Aarav sadar atas provokasi yang dilakukan sang ayah. Namun, apa daya tidak mungkin dia untuk kembali menarik kata. Apa yang sudah dia ucapkan akan dia lakukan. Siang ini Aarav mendapatkan undangan makan siang dari keluarga Kenzo. Bukan sekedar makan siang biasa namun, ada urusan pekerjaan dan dari yang asisten ayahnya katakan. Kenzo gendak menitipkan Rafael, untuk belajar berbisnis darinya. Tentu Aarav setuju, mengingat pemuda bengal itu sebenarnya seorang yang cerdas, begitu penuturan Edzard malam tadi.
Bujangan itu masuk ke dalam rumah mewah bak istana milik Kenzo. Julian Grup merupakan perusahaan terbesar yang mencakup di beberapa bidang. Tidak hanya di dalam negeri, ada pun perusahaan lain di luar negeri yang masih aktif dikelola oleh sang ayah. Tidak ada yang diragukan dari kualitas kinerja Julian Grup.
"Selamat datang," sapa Helene mengulas senyum. Wanita itu berdiri di depan pintu m
Keluarga adalah hal paling berarti bagi Kenzo, dia yang dulu kurang dapat perhatian dari sang ayah, lebih condong dekat dengan keluarga Edzard. Dia berharap kedua anaknya tidak berpikiran demikian. Dia dan Helene melimpahkan sejuta kasih sayang. Namun, nampaknya menjadi boomerang, putra pertamanya sangat malas, dan manja, kedua orang tua Kenzo, sangat memanjakan Rafael, cucu pertama, pemegang kekuasaan terbesar dalam keluarga, deskripsi itu mungkin benar adanya. Namun, sebelum semua menjadi terlambat, Kenzo berusaha mengubah pola hidup ambigu putranya. 'Jangan sampai dia brengsek seperti diriku dulu,' bisik Kenzo dalam benak. Lelaki itu menatap satu per satu orang di sana. Termasuk Aarav sang tamu juga Larisa yang katanya kabur dari rumah. Bagaimana gadis itu bisa kabur, Kenzo tidak ambil pusing. Saat pagi tadi Larisa datang dengan menangis meraung-raung. Entah apa yang sebenarny
Beberapa saat yang telah terlewat, di mana sebelum Larisa kabur dari rumah. Gadis itu baru saja turun dari kamar usai berganti pakaian. Semalam menginap di rumah Aarav, Larisa dibangunkan oleh sang ibu. Yah, mereka pulang usai sarapan bersama sang empunya rumah. Gadis itu sudah terlihat rapi menuruni anak tangga. Terdengar suara gelak tawa sang ayah di ruang tamu. Penasaran, dia melongok keluar, mengintip dari balik tembok.Terlihat, sang ayah duduk bersebrangan dengan seorang lelaki bertubuh gempal, botak dengan perut buncit. Larisa meringis melihatnya. Samar terdengar lelaki tersebut membicarakan tentang menikah lagi. Dari pembicaraan itu dia juga mendengar memiliki dua orang anak dari istri sebelumnya. Gadis itu hendak melangkah namun urung ketika mendengar lelaki tadi menanyakan dirinya. Baru Larisa sadar rencana sang ayah hendak m
Suara bising mobil di tengah kemacetan sungguh mengganggu indra pendengaran. Aarav mengemudikan mobilnya dengan pelan. Larisa duduk manis sembari tersenyum menatap layar ponsel. Seperti bocah gila yang jatuh cinta pada benda pipih itu. Terkadang tersenyum lalu menggigit bibir. Aarav melirik di saat bersamaan. 'Ah bibir yang menggoda,' pikir lelaki itu. Semejak dia melumat bibir larisa, Aarav semakin sering terbayang wajah dan bibir itu. "Apa yang membuatmu tersenyum-senyum, kau sedang berpacaran dengan seseorang?" tanya Aarav tanpa dosa setelah memukuli kekasih Risa. "Iya, namanya Emir," jawab gadis itu. "Om, kenapa Om belum menikah?" tanya Larisa. "Entahlah, mungkin karena belum menemukan yang pas," jawab Aarav. "Om kan ganteng, pasti banyak yang mengantri," ujar Larisa lagi. Aarav terkek
Menikah, dengan Om Aarav, astaga pemikiran konyol macam apa yang diutarakan bujangan tua itu. Rasanya aku ingin menjitak saja kepala itu, jika tidak sadar beliau orang dewasa yang harus aku hormati. Berulang kali napas ini kembang kempis secara teratur, mengontrol emosi jiwa yang menyerang bak bom atom meletus. Tidakkah dia paham aku ingin menikah dengan pangeran tampanku, Emir. Meski bukan sekarang, karena Emir juga ingin masuk ke perusahaan ayahnya dahulu. Toh kami masih kuliah, perjalanan masih panjang, sepanjang rel kereta api yang tak putus-putus saling menyambung.Tidak pernah tercatat di kamus Larisa Edzard menikah muda, apa lagi dengan Om om, astaga, sungguh terlalu. Aku memutar bola mata lalu menoleh ke arah lelaki yang baru saja hendak meminangku, aku paham benar dia tidak mungkin menawarkan diri menikah atas dasar mencintai.
Astaga, aku nyasar dan baru menyadarinya setelah berjalan lama melewati lorong yang entahlah aku tidak paham jalan untuk pulang. Lutut rasanya mau copot, tidak pernah aku berjalan terlalu Tenggorokanku sangat haus terasa, kepanasan pula sungguh sial, ingin rasanya mengumpat tapi ini pun salahku. Mau mengalahkan siapa. Sedih rasa hati ini tersiksa, jika boleh meminta pada angin, aku ingin panas ini berlalu dengan berganti mendung. Dering ponsel untuk kesekian kali berdering, menyerah aku mengangkat panggilan tersebut. Mau ngeyel pun tidak bisa, aku tidak ingin tersesat semakin jauh. "Larisa, kau di mana?" tanya Om Aarav, suaranya terdengar panik. "Om, Risa nyasar," keluhku. "Astaga, bagaimana bisa?" "Mana Risa tahu," ujarku tanpa rasa salah. "Share loc, aku akan menjemputmu!" perintahnya. Aku men-share lokasiku saat ini lewat aplikasi FastApp, kemudian duduk di bawah pohon rindang, mirip orang hilang. Menunggu, perbuatan membosankan yang s
Bangun tidur rasanya aku masih malas, mata ini masih terpejam dengan nyaman. Di balik selimut dan juga ranjang yang nyaman dan empuk. Rasanya aku tidak ingin beranjak. Elusan halus menyapa pipi, ah perbuatan yang sering ibu lakukan. "Sampai kapan kau akan tidur?" Suara lelaki terdengar mengagetkan. Aku membuka mata dengan cepat. "Om," bisikku melihat Om Aarav berbaring di samping. "Kau nyenyak sekali tidurnya, dari tadi siang, sampai aku pulang meeting kau masih tidur," ceramah Om Aarav. Aku menyembunyikan tubuh di balik selimut. "Pergilah mandi, tubuhmu sudah bau kecut," keluh Om Aarav. Aku menyembul dari balik selimut lalu mencium lengan kemeja yang aku kenakan. "Aku masih wangi," keluhku mengerucutkan bibir. Om Aarav terkekeh, rasanya kesal melihatnya, aku lempar dia dengan bantal. "Larisa, mari kita menikah saja, kau terbebas dari rencana perjodohan. Jadilah tameng untuk diriku juga yang sudah didesak menikah," ujar Om Aarav. Aku menghel
Senja bersinar dengan indah, mengiringi pergantian hari. Semburat sinar merah kekuningan, jingga terpancar membelah keramaian, jalan lalu lalang kendaraan umum dan hiruk pikuk kerumunan manusia. Berbeda dengan kantor, mulai terlihat sepi, sunyi, sebagian besar karyawan sudah berpulang. Bukan hari-hari sibuk, tinggal segelintir saja yang tersisa. Edzard terlihat sibuk, lelaki yang kini tidak lagi muda itu masih terlihat gagah menawan meski rambutnya telah beruban. Usia semakin bertambah. Sudah lima puluh dua tahun, tidak disangka, Larisa juga hampir menginjak usia dua puluh tahun lagi. Edzard meraih bingkai foto yang ada di meja. Ada potret ketika wisuda dulu, juga kemudian di sebelah lagi ada potret dia dan keluarga kecilnya. Kenangan manis itu hadir menyapa, air mata tidak terbendung, luruh. Perjuangan rumah tangga yang penuh liku, sampai akhirnya Larisa hadir sebagai buah cinta dirinya dan sang istri. Dering ponsel menghancurkan memori berkelebat. Edzard meraih ponsel
Laksa rindu terbalut indahnya senja, menawan hati bertabur bungah. Hati telah terpatri, bersama lantunan kidung cinta. Dahaga mengukung rasa yang tiada puas. Meski bersambut, bersua sewaktu-waktu rasa mengajuk semakin penuh, tumbuh. Begitu hasrat sepasang suami istri tersebut, tiada kata bosan dan lelah dalam memupuk terai asmara. Panah amor tepat menancap di atma masing-masing, mengukir afeksi, menyulam semakin erat. Rere menari di atas tubuh sang suami, naik turun secara teratur, Edzard membiarkan saja sang istri memuaskan diri sendiri. Rambut yang panjang itu sebagian tergerai ke arah depan ketika Rere menunduk, memperhatikan milik keduanya menyatu. Pemandangan yang eksotis bagi Edzard, dia ikut menggerakkan pinggul, menyeimbangkan Rere. Suara teriakan keduanya menggema di ruangan tersebut, bersahut-sahutan. Sampai pada akhirnya Rere mencapai puncak, getaran pada miliknya terasa mengurut Edzard, lelaki tersebut memeluk erat sang istri, membiarkan sebentar wanita itu menikmat
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A