Yuks semangati author dengan komentar kalian juga gem vote, terima kasih.
Malam semakin larut, aku menatap langit-langit kamar, bercat putih bersih. Seolah mencari jawaban atas apa yang tengah terjadi. Pada usia delapan belas tahun, aku diharuskan menikah. Semua kesalahan diriku, kuhela napas perlahan berulang kali, menetralisir hati nan gundah. Lelah menatap langit-langit aku memiringkan tubuh, memeluk guling yang ada di samping. Memejamkan mata pun tidak guna, rasanya tidak mengantuk sama sekali, aku kesal sendiri dibuatnya. Kuhentak-hentakkan kaki lalu melempar guling ke samping. Bangkit berdiri dengan cepat. “Aku harus menemui, Ayah,” ujarku yakin. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, menoleh ke arah ujung ruangan, tempat kerja sang ayah. Kakinya terasa berat, nyalinya menciut dalam waktu sepersekian detik. Antara takut dan juga ragu kaki melangkah pelan, aku membuka pintu ruang kerja ayah. Beliau menoleh, tersenyum ramah, ayahku memang terlihat mempesona meski mengenakan kaca mata. Lalu lelaki dengan gesture tubuh tinggi, lalu mengapa aku ma
Kaki ini terasa terseret melangkah, namun aku paksakan. Limbung masuk ke dalam kamar. Aku hempaskan tubuh ke atas ranjang, berbaring, menyembunyikan wajah di bantal, menangis sepuasnya. Aku telah menuai buah dari perbuatanku. Sedih. Mata terasa panas juga bengkak, bayangan Emir dan Om Aarav bergantian memenuhi pikiran. Ingin aku berteriak lantang tapi takut dimarahi tetangga. Aku tidak mungkin menceritakan hal sebenarnya kepada ayah atau ibu. Malah semakin menambah masalah, bisa jadi mereka menyalahkan Om Aarav, atau mungkin saja aku yang akan mereka kurung di rumah. Arah mana pun sama-sama berat dan lebih berat. Puas menangis, aku meraih ponsel, ingin menghubungi Emir, bingung harus berkata apa. Lahir batin belum siap berpisah dengannya. Beruntung ada teman sehati, aku menghubungi via video call di aplikasi FastApp Elizabeth dan juga Delon, adik dari tersangka dalam kasus ini. Syok, sudah pasti aku menceritakan detil permasalahan, tapi tidak sedetil itu juga. Sepanjang ja
Sesosok tubuh tinggi tegap menatap dengan ekspresi kebingungan. Aku tahu benar tatapan Matanya menyiratkan rasa khawatir. Sosok penyayang, pelindung terbaik yang aku miliki. Diam mematung, aku melihat ayah di ambang pintu dengan mata melebar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ayah. Haruskah aku berbohong saja jika Om Aarav akan memperkosaku, sepertinya itu ide brilliant. Namun, ternyata nyaliku ciut untuk berucap. Mengingat aku menikmati apa yang Om Aarav lakukan, itu bukan pelecehan, tapi perbuatan suka sama suka. Harga diriku memang hancur sudah. “Tidak ada apa-apa, Ayah,” jawabku. “Hei, matamu terlihat bengkak, kau menangis? Ada apa, katakan pada ayah apa Aarav menyakitimu?” Ayah melangkah cepat mendekat lalu duduk di pojok ranjang. Tangan berotot itu meraih daguku, tatapan cemas tergambar jelas, ayah memeluk tubuh ini dengan sangat hangat, nyaman. Aku tidak kuasa lagi untuk menangis, meski aku tidak bisa bercerita banyak tapi, setidaknya aku ingin menumpahkan sesak dada. Aya
Edzard menggandeng Rere masuk ke dalam kamar kamar, lelaki itu terlihat buru-buru hingga membuat Rere mengernyitkan kening. Ingin dia bertanya namun urung lantaran Edzard sudah lebih dahulu menyambar bibirnya setelah menutup pintu kamar. Lelaki tersebut terlihat giat menarik mantel tidur sang istri hingga lolos tersisa tangtop setinggi lutut. Rere membalas perlakuan sang suami dengan menyilangkan leher. Edzard sedikit mendorong ke belakang tubuh sang istri hingga punggung wanitanya itu terkantuk tembok. Kepala Edzard menelusup ke ceruk leher sang istri. Bibirnya menyentuh setiap inci leher sang istri, membuat wanita tersebut mendesah panjang, kedua tangan Edzard meremas bukit kembar sang istri. Menarik sisa pakaian yang Rere kenakan, kemudian menggunakan bibirnya untuk menyentuh ujung dada. Edzard seperti bayi yang tengah menyusu, salah satu tangan digunakan untuk menahan tubuh sang istri sedang tangan yang satunya sudah sampai di bagian bawah, menyusuri lembah dan jarinya bermain kelu
Kenzo menatap tajam ke arah Edzard, kedua lelaki tersebut masih bersitegang. Mereka tengah membahas masalah pernikahan Larisa yang bagi Kenzo terkesan sangat mendadak. Edzard menyilangkan tangan, mendengarkan protes Kenzo. Lelaki tersebut mencoba untuk tenang walau sebenarnya ingin sekali memukul kepala sang sahabat agar berhenti mengomel. Helene terlihat kebingungan, merasa risih dengan Rere yang sedari tadi hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum. “Zard, otak kamu hilang ke mana?” “Astaga Ken, kalau otak aku hilang aku gila,” jawab Edzard nyeleneh. “Zard, aku sedang tidak bercanda, kalian berdua apa yang kalian pikirkan hingga akan menikahkan Larisa dengan Aarav, perbedaan usia mereka terpaut jauh, dan kalian tahu, Aarav itu lelaki brengsek,” keluh Kenzo. “Kalian duduklah sambil berbicara, lelah jika lama berdiri!” ajak Rere mempersilahkan tamu yang sudah berada di ruang tengah, ruang keluarga. Mereka kemudian duduk di sofa panjang, “Ken, dari mana kau
Kesempatan itu datang namun, ketika kembali Larisa melihat kedua orang tua kandungnya. Ada harapan besar tersirat dari kediaman mereka. Hal tersebut membuat dirinya tidak tega untuk berbuat seperti apa yang sebelumnya dia bayangkan, sakit itu terasa lebih jika sampai Risa melihat kekecewaan kedua orang tuanya. Harapan mereka membumbung tinggi, mungkin pernikahan adalah jalan terbaik. Sejauh Larisa mengintip di balik tembok sebelum dirinya berjalan masuk ke dalam ruangan. Dia sudah mendengar kedua orang tuanya tidak menceritakan apa yang terjadi di hotel. Mereka masih menutup erat perbuatan memalukannya. “Saya, menyukai Om Aarav, dan tentang pernikahan ini saya menyetujui usul Ayah,” jawab Larisa, senyum simpul menghias bibir. Senyum kebohongan yang dia tampilkan sebaik mungkin. Dia menoleh ke arah Helene dan Kenzo bergantian. Keduanya nampak kebingungan, ah itu sudah pasti terjadi. Elizabeth mungkin menceritakan hal lebih mendramatisir dari kejadian yang sebenarnya.
Aarav yang menolak mentah-mentah kemudian dengan semangatnya dia datang dan juga menginginkan pernikahan tersebut, tentu saja itu membuat Adelard dan juga Evelyn kebingungan. Sepasang suami istri tersebut saling pandang, hendak menanyakan hal mengganjal namun ragu, akibatnya sampai sarapan dihidangkan datang mereka masih berkode mata untuk saling lempar bertanya. Evelyn mengerucutkan bibir, Adelard menghela napas panjang. “Kau serius akan menikahi Larisa?” tanya Adelard kemudian. Aarav berhenti mengunyah nasi goreng, dia memandang sang ayah, “Bukankah kalian yang mendesak aku untuk mendekati Larisa?” Aarav balik bertanya. “Jika kau hanya akan menyakiti perasaan gadis muda itu, lebih baik kita urungkan rencana pernikahan kalian,” kata Evelyn. Aarav tampak berpikir sejenak, dia terbayang akan wajah ayu gadis mungil penggoda iman tersebut. tubuhnya tidak sebahenol wanita yang pernah dia kencanii, inytinya bukan type idaman lelaki tersebut. namun, entah mengapa
Di sebuah kamar luas, di mana dinding bercat putih, ada pintu jendela besar di depan balkon, tertutup tirai warna gold melambai tersapu angin lantaran jendela tidak ditutup. Hari sudah malam, semburat cahaya rembulan masuk menghujani membuat punggung polos berkeringat itu mengkilat. Sebuah ranjang ukuran besar berderit seiring gerakan di atasnya. Sepasang suami istri tengah berada dalam balutan peluh, bergumul. Posisi bersetubuh dengan gaya dogy. Sang pria menggerakkan pinggul keluar-masuk, sesekali dengan cepat lalu kemudian melambat. Tangan kanan menyelusup dari samping pinggul sang istri untuk menyentuh bagian kecil yang menonjol di bagian inti sang istri. Jemarinya bergerak dengan aktif, membuat sang wanita menggeliat dan berteriak. “Sayang, aku sudah tidak kuat lagi!” teriak wanitanya, dia menggigit bibit bagian bawah, menahan segala rasa melayang. Rambut panjang bergelombang itu terurai ke depan sebagian, buah dada yang menggantung bergoyang seiring sodokan lelaki ter
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A