Sampai di rumah aku disambut dengan pelukan hangat dari ibu, ah nyaman sekali rasanya. Setidaknya biarkan aku nyaman sebelum mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi. Puas berpelukan, aku memutuskan untuk ke kamar, membersihkan diri. Ibu mengulas senyum, aku paham benar beliau memendam segala keingintahuan dan menunggu usai makan malam biasanya. Dengan malas aku berjalan ke arah kamar, masuk ke dalam kamar mandi. Aku lepas satu per satu pakaian yang melekat, tiba-tiba bayangan Om Aarav hadir, kuingat kembali ketika lelaki itu melepas kancing kemeja yang aku kenakan. Bibirnya itu, ah tanpa sadar aku menyentuh bibir sendiri, ciuman om Aarav sangat nikmat terasa, aku tidak memungkiri itu, apa aku sudah terjebak pesonanya. Innalillahi sekali jika benar demikian, kutepuk-tepuk pipi agar kesadaranku pulih. Secepat kilat menyalakan kran air, mengguyur tubuh nan letih berkeringat ini. Air dingin cukup membuat pikiran nakal ini terhenti. Selesai mandi, dengan sumringah lantaran perut sudah ker
Hidangan sayur asam, sambal terasi dan ayam goreng begitu menggoda. Membuat perut berbunyi nyaring yang bertepatan bersamaan ponsel yang terdengar memanggil, aku meraih benda pipih itu dari saku piyama. Tertera nomor Emir di sana, aku tersenyum girang, oh pujaan hatiku. Aku lapar tapi lebih ingin mendengar suara lelaki itu, mungkin ini yang dinamakan, deskripsi orang jatuh cinta bisa membuat kenyang. “Assalamualaikum, Cinta,” sapa Emir, suaranya membuat aku berdebar, cinta memang demikian, kah? “W*'alaikumsalam, hei Emir, kok seharian tidak menghubungi aku.” Kubuat suara manja nan menggemaskan. “Maaf, Sayang, aku baru saja pulang dari lihat pembangunan rumah yang baru, sejak kemarin malam kami di sana,” kata Emir. “Ah iya, apa kabar tante dan om?” tanyaku. “Emak sama bapak baik, mereka kangen kamu, pas acara selamatan rumah aku nanti, kamu ke sini ya,” ajak Emir. “Itu pasti,” jawabku, “Emir, kalian dari luar negeri, sudah lama tinggal di san
Malam semakin larut, aku menatap langit-langit kamar, bercat putih bersih. Seolah mencari jawaban atas apa yang tengah terjadi. Pada usia delapan belas tahun, aku diharuskan menikah. Semua kesalahan diriku, kuhela napas perlahan berulang kali, menetralisir hati nan gundah. Lelah menatap langit-langit aku memiringkan tubuh, memeluk guling yang ada di samping. Memejamkan mata pun tidak guna, rasanya tidak mengantuk sama sekali, aku kesal sendiri dibuatnya. Kuhentak-hentakkan kaki lalu melempar guling ke samping. Bangkit berdiri dengan cepat. “Aku harus menemui, Ayah,” ujarku yakin. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, menoleh ke arah ujung ruangan, tempat kerja sang ayah. Kakinya terasa berat, nyalinya menciut dalam waktu sepersekian detik. Antara takut dan juga ragu kaki melangkah pelan, aku membuka pintu ruang kerja ayah. Beliau menoleh, tersenyum ramah, ayahku memang terlihat mempesona meski mengenakan kaca mata. Lalu lelaki dengan gesture tubuh tinggi, lalu mengapa aku ma
Kaki ini terasa terseret melangkah, namun aku paksakan. Limbung masuk ke dalam kamar. Aku hempaskan tubuh ke atas ranjang, berbaring, menyembunyikan wajah di bantal, menangis sepuasnya. Aku telah menuai buah dari perbuatanku. Sedih. Mata terasa panas juga bengkak, bayangan Emir dan Om Aarav bergantian memenuhi pikiran. Ingin aku berteriak lantang tapi takut dimarahi tetangga. Aku tidak mungkin menceritakan hal sebenarnya kepada ayah atau ibu. Malah semakin menambah masalah, bisa jadi mereka menyalahkan Om Aarav, atau mungkin saja aku yang akan mereka kurung di rumah. Arah mana pun sama-sama berat dan lebih berat. Puas menangis, aku meraih ponsel, ingin menghubungi Emir, bingung harus berkata apa. Lahir batin belum siap berpisah dengannya. Beruntung ada teman sehati, aku menghubungi via video call di aplikasi FastApp Elizabeth dan juga Delon, adik dari tersangka dalam kasus ini. Syok, sudah pasti aku menceritakan detil permasalahan, tapi tidak sedetil itu juga. Sepanjang ja
Sesosok tubuh tinggi tegap menatap dengan ekspresi kebingungan. Aku tahu benar tatapan Matanya menyiratkan rasa khawatir. Sosok penyayang, pelindung terbaik yang aku miliki. Diam mematung, aku melihat ayah di ambang pintu dengan mata melebar. “Kamu kenapa, Sayang?” tanya Ayah. Haruskah aku berbohong saja jika Om Aarav akan memperkosaku, sepertinya itu ide brilliant. Namun, ternyata nyaliku ciut untuk berucap. Mengingat aku menikmati apa yang Om Aarav lakukan, itu bukan pelecehan, tapi perbuatan suka sama suka. Harga diriku memang hancur sudah. “Tidak ada apa-apa, Ayah,” jawabku. “Hei, matamu terlihat bengkak, kau menangis? Ada apa, katakan pada ayah apa Aarav menyakitimu?” Ayah melangkah cepat mendekat lalu duduk di pojok ranjang. Tangan berotot itu meraih daguku, tatapan cemas tergambar jelas, ayah memeluk tubuh ini dengan sangat hangat, nyaman. Aku tidak kuasa lagi untuk menangis, meski aku tidak bisa bercerita banyak tapi, setidaknya aku ingin menumpahkan sesak dada. Aya
Edzard menggandeng Rere masuk ke dalam kamar kamar, lelaki itu terlihat buru-buru hingga membuat Rere mengernyitkan kening. Ingin dia bertanya namun urung lantaran Edzard sudah lebih dahulu menyambar bibirnya setelah menutup pintu kamar. Lelaki tersebut terlihat giat menarik mantel tidur sang istri hingga lolos tersisa tangtop setinggi lutut. Rere membalas perlakuan sang suami dengan menyilangkan leher. Edzard sedikit mendorong ke belakang tubuh sang istri hingga punggung wanitanya itu terkantuk tembok. Kepala Edzard menelusup ke ceruk leher sang istri. Bibirnya menyentuh setiap inci leher sang istri, membuat wanita tersebut mendesah panjang, kedua tangan Edzard meremas bukit kembar sang istri. Menarik sisa pakaian yang Rere kenakan, kemudian menggunakan bibirnya untuk menyentuh ujung dada. Edzard seperti bayi yang tengah menyusu, salah satu tangan digunakan untuk menahan tubuh sang istri sedang tangan yang satunya sudah sampai di bagian bawah, menyusuri lembah dan jarinya bermain kelu
Kenzo menatap tajam ke arah Edzard, kedua lelaki tersebut masih bersitegang. Mereka tengah membahas masalah pernikahan Larisa yang bagi Kenzo terkesan sangat mendadak. Edzard menyilangkan tangan, mendengarkan protes Kenzo. Lelaki tersebut mencoba untuk tenang walau sebenarnya ingin sekali memukul kepala sang sahabat agar berhenti mengomel. Helene terlihat kebingungan, merasa risih dengan Rere yang sedari tadi hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum. “Zard, otak kamu hilang ke mana?” “Astaga Ken, kalau otak aku hilang aku gila,” jawab Edzard nyeleneh. “Zard, aku sedang tidak bercanda, kalian berdua apa yang kalian pikirkan hingga akan menikahkan Larisa dengan Aarav, perbedaan usia mereka terpaut jauh, dan kalian tahu, Aarav itu lelaki brengsek,” keluh Kenzo. “Kalian duduklah sambil berbicara, lelah jika lama berdiri!” ajak Rere mempersilahkan tamu yang sudah berada di ruang tengah, ruang keluarga. Mereka kemudian duduk di sofa panjang, “Ken, dari mana kau
Kesempatan itu datang namun, ketika kembali Larisa melihat kedua orang tua kandungnya. Ada harapan besar tersirat dari kediaman mereka. Hal tersebut membuat dirinya tidak tega untuk berbuat seperti apa yang sebelumnya dia bayangkan, sakit itu terasa lebih jika sampai Risa melihat kekecewaan kedua orang tuanya. Harapan mereka membumbung tinggi, mungkin pernikahan adalah jalan terbaik. Sejauh Larisa mengintip di balik tembok sebelum dirinya berjalan masuk ke dalam ruangan. Dia sudah mendengar kedua orang tuanya tidak menceritakan apa yang terjadi di hotel. Mereka masih menutup erat perbuatan memalukannya. “Saya, menyukai Om Aarav, dan tentang pernikahan ini saya menyetujui usul Ayah,” jawab Larisa, senyum simpul menghias bibir. Senyum kebohongan yang dia tampilkan sebaik mungkin. Dia menoleh ke arah Helene dan Kenzo bergantian. Keduanya nampak kebingungan, ah itu sudah pasti terjadi. Elizabeth mungkin menceritakan hal lebih mendramatisir dari kejadian yang sebenarnya.