Laksa rindu terbalut indahnya senja, menawan hati bertabur bungah. Hati telah terpatri, bersama lantunan kidung cinta. Dahaga mengukung rasa yang tiada puas. Meski bersambut, bersua sewaktu-waktu rasa mengajuk semakin penuh, tumbuh. Begitu hasrat sepasang suami istri tersebut, tiada kata bosan dan lelah dalam memupuk terai asmara. Panah amor tepat menancap di atma masing-masing, mengukir afeksi, menyulam semakin erat. Rere menari di atas tubuh sang suami, naik turun secara teratur, Edzard membiarkan saja sang istri memuaskan diri sendiri. Rambut yang panjang itu sebagian tergerai ke arah depan ketika Rere menunduk, memperhatikan milik keduanya menyatu. Pemandangan yang eksotis bagi Edzard, dia ikut menggerakkan pinggul, menyeimbangkan Rere. Suara teriakan keduanya menggema di ruangan tersebut, bersahut-sahutan. Sampai pada akhirnya Rere mencapai puncak, getaran pada miliknya terasa mengurut Edzard, lelaki tersebut memeluk erat sang istri, membiarkan sebentar wanita itu menikmat
Terkejut sudah pasti, apa yang dilakukan Om Aarav membuat aku ingin berteriak namun suara tercekat. Harusnya tidak begini namun mengapa jadi seperti ini. Daging lembut kenyal itu, astaga. Bibir Om Aarav kembali menempel pada bibirku. Tidak hanya menempel, lebih tepatnya berubah melumat habis-habisan, dari pelan berubah menjadi semakin menuntut. Kesalahan besar membuat taruhan pada lelaki seahli ini. Astaga jantung, meletup-letup tidak karuan, pikiran mulai kosong, mendadak aku linglung dengan tindakan yang dilakukan Om Aarav. Fokusku hanya pada balutan lembut yang membuat melayang pada bibir. Sesekali, lidahnya menari di dalam mulutku, menyentuh lidah dan ah seperti membelit. Astaga, ciuman ini lebih memabukkan dari pada kecupan yang pernah dilakukan Emir. Emir, mengingat nama pemuda itu otakku kembali hampir waras. Yah, hampir, jika saja sensasi lebih unik aku dapatkan ketika tangan Om Aarav mendarat di kedua bukit kembarku, memilin bagian ujung. Hampir aku berte
Ayah seperti kesetanan, menyeramkan, mata melotot, memerah. Dadanya terlihat kembang kempis, suara terdengar penuh penekanan, beliau mencoba menahan amarah. Tidak pernah terbayangkan wajah menyeramkan ayah lebih seperti setan dibandingkan saat aku kedapatan menyimpan vcd porno. Ayah melangkah panjang mendekat ke arah Om Aarav, tanpa permisi, beliau melayangkan tinju secara bertubi-tubi ke wajah tampannya. Aku berteriak lantang saking terkejut, mana pernah berpikir semua akan menjadi seperti ini. Cepat tubuh ini beringsut, tangan gemetar mengancingkan kemeja bagian atas yang terbuka, lalu berlari menghampiri. Om Aarav terlihat pasrah saja tanpa perlawanan. Dia membiarkan diri dipukuli habis-habisan hingga terjerembab ke lantai. Saat bersamaan ketika ayah hendak menginjak tubuhnya, aku memeluk tubuh Om Aarav menghalau serangan ayah lebih lanjut. "Cukup Ayah!" Aku berteriak sembari menangis. Kelopak mata tidak mampu membendung genangan air. Tidak aku rasakan injakan kaki ayah, mun
Sepeninggal ayah keluar aku langsung melotot menatap Om Aarav, mengingat apa yang baru saja terjadi juga kesalahpahaman antara aku dan ayah. Sungguh sial mengapa aku terjebak di situasi yang rumit ini, sinting. Om Aarav memandangku dengan tatapan memelas mirip kucing liar habis kena gebuk masa. Aku yakin dia saat ini sedang bersandiwara, aku butuh penjelasan atas drama yang dia mulai. Karena hal menggelikan itu ahirnya aku terperangkap masuk ke dalam pusara segitiga bermuda, sial memang. Aku menghela napas panjang kemudian menatap tajam Om Aarav, tapi apa yang terjadi, suaraku tidak keluar sama sekali. Astaga, aku terlalu mellow melihat penampakan wajah sok tanpa dosa tersebut. Lelaki menjengkelkan sumber petaka itu memegangi pipi dan ujung bibir yang terluka. Mulutku sedikit terbuka hendak mulai ceramah. “Aw!” pekiknya membuatku urung berkata kasar, lagi-lagi aku kalah dengan wajah tampan, frustrasi aku. “Ayah kamu masih kuat baku hantam,” keluhnya. “Mau lagi,
Sampai di rumah aku disambut dengan pelukan hangat dari ibu, ah nyaman sekali rasanya. Setidaknya biarkan aku nyaman sebelum mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi. Puas berpelukan, aku memutuskan untuk ke kamar, membersihkan diri. Ibu mengulas senyum, aku paham benar beliau memendam segala keingintahuan dan menunggu usai makan malam biasanya. Dengan malas aku berjalan ke arah kamar, masuk ke dalam kamar mandi. Aku lepas satu per satu pakaian yang melekat, tiba-tiba bayangan Om Aarav hadir, kuingat kembali ketika lelaki itu melepas kancing kemeja yang aku kenakan. Bibirnya itu, ah tanpa sadar aku menyentuh bibir sendiri, ciuman om Aarav sangat nikmat terasa, aku tidak memungkiri itu, apa aku sudah terjebak pesonanya. Innalillahi sekali jika benar demikian, kutepuk-tepuk pipi agar kesadaranku pulih. Secepat kilat menyalakan kran air, mengguyur tubuh nan letih berkeringat ini. Air dingin cukup membuat pikiran nakal ini terhenti. Selesai mandi, dengan sumringah lantaran perut sudah ker
Hidangan sayur asam, sambal terasi dan ayam goreng begitu menggoda. Membuat perut berbunyi nyaring yang bertepatan bersamaan ponsel yang terdengar memanggil, aku meraih benda pipih itu dari saku piyama. Tertera nomor Emir di sana, aku tersenyum girang, oh pujaan hatiku. Aku lapar tapi lebih ingin mendengar suara lelaki itu, mungkin ini yang dinamakan, deskripsi orang jatuh cinta bisa membuat kenyang. “Assalamualaikum, Cinta,” sapa Emir, suaranya membuat aku berdebar, cinta memang demikian, kah? “W*'alaikumsalam, hei Emir, kok seharian tidak menghubungi aku.” Kubuat suara manja nan menggemaskan. “Maaf, Sayang, aku baru saja pulang dari lihat pembangunan rumah yang baru, sejak kemarin malam kami di sana,” kata Emir. “Ah iya, apa kabar tante dan om?” tanyaku. “Emak sama bapak baik, mereka kangen kamu, pas acara selamatan rumah aku nanti, kamu ke sini ya,” ajak Emir. “Itu pasti,” jawabku, “Emir, kalian dari luar negeri, sudah lama tinggal di san
Malam semakin larut, aku menatap langit-langit kamar, bercat putih bersih. Seolah mencari jawaban atas apa yang tengah terjadi. Pada usia delapan belas tahun, aku diharuskan menikah. Semua kesalahan diriku, kuhela napas perlahan berulang kali, menetralisir hati nan gundah. Lelah menatap langit-langit aku memiringkan tubuh, memeluk guling yang ada di samping. Memejamkan mata pun tidak guna, rasanya tidak mengantuk sama sekali, aku kesal sendiri dibuatnya. Kuhentak-hentakkan kaki lalu melempar guling ke samping. Bangkit berdiri dengan cepat. “Aku harus menemui, Ayah,” ujarku yakin. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, menoleh ke arah ujung ruangan, tempat kerja sang ayah. Kakinya terasa berat, nyalinya menciut dalam waktu sepersekian detik. Antara takut dan juga ragu kaki melangkah pelan, aku membuka pintu ruang kerja ayah. Beliau menoleh, tersenyum ramah, ayahku memang terlihat mempesona meski mengenakan kaca mata. Lalu lelaki dengan gesture tubuh tinggi, lalu mengapa aku ma
Kaki ini terasa terseret melangkah, namun aku paksakan. Limbung masuk ke dalam kamar. Aku hempaskan tubuh ke atas ranjang, berbaring, menyembunyikan wajah di bantal, menangis sepuasnya. Aku telah menuai buah dari perbuatanku. Sedih. Mata terasa panas juga bengkak, bayangan Emir dan Om Aarav bergantian memenuhi pikiran. Ingin aku berteriak lantang tapi takut dimarahi tetangga. Aku tidak mungkin menceritakan hal sebenarnya kepada ayah atau ibu. Malah semakin menambah masalah, bisa jadi mereka menyalahkan Om Aarav, atau mungkin saja aku yang akan mereka kurung di rumah. Arah mana pun sama-sama berat dan lebih berat. Puas menangis, aku meraih ponsel, ingin menghubungi Emir, bingung harus berkata apa. Lahir batin belum siap berpisah dengannya. Beruntung ada teman sehati, aku menghubungi via video call di aplikasi FastApp Elizabeth dan juga Delon, adik dari tersangka dalam kasus ini. Syok, sudah pasti aku menceritakan detil permasalahan, tapi tidak sedetil itu juga. Sepanjang ja