Home / Romansa / Godaan Memikat Lelaki Penguasa / Chapter 181 - Chapter 190

All Chapters of Godaan Memikat Lelaki Penguasa: Chapter 181 - Chapter 190

247 Chapters

179. Provokasi!

      Aarav sadar atas provokasi yang dilakukan sang ayah. Namun, apa daya tidak mungkin dia untuk kembali menarik kata. Apa yang sudah dia ucapkan akan dia lakukan. Siang ini Aarav mendapatkan undangan makan siang dari keluarga Kenzo. Bukan sekedar makan siang biasa namun, ada urusan pekerjaan dan dari yang asisten ayahnya katakan. Kenzo gendak menitipkan Rafael, untuk belajar berbisnis darinya. Tentu Aarav setuju, mengingat pemuda bengal itu sebenarnya seorang yang cerdas, begitu penuturan Edzard malam tadi.       Bujangan itu masuk ke dalam rumah mewah bak istana milik Kenzo. Julian Grup merupakan perusahaan terbesar yang mencakup di beberapa bidang. Tidak hanya di dalam negeri, ada pun perusahaan lain di luar negeri yang masih aktif dikelola oleh sang ayah. Tidak ada yang diragukan dari kualitas kinerja Julian Grup.        "Selamat datang," sapa Helene mengulas senyum. Wanita itu berdiri di depan pintu m
Read more

180. Larisa Minggat

       Keluarga adalah hal paling berarti bagi Kenzo, dia yang dulu kurang dapat perhatian dari sang ayah, lebih condong dekat dengan keluarga Edzard. Dia berharap kedua anaknya tidak berpikiran demikian. Dia dan Helene melimpahkan sejuta kasih sayang. Namun, nampaknya menjadi boomerang, putra pertamanya sangat malas, dan manja, kedua orang tua Kenzo, sangat memanjakan Rafael, cucu pertama, pemegang kekuasaan terbesar dalam keluarga, deskripsi itu mungkin benar adanya. Namun, sebelum semua menjadi terlambat, Kenzo berusaha mengubah pola hidup ambigu putranya.          'Jangan sampai dia brengsek seperti diriku dulu,' bisik Kenzo dalam benak.         Lelaki itu menatap satu per satu orang di sana. Termasuk Aarav sang tamu juga Larisa yang katanya kabur dari rumah. Bagaimana gadis itu bisa kabur, Kenzo tidak ambil pusing. Saat pagi tadi Larisa datang dengan menangis meraung-raung. Entah apa yang sebenarny
Read more

181. Beberapa Saat Lalu

      Beberapa saat yang telah terlewat, di mana sebelum Larisa kabur dari rumah. Gadis itu baru saja turun dari kamar usai berganti pakaian. Semalam menginap di rumah Aarav, Larisa dibangunkan oleh sang ibu. Yah, mereka pulang usai sarapan bersama sang empunya rumah. Gadis itu sudah terlihat rapi menuruni anak tangga. Terdengar suara gelak tawa sang ayah di ruang tamu. Penasaran, dia melongok keluar, mengintip dari balik tembok.      Terlihat, sang ayah duduk bersebrangan dengan seorang lelaki bertubuh gempal, botak dengan perut buncit. Larisa meringis melihatnya. Samar terdengar lelaki tersebut membicarakan tentang menikah lagi. Dari pembicaraan itu dia juga mendengar memiliki dua orang anak dari istri sebelumnya. Gadis itu hendak melangkah namun urung ketika mendengar lelaki tadi menanyakan dirinya. Baru Larisa sadar rencana sang ayah hendak m
Read more

182. Terkejut

       Suara bising mobil di tengah kemacetan sungguh mengganggu indra pendengaran. Aarav mengemudikan mobilnya dengan pelan. Larisa duduk manis sembari tersenyum menatap layar ponsel. Seperti bocah gila yang jatuh cinta pada benda pipih itu. Terkadang tersenyum lalu menggigit bibir. Aarav melirik di saat bersamaan.       'Ah bibir yang menggoda,' pikir lelaki itu. Semejak dia melumat bibir larisa, Aarav semakin sering terbayang wajah dan bibir itu. "Apa yang membuatmu tersenyum-senyum, kau sedang berpacaran dengan seseorang?" tanya Aarav tanpa dosa setelah memukuli kekasih Risa.       "Iya, namanya Emir," jawab gadis itu. "Om, kenapa Om belum menikah?" tanya Larisa.       "Entahlah, mungkin karena belum menemukan yang pas," jawab Aarav.       "Om kan ganteng, pasti banyak yang mengantri," ujar Larisa lagi.       Aarav terkek
Read more

183. Tawaran Menikah

      Menikah, dengan Om Aarav, astaga pemikiran konyol macam apa yang diutarakan bujangan tua itu. Rasanya aku ingin menjitak saja kepala itu, jika tidak sadar beliau orang dewasa yang harus aku hormati. Berulang kali napas ini kembang kempis secara teratur, mengontrol emosi jiwa yang menyerang bak bom atom meletus. Tidakkah dia paham aku ingin menikah dengan pangeran tampanku, Emir. Meski bukan sekarang, karena Emir juga ingin masuk ke perusahaan ayahnya dahulu. Toh kami masih kuliah, perjalanan masih panjang, sepanjang rel kereta api yang tak putus-putus saling menyambung.      Tidak pernah tercatat di kamus Larisa Edzard menikah muda, apa lagi dengan Om om, astaga, sungguh terlalu. Aku memutar bola mata lalu menoleh ke arah lelaki yang baru saja hendak meminangku, aku paham benar dia tidak mungkin menawarkan diri menikah atas dasar mencintai.
Read more

184. Nyasar

Astaga, aku nyasar dan baru menyadarinya setelah berjalan lama melewati lorong yang entahlah aku tidak paham jalan untuk pulang. Lutut rasanya mau copot, tidak pernah aku berjalan terlalu Tenggorokanku sangat haus terasa, kepanasan pula sungguh sial, ingin rasanya mengumpat tapi ini pun salahku. Mau mengalahkan siapa. Sedih rasa hati ini tersiksa, jika boleh meminta pada angin, aku ingin panas ini berlalu dengan berganti mendung. Dering ponsel untuk kesekian kali berdering, menyerah aku mengangkat panggilan tersebut. Mau ngeyel pun tidak bisa, aku tidak ingin tersesat semakin jauh. "Larisa, kau di mana?" tanya Om Aarav, suaranya terdengar panik. "Om, Risa nyasar," keluhku. "Astaga, bagaimana bisa?" "Mana Risa tahu," ujarku tanpa rasa salah. "Share loc, aku akan menjemputmu!" perintahnya. Aku men-share lokasiku saat ini lewat aplikasi FastApp, kemudian duduk di bawah pohon rindang, mirip orang hilang. Menunggu, perbuatan membosankan yang s
Read more

185. Terlena

Bangun tidur rasanya aku masih malas, mata ini masih terpejam dengan nyaman. Di balik selimut dan juga ranjang yang nyaman dan empuk. Rasanya aku tidak ingin beranjak. Elusan halus menyapa pipi, ah perbuatan yang sering ibu lakukan. "Sampai kapan kau akan tidur?" Suara lelaki terdengar mengagetkan. Aku membuka mata dengan cepat. "Om," bisikku melihat Om Aarav berbaring di samping. "Kau nyenyak sekali tidurnya, dari tadi siang, sampai aku pulang meeting kau masih tidur," ceramah Om Aarav. Aku menyembunyikan tubuh di balik selimut. "Pergilah mandi, tubuhmu sudah bau kecut," keluh Om Aarav. Aku menyembul dari balik selimut lalu mencium lengan kemeja yang aku kenakan. "Aku masih wangi," keluhku mengerucutkan bibir. Om Aarav terkekeh, rasanya kesal melihatnya, aku lempar dia dengan bantal. "Larisa, mari kita menikah saja, kau terbebas dari rencana perjodohan. Jadilah tameng untuk diriku juga yang sudah didesak menikah," ujar Om Aarav. Aku menghel
Read more

186. Edzard & Rere

Senja bersinar dengan indah, mengiringi pergantian hari. Semburat sinar merah kekuningan, jingga terpancar membelah keramaian, jalan lalu lalang kendaraan umum dan hiruk pikuk kerumunan manusia. Berbeda dengan kantor, mulai terlihat sepi, sunyi, sebagian besar karyawan sudah berpulang. Bukan hari-hari sibuk, tinggal segelintir saja yang tersisa. Edzard terlihat sibuk, lelaki yang kini tidak lagi muda itu masih terlihat gagah menawan meski rambutnya telah beruban. Usia semakin bertambah. Sudah lima puluh dua tahun, tidak disangka, Larisa juga hampir menginjak usia dua puluh tahun lagi. Edzard meraih bingkai foto yang ada di meja. Ada potret ketika wisuda dulu, juga kemudian di sebelah lagi ada potret dia dan keluarga kecilnya. Kenangan manis itu hadir menyapa, air mata tidak terbendung, luruh. Perjuangan rumah tangga yang penuh liku, sampai akhirnya Larisa hadir sebagai buah cinta dirinya dan sang istri. Dering ponsel menghancurkan memori berkelebat. Edzard meraih ponsel
Read more

187. Lukisan Penyatuan

Laksa rindu terbalut indahnya senja, menawan hati bertabur bungah. Hati telah terpatri, bersama lantunan kidung cinta. Dahaga mengukung rasa yang tiada puas. Meski bersambut, bersua sewaktu-waktu rasa mengajuk semakin penuh, tumbuh. Begitu hasrat sepasang suami istri tersebut, tiada kata bosan dan lelah dalam memupuk terai asmara. Panah amor tepat menancap di atma masing-masing, mengukir afeksi, menyulam semakin erat. Rere menari di atas tubuh sang suami, naik turun secara teratur, Edzard membiarkan saja sang istri memuaskan diri sendiri. Rambut yang panjang itu sebagian tergerai ke arah depan ketika Rere menunduk, memperhatikan milik keduanya menyatu. Pemandangan yang eksotis bagi Edzard, dia ikut menggerakkan pinggul, menyeimbangkan Rere. Suara teriakan keduanya menggema di ruangan tersebut, bersahut-sahutan. Sampai pada akhirnya Rere mencapai puncak, getaran pada miliknya terasa mengurut Edzard, lelaki tersebut memeluk erat sang istri, membiarkan sebentar wanita itu menikmat
Read more

188. Menggodamu di Kamar Hotel?

Terkejut sudah pasti, apa yang dilakukan Om Aarav membuat aku ingin berteriak namun suara tercekat. Harusnya tidak begini namun mengapa jadi seperti ini. Daging lembut kenyal itu, astaga. Bibir Om Aarav kembali menempel pada bibirku. Tidak hanya menempel, lebih tepatnya berubah melumat habis-habisan, dari pelan berubah menjadi semakin menuntut. Kesalahan besar membuat taruhan pada lelaki seahli ini. Astaga jantung, meletup-letup tidak karuan, pikiran mulai kosong, mendadak aku linglung dengan tindakan yang dilakukan Om Aarav. Fokusku hanya pada balutan lembut yang membuat melayang pada bibir. Sesekali, lidahnya menari di dalam mulutku, menyentuh lidah dan ah seperti membelit. Astaga, ciuman ini lebih memabukkan dari pada kecupan yang pernah dilakukan Emir. Emir, mengingat nama pemuda itu otakku kembali hampir waras. Yah, hampir, jika saja sensasi lebih unik aku dapatkan ketika tangan Om Aarav mendarat di kedua bukit kembarku, memilin bagian ujung. Hampir aku berte
Read more
PREV
1
...
1718192021
...
25
DMCA.com Protection Status