botol yang telah berisi. Kemudian, gadis itu mengambil putih telur dan memasukkannya
“Jadi, Tuan Julian adalah cinta pertamamu?” simpul Minnie dengan helaan napas tak percaya. Ia tidak pernah tahu bahwa putrinya memiliki cerita semacam itu.“Apakah aku tidak boleh menjadikannya cinta pertamaku?” celetuk Mia dengan ekspresi datar.“Bukannya tidak boleh. Hanya saja, itu sangat konyol, Mia. Kau jatuh cinta hanya karena putih telur.”Mendengar celetuk sang ibu, Mia pun mendesah pasrah. “Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa mengendalikan hatiku, Bu.”“Dan sekarang pun, kau masih bertekuk lutut pada pria itu, hm?” selidik si wanita tua sambil meringankan sudut bibirnya.Melihat jawaban sang putri lewat bahu yang terangkat singkat, senyum Minnie sontak berubah miris. Ia mengerti bahwa perasaan terkadang memang sulit dijinakkan.“Entah permintaan ini jahat atau tidak, tapi ... Ibu berharap pertemuan Tuan Julian dengan wanita itu tidak berlangsung lancar,” ucapnya
Begitu membuka pintu apartemen, alis Mia terangkat maksimal. Ia tidak mengira jika sang CEO akan menyambutnya dengan hangat.“Selamat malam, Nona Sanders. Gaun itu terlihat sempurna di tubuhmu,” puji Julian seraya menaikkan sudut bibirnya.Alih-alih merasa tersanjung, sang gadis malah mendesah tak percaya. “Kenapa Anda kemari, Tuan? Bukankah Anda seharusnya pergi menjemput Nona Johnson?”“Untuk apa? Dia bilang bisa datang sendiri ke restoran,” sahut Julian dengan tampang tak berdosa.“Apakah dia berkata begitu saat Anda menawarkan jemputan?” selidik Mia diiringi gelengan samar.“Tidak. Aku berkata akan lebih efektif jika kami langsung bertemu di sana. Dia pun setuju dan menyatakan kemandiriannya. Nona Johnson tidak keberatan, Mia.”Mendengar jawaban yang terkesan tak acuh itu, sang sekretaris otomatis tertunduk dan mencoba mengurangi udara berat dari paru-parunya. Namun ternyata, sa
“Apakah Anda keberatan dengan perjodohan ini, Tuan?” tanya Katniss dengan mata yang agak menyipit. Mendengar nada tersinggung sang gadis, Mia sontak melambaikan tangan dan menggeleng. “Tentu saja tidak.” Akan tetapi, di saat yang hampir bersamaan, Julian memberikan jawaban yang bertolak belakang. “Ya. Sejak awal, saya tidak pernah menyetujui perjodohan ini.” Helaan napas cepat seketika berembus dari celah senyum yang telah retak. “Apakah saya boleh mengetahui alasannya?” tanya Katniss sambil menaikkan sebelah alis. Tiba-tiba saja, kekakuan merambat di sekujur saraf sang sekretaris. Pundak yang sebelumnya kehilangan semangat kini telah tegak ditopang kekhawatiran. Di sela detak jantung yang menyerupai tabuhan genderang, ia menyelipkan harapan. “Jangan biarkan Julian mengungkapkan hubungan kami, ya, Tuhan. Jangan sampai Tuan Herbert murka dan hubungan mereka retak. Aku tidak ingin Julian tersiksa karena mempertahankan hubungan kami.” Namun, alih
“Apakah kalian memang sedekat ini? Baru kali ini saya melihat interaksi antara CEO dan sekretaris yang begitu akrab.”Kata-kata Katniss menggema dalam benak Mia. Ia sungguh tidak mengira jika sang model dapat menerka seakurat itu. Namun, dengan kekhawatiran yang terlampau besar, otaknya kesulitan mengolah ide. Belum sempat sang sekretaris membuka suara, Julian sudah lebih dulu memperparah keadaan.“Apakah Anda tidak tahu? Saya telah mengenal Mia sejak dia lahir. Kami bahkan tinggal di rumah yang sama selama belasan tahun.”Dengan kehangatan yang memudar, Katniss mengalihkan pandangan kepada sang sekretaris. “Kenapa Anda tidak menceritakan tentang hal itu, Nona Sanders? Saya tidak tahu bahwa hubungan kalian ternyata seakrab ini.”“T-tolong jangan salah paham, Nona. Saya dan Tuan Julian sudah seperti saudara,” terang Mia, mencoba mematikan benih-benih “kesalahpahaman”.“Tapi aku merasa
“Apakah cerita ini yang kau sebut mengharukan itu?” bisik Julian kepada gadis di sampingnya setelah Katniss pergi ke toilet.Tanpa menoleh, Mia mengangguk.“Kalau begitu, waktu itu kau pasti berbohong,” gumam Julian sebelum menarik napas panjang dan menegakkan punggungnya. “Kisah perjuangan hidup Katniss Johnson sama sekali tidak menyentuh hatiku.”“Tapi, bukankah dia hebat? Dia berhasil menjadi sukses meski keluarganya biasa-biasa saja,” sanggah gadis yang akhirnya melirik dengan tatapan lesu.“Lalu, apa bedanya denganmu? Bukankah kau juga sudah sukses? Kau berhasil menjadi sekretaris perusahaan terbesar di negara ini, Mia,” ujar Julian mengingatkan.Namun, bukannya mengangkat dagu, sang gadis malah semakin menyembunyikan wajah. “Tapi, aku selalu merasa kalau itu tidak kudapat dari jerih payahku. Aku hanya beruntung karena Tuan Herbert mau menyekolahkanku dan memberiku kepercayaan.&
Setelah menelan ludah, Mia pun menjawab panggilan. Dengan kepala yang agak tertunduk, ia menyapa, “Selamat malam, Tuan.”“Halo, Mia. Apakah aku mengganggumu?”Mendengar nada dingin itu, leher sang gadis otomatis berubah lebih kaku. “Tidak, Tuan.”“Kudengar, kau ikut makan malam bersama Julian dan Katniss. Apakah itu benar?”Tiba-tiba saja, suasana mendadak sunyi. Mia kini dapat mendengar deru napasnya sendiri. “Benar, Tuan.”“Kebetulan sekali. Aku jadi memiliki mata-mata tambahan,” celetuk Herbert, mengundang ketegangan yang lebih besar untuk melahap sang sekretaris.“M-mata tambahan?”“Ya, kau tahu bahwa aku sering menyewa orang untuk mengintai siapa saja, bukan?”Dalam sekejap, udara di sekitar Mia bertambah berat. Gadis itu semakin kesulitan untuk menarik napas. Tangannya yang dingin telah terkepal di depan dada, sementara kakinya
“Max, jangan bilang kalau kalian sedang bersenang-senang. Kalian tidak mungkin tega mengabaikanku, bukan?” tanya sang CEO dengan alis terangkat maksimal.“Ya ...” desah sang adik sukses mengundang kekesalan Julian.“Kalian ini sungguh keterlaluan! Aku sedang membicarakan masalah serius, tapi kalian malah asyik bermain,” protes Julian sembari mengernyitkan dahi.“Hubungi kami lagi nanti,” ujar Max dengan suara patah-patah. Sedetik kemudian, sambungan telepon terputus.“Max? Gaby?” panggil Julian tak percaya.Setelah menyadari bahwa permintaannya memang diabaikan, pria itu sontak membanting kepala ke sandaran jok. “Teganya mereka melakukan ini kepadaku.”Sembari mengetuk-ngetuk jari pada kemudi, otak sang pria berpikir keras. “Bagaimana caraku mendapatkan Cayden? Apakah aku harus menculiknya?”Selang perenungan sejenak, ia pun memasukkan gigi dan menanca
Dengan ringisan kecil, sang sekretaris mengangguk. “Apakah kami boleh mengajak Cayden ke kebun binatang? Kami berjanji akan mengurus Pangeran Kecil dengan baik.”Mendengar kata kebun binatang, sang bayi sontak menegakkan badan. Matanya yang bulat kini berbinar-binar menatap orang tuanya. “Ju ...?”“Benar! Zoo. Kita bisa melihat banyak hewan di sana,” jelas Julian dengan gerak tangan meyakinkan. “Kau pasti akan sangat senang jika pergi ke sana.”Tiba-tiba, Cayden mengangkat tangan setinggi-tingginya dan tertawa. “Ju ...!”Melihat antusiasme sang putra, Max dan Gabriella kompak bertatapan. Mereka sama-sama tahu bahwa tidak ada yang tega menghancurkan kebahagiaan Pangeran Kecil.Selang satu helaan napas cepat, sang wanita akhirnya berkata, “Jangan membiarkan Cayden lepas dari pengawasan kalian. Mengerti?”Mendapat persetujuan dari Gabriella, senyum lebar otomatis mencerahka