Beranda / CEO / Ahli Waris / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Ahli Waris: Bab 1 - Bab 10

145 Bab

Seratus Juta Semalam

Kamar apartemen termegah di salah satu kota Jakarta tampak remang-remang di malam hari. Kedua mataku rasanya sangat berat, membuat aku semakin susah membukanya. Aku juga merasakan tubuhku sangat memanas, atau lebihnya berhasrat. Kedua mataku sedikit mengernyit melihat seorang wanita berkacak pinggang di hadapanku.“Hah, bagaimana mungkin aku berhasil didapatkannya? Padahal aku bersusah payah berlari untuk menghindar darinya.”Wanita itu berjalan menuju ke ranjang dengan pelan, tempat di mana aku terbaring. Semakin dekat, aku semakin jelas melihatnya.“Tidak mungkin aku akan melakukannya. Tapi, aku ini laki-laki normal. Tidak mungkin aku akan tahan melihat wanita sangat cantik di hadapanku. Duh, bagaimana ini, milikku sangat berdiri.”Dia semakin mendekatiku. Kedua miliknya yang menggunung di atas tubuhnya, berada tepat di hadapanku. Aku melotot melihatnya. Bentuknya sangat indah bulat sempurna. Apalagi kulitnya putih dan sangat mul
Baca selengkapnya

Ciuman Pertama

“Lalu kau apa?” tanyanya sambil mengernyit.Aku masih saja diam terpaku mendengar pertanyaannya. Tidak aku percaya dia masih saja bersikeras dengan keinginannya. Aku semakin kebingungan dengan wanita yang aku temui ini. Sangat mengerikan.  “Kau tidak bisa menjawab?” tanyanya kembali semakin membuatku kesal.“Wes, percuma dijelaskan. Aku bukan seperti itu, Mbak,” jawabku tegas.Aku ini Raden Agus. Sifatku lembut dan baik dengan siapapun. Namun, aku sudah dilatih untuk menjadi pemuda yang sangat disiplin. Itu semua Ibu yang mengajarkanku. Apalagi Bapak yang mengharuskanku menjadi seperti itu. Baik, namun tegas. Maklum saja aku adalah calon pewaris keturunan bangsawan. Apalagi dengan wanita, aku tidak boleh bersikap kasar.“Kau masih berpikir?” Dia semakin menatapku. Aku menggelengkan kepalaku, kemudian menghindari tatapannya.“Masih ragu dengan tawaranku?”“Duh, wan
Baca selengkapnya

Kau Akan Menghamiliku

Aku dengan sangat lega, menerima ajakan Nenek. Hidupku sangat beruntung ada Nenek yang menemukanku saat pagi tertidur di jalanan. Aku terselamatkan dari diriku yang akan menjadi gelandangan.“Tapi, rumah Nenek kecil, dan harus menjual nasi pecel ini tiap hari.”“Aku akan membantu Nenek.”“Ya udah, kau dorong gerobak itu!”“Baik, Nek.”Dengan sangat gagah, aku mendorong gerobak ini. Semua mata memandangku. Apalagi semua wanita yang melintas. Mereka berbisik membicarakan aku, hingga aku menjadi salah tingkah sendiri. Aku terus berusaha tersenyum ke semua arah, sampai tanpa sadar berada di depan kampus yang sangat mewah.“Berhenti di sini! Kita tunggu semua mahasiswa istirahat. Nanti semua mahasiswa yang melintas pasti akan membelinya. Kamu bantu menerima uang, dan menjaganya dari pencuri!”“Siap, Nek,” ucapku sangat bersemangat.Aku masih menebar senyuman kep
Baca selengkapnya

Semakin Rumit

Seseorang datang tidak berselang lama setelah aku bertemu wanita tadi, mengetuk pintu rumah Nenek. Aku segera berlari ke dalam kamar, memakai pakaian yang sudah disiapkan Nenek. Kaos berwarna putih yang sangat tipis, dan kekecilan di tubuhku hingga terlihat sangat ketat.“Banyak sekali lubang. Tapi tidak apa-apa, yang penting punya baju,” gumamku segera memakainya dan keluar kamar.“Nenek Suri, keluarlah!” Laki-laki memakai peci, dengan kumis tipis menghiasi wajahnya, yang sepertinya adalah Pak RT. Dia segera masuk ke dalam rumah saat Nenek membuka pintu."Nenek yang membantuku ternyata namanya Suri,” batinku segera berdiri di sebelah Nenek.Laki-laki itu menatapku heran. Dia pasti akan segera mengatakan sesuatu yang membuat perasaanku sangat tidak enak."Nenek, tadi anakku Rahayu pulang ke rumah dengan menangis. Katanya dia melihat laki-laki yang sudah membuka baju di hadapannya. Apa itu dia?” Aku terkejut melih
Baca selengkapnya

Berada Di Kamar

Aku tidak percaya mendengar apa yang Pak RT mata duitan itu katakan. Aku harus membayar dua kali lipat hanya gara-gara Ayu menangis. Dan aku sendiri tidak tahu kenapa.“Nek, kenapa laki-laki seperti itu terpilih menjadi Pak RT sih, Nek?” tanyaku lemas.Aku masih berpikir dari mana aku bisa mendapatkan uang dua juta itu. Jam tanganku yang harganya ratusan juta saja tidak laku. Apalagi ditambah dengan uang dua juta.“Sudah, jangan kau pikirkan perkataan Pak RT. Dia memang mata duitan. Kerjaannya selalu saja menarik iuran tidak jelas. Tapi, entah kenapa semua warga selalu percaya kepadanya. Mungkin karena dia paling kaya di kampung ini.”“Nanti akan aku balas, Pak RT,” kataku sangat kesal dengannya.“Kamu sebaiknya tidur saja sekarang! Besuk, antar Nenek jualan pecel lagi biar laris.”“Iya, Nek. Tapi, aku mau mencari udara segar dulu. Aku mau menenangkan pikiranku.”“Baikl
Baca selengkapnya

Jangan Tanggung Jawab

Aku semakin tidak mengerti dengan Cinta. Biasanya, laki-laki yang memaksa wanita. Ini lha kok malah wanitanya yang sangat menakutkan. Terlebih lagi, kepemilikanku yang masih berdiri tegang seperti ini. Entahlah aku tadi diberikan minuman jenis apa, sampai aku sangat panas seperti ini.“Mbak, aku tidak bisa. Duh, aku mau pakai pakaian apa ini?”Aku menutup milikku dengan kedua tangan, masih di atas ranjang. Cinta di atas tubuhku, semakin menggodaku. Dia mencoba membuka tanganku yang aku tahan.“Agus, jika kau tidak membukanya, aku akan berteriak hingga semua orang datang, dan aku akan bilang, saya dilecehkan pemuda yang sangat tinggi besar.”“Loh, jangan Mbak! Aku akan mengelak. Mereka tidak akan percaya. Aku akan bilang Mbak yang menjebakku.”“Hahaha, mereka mempercayai gadis kecil cantik seperti diriku, atau dirimu pemuda yang sangat kuat dan tinggi. Mana mungkin aku sekecil ini melecehkan laki-laki besar
Baca selengkapnya

Berencana Pulang

Aku semakin memandang wajah cantik mungil menggemaskan di hadapanku ini. Rasanya aku sudah tidak bisa lepas dari Cinta. Ini sudah sangat membuatku kebingungan. Aku menghela nafas, memainkan jariku di wajah cantik Cinta mengikuti polanya. Dia terpejam menikmati sentuhan lembutku. Aku tersenyum, tanpa sadar mendekatkan keningku hingga hidung lancipnya mengenai ujung hidungku.“Agus, aku mau lagi,” ucapnya manja.“Cinta, jangan ya! Kita menikah dulu saja, agar sah,” jawabku yang sepertinya tidak memuaskannya. Dia memasang wajah cemberut hingga bibirnya menyamping. Kedua matanya menyipit. Aku masih saja menatap kedua bola mata Cinta yang akan menusukku. Bagaimanapun juga aku tidak akan mengambil keuntungan dalam hal ini.“Agus, kalau kamu tidak mau melakukannya lagi, aku yang akan memaksa,” ancam Cinta tiba-tiba. Aku segera melotot dan menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, tidak, jangan Cinta!” balasku tegas.
Baca selengkapnya

Menghadapi Warga

Semua wanita di kampung ini membawa sebuah mangkok berisi makanan. Tidak heran jika semua warga laki-laki semakin menatap kebencian kepadaku. Aku mengangkat wajah dan melihat semua warga yang berdiri di depan rumah Nenek dengan kemarahan. Lebih parahnya lagi, salah satu wanita muda menghampiriku.“Mas Agus, ini aku bawakan sayur asem dengan ikan goreng lengkap bercampur sambal, khusus untuk mas ganteng,” katanya genit sambil mencoel daguku dengan jari manisnya. Parahnya, dia mengedip-kedipkan kedua matanya sambil tersenyum menggoda. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini.Aku masih memaksakan seulas senyuman di wajahku. Kejadian ini masih membuatku panik. “Nenek, aku tidak tahu apa-apa ini, Nek?” bisikku.“Sudah, jangan kawatir, ada Nenek,” perkataan Nenek yang masih tidak membuatku tenang. Pandangan tajam Rian tidak pernah lepas dariku. Aku seperti akan ditelannya mentah-mentah.“Agus! Dia, tidak salah lag
Baca selengkapnya

Kedatangan Rahman

“Nek, tolong!”“Sabar, Nenek juga bingung,” jawab Nenek menatap semua arah mencari cara.Semua warga sepertinya senang melihatku akan menikahi Ayu kecuali Rian. Dia berbicara dengan Pak RT memohon agar membatalkan pernikahan ini. Tapi, Pak RT masih diam tidak menghiraukan Rian karena kebingungan melihat Ayu yang sangat ngotot ingin menikah denganku. Aku terus mengamati jam dinding yang sangat lambat berputar. Semoga saja Rian bisa membuat Pak RT membatalkannya.“Rahman, kamu kemana?” batinku terus gelisah.Ayu semakin mengeratkan kedua tangannya di lenganku. Bagaimanapun juga, aku tidak akan menikahi Ayu. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Nenek masih memperlihatkan wajah resah ikut kebingungan. Otakku terus berpikir di kepalaku yang sangat cerdas ini. Pak RT yang sangat mata duitan itu tidak mungkin mau menikahkan anak satu-satunya dengan gelandangan seperti diriku.“Aha!” Aku mendapatkan ide cemerlan
Baca selengkapnya

Kepulangan Agus

Aku menatap Ibu yang sudah lemas di pundak kedua adik kembarku. Tidak aku sangka, mereka akan berpikiran seperti itu. Aku segera mendekati Rahman yang dengan sangat santai menatapku tanpa rasa bersalah.“Man, kamu itu ngomong apa? Lihatlah Ibu, sampai pingsan kayak begitu!” kataku pelan dengan tegas. Rahman malah terkekeh hingga pundaknya bergerak. Tidak aku percaya, Rahman menganggap hal ini tidak serius. Kakiku dengan segera melangkah menuju Bapak yang sepertinya marah kepadaku.“Bapak, selama aku berada di Jakarta, Nenek Suri yang merawat dan membantuku. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan dia sendirian tinggal di sana. Aku memutuskan untuk mengajak Nenek tinggal bersamaku di sini.”Penjelasan yang aku berikan akhirnya membuat Bapak tersenyum, segera mengulurkan tangan kanan kepada Nenek Suri untuk bersalaman.“Terima kasih sudah menolong anakku, Agus. Kami berhutang budi kepada Nenek,” kata Bapak tersenyum ramah.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status