Mia langsung beranjak dari kursi ketika melihat kehadiran Julian. Dengan tangan terkepal erat dan paru-paru yang membara, gadis itu mengentakkan kaki menuju sang CEO.
“Kenapa Anda pergi begitu saja, Tuan? Apakah Anda tidak memikirkan perasaan Nona Johnson? Dia sudah berbaik hati, meluangkan waktu untuk datang ke sini. Tapi, Anda sama sekali tidak menghargai usahanya,” omel sang sekretaris dengan suara bergetar.
Alih-alih menjawab, Julian malah mengatupkan mulut rapat-rapat. Rahangnya sampai berdenyut-denyut di bawah sorot mata yang diwarnai kekecewaan. Mengapa Mia lebih membela Katniss ketimbang dirinya?
“Apakah Tuan tidak memperhitungkan konsekuensinya? Anda sudah mempermalukan ayah Anda sendiri, Tuan. Untung saja Nona Johnson mau mengerti. Apakah Anda tidak malu dengan sikap kekanak-kanakan seperti ini?”
Dengan segenap tenaga, Julian menggenggam kesabaran. Sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pria itu berusaha meredakan kekesalan. Ia tidak ing
Cayden bertepuk tangan dengan riang. Sembari berjalan cepat mengitari piano yang sedang dimainkan oleh ibunya, ia tertawa bahagia. “Pelan-pelan, Pangeran Kecil. Kau bisa terjatuh jika berlari sekencang itu,” seru Max yang kewalahan menjaga putranya. Cayden semakin hari memang bertambah lincah. Menyaksikan kesulitan sang suami, Gabriella otomatis tertawa. “Bersiaplah, Max. Setelah yang satu ini adalah lagu puncak.” “Apakah lagu bayi paus itu?” tanya sang pria di sela napas yang terengah-engah. “Bayi hiu, Max,” koreksi sang wanita seraya menggeleng samar. “Ya, itulah maksudku. Otakku sudah kekurangan oksigen karena ulah Cayden,” timpalnya sembari menangkap sang bayi dan mengangkatnya ke udara. “Bersantailah sejenak, Pangeran Kecil. Setelah ini adalah lagu kesukaanmu,” ujar Max sembari memasang tampang jenaka. Mengerti apa yang dimaksud oleh sang ayah, Cayden menggerakkan kaki dengan penuh semangat. Tawanya semakin memenuhi ruang, menghan
“Astaga,” desah Gabriella sembari menggeleng pelan. “Aku tidak pernah menyangka jika Paman dan Bibi melarang hubungan kalian,” gumam wanita itu, mengubah lengkung bibir sang sekretaris menjadi jauh lebih miris. Selang keheningan sejenak, Gabriella kembali menoleh dengan sorot mata prihatin. “Kenapa orang tuamu tidak setuju? Mereka sudah sangat mengenal keluarga Evans. Bukankah seharusnya, mereka tidak memiliki alasan untuk menolak pria sebaik Julian?” Dengan semangat yang hampir padam, Mia mendongak menatap langit malam. “Justru karena itulah, orang tua saya menentang. Kami sudah terlalu dekat dengan keluarga Evans. Hal itu merupakan suatu keberuntungan yang sangat besar.” “Lalu, apa masalahnya?” desah Gabriella yang tak lepas memandangi raut wajah berselimut kesedihan. “Jika saya menjadi seorang Nyonya Evans, banyak orang akan beranggapan bahwa keluarga saya serakah dan tidak tahu cara berterima kasih. Orang tua saya tidak mau jika putri tunggal mere
Mia melangkah gontai menuju pintu apartemennya. Ada perasaan enggan untuk masuk ke sana. Gadis itu takut jika pria yang tidak pernah meninggalkan benaknya, tiba-tiba menyambut dengan tangan terentang lebar. Ia khawatir tidak mampu menahan diri untuk menolak dekapan. “Ah, kenapa aku jadi pengecut seperti ini?” gumamnya dengan suara tipis yang menggetarkan. Sedetik kemudian, Mia tertunduk menatap ponsel dalam genggaman. Dua pesan masuk sedang menunggu untuk dibaca. Dengan susah payah, ia menelan ludah. Ibu jarinya gemetar di antara nama-nama yang berdampingan di layar. “Haruskah aku mengabaikan pesan Tuan?” pikir sang sekretaris sembari menarik napas panjang. Setelah mengembuskannya dengan cepat, jari gadis itu mendarat pada nama Katniss. “Terima kasih banyak, Nona Sanders. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mohon doakan saya agar bisa meluluhkan hati Julian Evans dalam tiga pertemuan.” Mata Mia kembali panas menangkap huruf-hur
Setelah tangis putrinya mereda, Minnie akhirnya menyatukan pandangan. Sembari menyeka pipi yang sembap di hadapannya, wanita tua itu mendesah, “Kenapa tidak kau katakan sejak dulu kalau kau menyukai Tuan Julian? Jika Ayah dan Ibu tahu, kami tidak akan mati-matian melarang.”Dengan senyum getir, Mia meremas tangan sang ibu dan mengecupnya. “Ini sama sekali bukan kesalahan kalian, melainkan kebodohanku, Bu. Aku seharusnya sadar diri dan berpegang teguh pada nasihat orang tua.”“Kau pasti sangat menderita setiap kali kami mengingatkan hal itu kepadamu,” gumam Minnie dengan mata yang telah kembali berkaca-kaca. Setelah menarik napas yang sangat berat, sang gadis mengangkat pundaknya sekilas. “Aku tahu itu demi kebaikanku. Karena itulah, aku sangat menyesal karena telah mengesampingkan logika.”“Tidak, Mia. Itu adalah ego Ayah dan Ibu. Kami takut jika ketenteraman keluarga kita terusik. Kami lu
“Ada apa Anda kemari, Tuan?” tanya Mia seraya menghalangi Julian agar tidak masuk ke dapur. “Kenapa kau tidak membalas pesanku? Apa kau tidak tahu seberapa besar kekhawatiranku?” balas pria itu sambil membulatkan mata. “Ah, itu,” desah sang gadis sebelum menelan ludah. “Saya belum sempat membacanya.” Mendeteksi keraguan yang mengintip dari celah kata, mata sang CEO sontak menyipit. “Memangnya, apa yang kau lakukan sampai tidak memiliki lima detik untuk membuka pesanku?” “Tadi saya bermain dengan Cayden. Sesampainya di rumah, saya langsung memasak spaghetti,” sahut sang gadis dengan ekspresi datar. “Benarkah?” selidik Julian seraya memiringkan kepala. Sedetik kemudian, ia menerobos mengikuti aroma yang memanggil hidungnya. Menyaksikan gerakan tak terduga itu, sang gadis pun terbelalak. Secepat kilat, ia menahan lengan Julian sehingga pria itu berputar menghadapnya. “Berhentilah bersikap seolah ini rumah Anda, Tuan,” seru Mia, me
Dengan mata melekat pada Julian, Mia berjinjit menuju kamar mandi. Pria yang berbaring di kasur itu masih terpejam. Meskipun sang gadis memutar tuas pintu dan menimbulkan bunyi “klik”, ia sama sekali tidak bergerak.“Apakah dia terbangun?” batin si pelayan muda sembari mendekap dua botol kecil di tangannya. Satu berisi putih telur dan satu lagi kosong.Selang beberapa saat, barulah gadis itu bisa bernapas lega. Julian malah memeluk guling lebih erat.“Aku harus cepat,” pikir Mia seraya masuk dan merapatkan pintu dengan sangat pelan.Begitu tiba di tempat tujuan, gadis itu segera beraksi. Ia meletakkan bawaannya di atas wastafel, lalu membuka wadah pembersih muka milik Julian. Tanpa membuang waktu, ia menuangkan gel ke botol kosong yang telah disediakan.“Untunglah isinya tersisa sedikit,” gumam Mia sembari mengamankan botol yang telah berisi. Kemudian, gadis itu mengambil putih telur dan memasukkannya
“Jadi, Tuan Julian adalah cinta pertamamu?” simpul Minnie dengan helaan napas tak percaya. Ia tidak pernah tahu bahwa putrinya memiliki cerita semacam itu.“Apakah aku tidak boleh menjadikannya cinta pertamaku?” celetuk Mia dengan ekspresi datar.“Bukannya tidak boleh. Hanya saja, itu sangat konyol, Mia. Kau jatuh cinta hanya karena putih telur.”Mendengar celetuk sang ibu, Mia pun mendesah pasrah. “Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa mengendalikan hatiku, Bu.”“Dan sekarang pun, kau masih bertekuk lutut pada pria itu, hm?” selidik si wanita tua sambil meringankan sudut bibirnya.Melihat jawaban sang putri lewat bahu yang terangkat singkat, senyum Minnie sontak berubah miris. Ia mengerti bahwa perasaan terkadang memang sulit dijinakkan.“Entah permintaan ini jahat atau tidak, tapi ... Ibu berharap pertemuan Tuan Julian dengan wanita itu tidak berlangsung lancar,” ucapnya
Begitu membuka pintu apartemen, alis Mia terangkat maksimal. Ia tidak mengira jika sang CEO akan menyambutnya dengan hangat.“Selamat malam, Nona Sanders. Gaun itu terlihat sempurna di tubuhmu,” puji Julian seraya menaikkan sudut bibirnya.Alih-alih merasa tersanjung, sang gadis malah mendesah tak percaya. “Kenapa Anda kemari, Tuan? Bukankah Anda seharusnya pergi menjemput Nona Johnson?”“Untuk apa? Dia bilang bisa datang sendiri ke restoran,” sahut Julian dengan tampang tak berdosa.“Apakah dia berkata begitu saat Anda menawarkan jemputan?” selidik Mia diiringi gelengan samar.“Tidak. Aku berkata akan lebih efektif jika kami langsung bertemu di sana. Dia pun setuju dan menyatakan kemandiriannya. Nona Johnson tidak keberatan, Mia.”Mendengar jawaban yang terkesan tak acuh itu, sang sekretaris otomatis tertunduk dan mencoba mengurangi udara berat dari paru-parunya. Namun ternyata, sa