Aku dengan sangat lega, menerima ajakan Nenek. Hidupku sangat beruntung ada Nenek yang menemukanku saat pagi tertidur di jalanan. Aku terselamatkan dari diriku yang akan menjadi gelandangan.
“Tapi, rumah Nenek kecil, dan harus menjual nasi pecel ini tiap hari.”
“Aku akan membantu Nenek.”
“Ya udah, kau dorong gerobak itu!”
“Baik, Nek.”
Dengan sangat gagah, aku mendorong gerobak ini. Semua mata memandangku. Apalagi semua wanita yang melintas. Mereka berbisik membicarakan aku, hingga aku menjadi salah tingkah sendiri. Aku terus berusaha tersenyum ke semua arah, sampai tanpa sadar berada di depan kampus yang sangat mewah.
“Berhenti di sini! Kita tunggu semua mahasiswa istirahat. Nanti semua mahasiswa yang melintas pasti akan membelinya. Kamu bantu menerima uang, dan menjaganya dari pencuri!”
“Siap, Nek,” ucapku sangat bersemangat.
Aku masih menebar senyuman kepada semua wanita yang melewatiku sambil melambaikan tangannya. Mereka sangat tahu jika aku memang tampan. Aku membalas lambaian tangan mereka yang semakin tersenyum, jika aku melakukannya.
Waktu berjalan cukup singkat. Akhirnya, semua mahasiswa beristirahat. Tidak aku sangka semua wanita yang melihat senyumanku berhenti dan langsung membeli pecel Nenek.
“Wah, ganteng banget anaknya, Nek. Aku mau dong dijadikan mantu, walaupun tidak punya apa-apa,” ucapnya sambil mengedipkan salah satu matanya. Aku segera memalingkan wajahku.
Semua wanita berhenti. Mereka masih memandangku sambil senyum-senyum sendiri. Aku masih saja melayani mereka sesuai arahan Nenek. Tanpa aku sadari, mereka mengantri sepanjang kereta api.
“Loh, panjang amat ya,” kataku terkejut melihatnya.
“Hai, Mas. Pecelnya lima ya!” ucap salah satu pembeli yang tentu saja wanita dan sedikit menyentuh kulit tanganku.
“Iya, Mbak," jawabku pelan sambil sedikit menunduk.
"Aku begidik,” batinku pelan sambil menggeleng.
***
Di sebuah kelas tidak jauh dari posisi Agus berjualan pecel, empat cewek paling populer bernama Cinta dan ketiga sahabatnya yang juga sangat cantik benama Intan, Ani, dan Mira, berjalan kebingungan saat melihat semua mahasiswa wanita berlarian menuju ke luar gerbang.
“Kenapa mereka?” tanya Intan.
“Katanya ada pemuda ganteng jualan pecel,” jawab Ani.
“Sudahlah jangan hiraukan mereka! Hanya penjual pecel, tidak ada yang sangat istimewa. Lihatlah teman kita ini! Dia sangat sedih. Cinta, apa kau masih saja bertengkar dengan orang tuamu?” tanya Mira yang paling dekat dengan Cinta.
Cinta adalah gadis terkaya dan terpopuler di kampus. Dia harus menerima perjodohan dengan pemuda bangsawan dari Jogja yang belum dia ketahui sama sekali. Cinta dengan tegas menolaknya, dan tidak mau menerimanya. Dia sangat sedih saat mengunjungi rumah neneknya di Jogja untuk membicarakan perjodohan untuknya. Hingga dia berdiri di atas pagar jembatan saat akan kembali ke Jakarta, dan tidak sengaja bertemu Agus yang akan menyelamatkannya.
“Kau tahu, aku harus hamil dengan pemuda pilihan Bapak, karena nanti anak dalam kandunganku adalah ahli waris keturunan kedua bangsawan ini. Aku menolaknya, dan akan hamil dengan laki-laki lain. Aku sudah menemukan laki-laki lain itu, tapi dia menolakku.”
“Menolakmu?” Ketiga sahabatnya terkejut.
“Kau sangat cantik dan kaya seperti ini di tolak?” tanya Mira mengangkat kedua tangannya terheran.
“Yah, aku tetap akan mengejarnya. Dia yang akan menghamiliku. Aku akan melakukannya dengan orang lain, tidak dengan pilihan Bapak, laki-laki yang tidak aku kenal. Dan aku sudah menentukan siapa dia.”
Mereka berempat berjalan hingga keluar pagar kampus. Cinta sangat terkejut melihat Agus ternyata berada tidak jauh dari posisinya, yang masih saja tersenyum kearah semua mahasiswa wanita.
“Dia ternyata menghampiriku sendiri. Aku tidak perlu bersusah payah mencarinya,” ucap Cinta pelan dengan tersenyum.
***
Aku masih saja melayani semua wanita yang selalu saja tersenyum kepadaku.
“Nek, laris ya, cepet habis,” kataku bersemangat
“Iya, ada kamu soalnya,” jawab Nenek sambil tersenyum bahagia tentunya.
Hingga waktu aku menunduk untuk membantu Nenek membereskan semua perlengkapan agar rapi, aku melihat kaki kurus, putih, mulus, yang sangat aku kenal sepertinya berhenti di hadapanku. Aku perlahan mengangkat kepalaku.
“Kau, gawat!” batinku terkejut.
“Ternyata tidak mudah menemukanmu.” Wanita yang menawarku ada di hadapanku. Aku tidak tahu harus bagaimana.
“Cinta, siapa dia?” tanya salah satu teman yang berada di sebelahnya. Wanita itu ternyata bernama Cinta.
“Dia adalah laki-laki yang akan menghamiliku, dan memiliki anak denganku,” katanya santai sambil tersenyum aneh.
“Apa?” teriakku dengan semua temannya bersamaan. Kecuali Nenek yang masih saja diam.
Kami semua terkejut dengan perkataannya. Terutama ketiga temannya yang bersamaan menunjukkan jarinya kearahku.
Aku segera berdiri membenarkan blangkonku. Aku mengangkat Nenek, mendudukkannya di atas gerobak miliknya yang terbuka. Aku diam melirik wanita itu yang masih tersenyum aneh sambil menatapku. Nenek hanya mengernyit melihatku, sambil berpegangan kepada kedua tangan kekarku yang sudah memegang kanan kiri kayu pegangan untuk mendorong gerobak agar berjalan.
“Kemanapun kau pergi, aku akan mengejarmu, hingga kau menghamiliku!” Wanita seram itu masih menunjukkan tangannya tepat di wajahku dengan tatapan tajamnya, bercampur suaranya yang sangat keras.
“Tidak, tidak akan!” kataku tegas, membuat semua teman wanitanya masih mematung melihatku.
Aku semakin menguatkan peganganku di ujung kanan kiri gerobak ini. Aku mengatur nafasku dengan benar.
“Nek, pegangan ya! Kabur!”
Aku sekuat tenaga mendorong gerobak ini. Nenek berpegangan kuat di kedua tanganku karena roda itu berputar dengan sangat kencang.
“Tidak mungkin aku akan menghamilinya,” gerutuku sambil mengatur nafas dan masih saja terus berlari.
Aku terus berusaha kabur darinya. Nenek memegang tanganku dengan memejamkan kedua matanya.
“Duh, sudah, berhenti! Nenek bisa jantungan ini!” teriak Nenek.
Aku segera menghentikannya. Nafasku yang sangat tidak beraturan ini, kembali aku atur dengan baik.
“Maaf Nek, wanita itu seram. Dia selalu saja mengejar aku, Nek. Dia menawar kencan semalam. Aku bukan laki-laki seperti itu, Nek,” jelasku tegas.
Nenek masih juga diam memegang jantungnya yang pastinya berdetak dengan sangat kencang. “Maafkan aku, Nek. Jangan turun, aku dorong sampai di rumah!”
“Di depan kita, itu rumah Nenek. Ayo, turunkan Nenek!”
Aku sampai tidak sadar mendorong gerobak ini hingga sampai di rumah Nenek. Rumah Nenek sangat kecil. Bahkan, lebih kecil dari kamar mandiku. Aku segera membantu Nenek turun dari atas gerobak.
“Nek, ini rumah sendiri?” tanyaku sambil menatap sekitar. Rasanya sedih aku melihatnya.
“Peninggalan Bapak,” jawab Nenek singkat
Aku mengangkat semua keperluan pecel yang berada di gerobak. Kuambil semua, meletakkannya di depan kran kecil samping rumah.
“Ini dicuci, Nek?” tanyaku.
“Iya, Nak. Itu dicuci buat besuk pagi memasak lagi,” kata Nenek kemudian masuk ke dalam rumahnya.
Aku melingkiskan bajuku. Di rumahku yang super mewah seperti keraton, aku senang sekali membantu Bibi di dapur mencuci piring. Walaupun aku calon pewaris, aku selalu saja membantu melakukan pekerjaan rumah, karena sifat sederhana adalah didikan orang tuaku.
“Aku yang akan mencucinya, Nek.” Aku menarik kursi kecil, mendudukinya. Kakiku yang sangat panjang ini sangat susah membuatku nyaman. Aku sangat gerah dan berdiri kembali.
“Panas, aku belum mandi sejak kemaren sampai sekarang. Tapi untungnya tidak bau.” Aku kembali berdiri, membuka atasanku.
“Wow.”
Aku mendengar suara beberapa wanita ada di belakangku. Aku menolehkan pandanganku segera melihat mereka. “Apa? Banyak sekali wanita memandangku. Wadew, gimana ini?” Tidak aku sangka saat aku menghitungnya ada sekitar lima, enam, tujuh, wanita di belakangku, memandangku sambil tersenyum.
“Mas, aku bantuin cuci, ya.”
“Eh, aku yang bantuin.”
“Biar aku saja!”
“Aku saja!”
Aku memegang kepalaku saat melihat semua wanita ini saling tarik menarik piring Nenek. Mereka ada yang masih muda, sudah tua, ibu-ibu dengan rol di rambutnya, satunya berdaster dengan dandanan sangat menor.
“Duh, gimana ini? Mbak, Bu, maaf aku saja yang melakukan.” Tetap saja mereka tidak mendengarkan, malah masih saling berebutan membantu aku.
“Sudah, sudah, jangan ganggu cucuku! Sana, kalian pergi!”
Nenek datang mengusir mereka yang masih saja tersenyum kepadaku. Bahkan, ada yang mengedipkan salah satu matanya dengan genit. Aku menarik nafas, berdiri, dan berkacak pinggang di hadapan mereka.
“Wow, seksi,” ucap mereka bersamaan.
Tidak aku sangka mereka malah memandangku terus sambil menganga.
“Nak, kau tidak memakai atasan, bahaya. Udah masuk sana! Nenek siapkan baju bekas Bapak. Tapi, agak kekecilan, tidak apa-apa?”
“Tidak apa-apa, Nek,” jawabku sambil menatap semua ruangan rumah Nenek saat memasukinya.
Aku lupa memakai baju. Pantas saja mereka memandangku. Aku semakin lega melihat mereka akhirnya pergi. Aku masih menatap semua ruangan sempit ini. Tidak aku sangka, saat aku menikmati kehidupan mewah, Nenek sangat menderita.
“Nek, aku mau mandi. Kamar mandinya mana?”
“Di luar, lewat belakang ya, Nak.”
Aku mengambil kaos kumal dan handuk kecil yang sudah berlubang disiapkan Nenek. Sedih sekali melihatnya. Bahkan pelayanku saja handuknya sangat bagus. Aku segera membawanya, membuka pintu belakang. Aku terkejut melihat sumur kecil yang hanya ditutupi bambu-bambu rusak dan reyot. Bahkan saat aku berdiri di tengahnya, hanya sebatas pundakku.
“Bagaimana aku mandinya? Bisa gawat kalau ada yang melihat.” Aku menimba air di dalam sumur, segera mengguyurkan di semua tubuhku yang sangat gerah.
“Seger banget.”
Aku menikmati semua air dalam sumur kecil ini hingga aku menolehkan pandanganku ke samping, "Argh!" Seorang wanita memandangku, kami sama-sama berteriak. Aku segera meraih handuk yang aku selampirkan di pembatas bambu bersama bajuku, segera menutupi bagian bawah tubuhku. "Untung aku tidak melepas celanaku." Aku segera masuk ke dalam rumah sambil memegang jantungku yang mau copot akibat terkejut.
“Kenapa, Nak?” tanya Nenek.
“Ada wanita lihat aku mandi, Nek. Namaku Agus, Nek.”
“Oh, itu anaknya Pak RT. Gawat ini, Agus.”
“Hah, gawat gimana, Nek?”
Seseorang datang tidak berselang lama setelah aku bertemu wanita tadi, mengetuk pintu rumah Nenek. Aku segera berlari ke dalam kamar, memakai pakaian yang sudah disiapkan Nenek. Kaos berwarna putih yang sangat tipis, dan kekecilan di tubuhku hingga terlihat sangat ketat.“Banyak sekali lubang. Tapi tidak apa-apa, yang penting punya baju,” gumamku segera memakainya dan keluar kamar.“Nenek Suri, keluarlah!” Laki-laki memakai peci, dengan kumis tipis menghiasi wajahnya, yang sepertinya adalah Pak RT. Dia segera masuk ke dalam rumah saat Nenek membuka pintu."Nenek yang membantuku ternyata namanya Suri,” batinku segera berdiri di sebelah Nenek.Laki-laki itu menatapku heran. Dia pasti akan segera mengatakan sesuatu yang membuat perasaanku sangat tidak enak."Nenek, tadi anakku Rahayu pulang ke rumah dengan menangis. Katanya dia melihat laki-laki yang sudah membuka baju di hadapannya. Apa itu dia?” Aku terkejut melih
Aku tidak percaya mendengar apa yang Pak RT mata duitan itu katakan. Aku harus membayar dua kali lipat hanya gara-gara Ayu menangis. Dan aku sendiri tidak tahu kenapa.“Nek, kenapa laki-laki seperti itu terpilih menjadi Pak RT sih, Nek?” tanyaku lemas.Aku masih berpikir dari mana aku bisa mendapatkan uang dua juta itu. Jam tanganku yang harganya ratusan juta saja tidak laku. Apalagi ditambah dengan uang dua juta.“Sudah, jangan kau pikirkan perkataan Pak RT. Dia memang mata duitan. Kerjaannya selalu saja menarik iuran tidak jelas. Tapi, entah kenapa semua warga selalu percaya kepadanya. Mungkin karena dia paling kaya di kampung ini.”“Nanti akan aku balas, Pak RT,” kataku sangat kesal dengannya.“Kamu sebaiknya tidur saja sekarang! Besuk, antar Nenek jualan pecel lagi biar laris.”“Iya, Nek. Tapi, aku mau mencari udara segar dulu. Aku mau menenangkan pikiranku.”“Baikl
Aku semakin tidak mengerti dengan Cinta. Biasanya, laki-laki yang memaksa wanita. Ini lha kok malah wanitanya yang sangat menakutkan. Terlebih lagi, kepemilikanku yang masih berdiri tegang seperti ini. Entahlah aku tadi diberikan minuman jenis apa, sampai aku sangat panas seperti ini.“Mbak, aku tidak bisa. Duh, aku mau pakai pakaian apa ini?”Aku menutup milikku dengan kedua tangan, masih di atas ranjang. Cinta di atas tubuhku, semakin menggodaku. Dia mencoba membuka tanganku yang aku tahan.“Agus, jika kau tidak membukanya, aku akan berteriak hingga semua orang datang, dan aku akan bilang, saya dilecehkan pemuda yang sangat tinggi besar.”“Loh, jangan Mbak! Aku akan mengelak. Mereka tidak akan percaya. Aku akan bilang Mbak yang menjebakku.”“Hahaha, mereka mempercayai gadis kecil cantik seperti diriku, atau dirimu pemuda yang sangat kuat dan tinggi. Mana mungkin aku sekecil ini melecehkan laki-laki besar
Aku semakin memandang wajah cantik mungil menggemaskan di hadapanku ini. Rasanya aku sudah tidak bisa lepas dari Cinta. Ini sudah sangat membuatku kebingungan. Aku menghela nafas, memainkan jariku di wajah cantik Cinta mengikuti polanya. Dia terpejam menikmati sentuhan lembutku. Aku tersenyum, tanpa sadar mendekatkan keningku hingga hidung lancipnya mengenai ujung hidungku.“Agus, aku mau lagi,” ucapnya manja.“Cinta, jangan ya! Kita menikah dulu saja, agar sah,” jawabku yang sepertinya tidak memuaskannya. Dia memasang wajah cemberut hingga bibirnya menyamping. Kedua matanya menyipit. Aku masih saja menatap kedua bola mata Cinta yang akan menusukku. Bagaimanapun juga aku tidak akan mengambil keuntungan dalam hal ini.“Agus, kalau kamu tidak mau melakukannya lagi, aku yang akan memaksa,” ancam Cinta tiba-tiba. Aku segera melotot dan menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, tidak, jangan Cinta!” balasku tegas.
Semua wanita di kampung ini membawa sebuah mangkok berisi makanan. Tidak heran jika semua warga laki-laki semakin menatap kebencian kepadaku. Aku mengangkat wajah dan melihat semua warga yang berdiri di depan rumah Nenek dengan kemarahan. Lebih parahnya lagi, salah satu wanita muda menghampiriku.“Mas Agus, ini aku bawakan sayur asem dengan ikan goreng lengkap bercampur sambal, khusus untuk mas ganteng,” katanya genit sambil mencoel daguku dengan jari manisnya. Parahnya, dia mengedip-kedipkan kedua matanya sambil tersenyum menggoda. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini.Aku masih memaksakan seulas senyuman di wajahku. Kejadian ini masih membuatku panik. “Nenek, aku tidak tahu apa-apa ini, Nek?” bisikku.“Sudah, jangan kawatir, ada Nenek,” perkataan Nenek yang masih tidak membuatku tenang. Pandangan tajam Rian tidak pernah lepas dariku. Aku seperti akan ditelannya mentah-mentah.“Agus! Dia, tidak salah lag
“Nek, tolong!”“Sabar, Nenek juga bingung,” jawab Nenek menatap semua arah mencari cara.Semua warga sepertinya senang melihatku akan menikahi Ayu kecuali Rian. Dia berbicara dengan Pak RT memohon agar membatalkan pernikahan ini. Tapi, Pak RT masih diam tidak menghiraukan Rian karena kebingungan melihat Ayu yang sangat ngotot ingin menikah denganku. Aku terus mengamati jam dinding yang sangat lambat berputar. Semoga saja Rian bisa membuat Pak RT membatalkannya.“Rahman, kamu kemana?” batinku terus gelisah.Ayu semakin mengeratkan kedua tangannya di lenganku. Bagaimanapun juga, aku tidak akan menikahi Ayu. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Nenek masih memperlihatkan wajah resah ikut kebingungan. Otakku terus berpikir di kepalaku yang sangat cerdas ini. Pak RT yang sangat mata duitan itu tidak mungkin mau menikahkan anak satu-satunya dengan gelandangan seperti diriku.“Aha!” Aku mendapatkan ide cemerlan
Aku menatap Ibu yang sudah lemas di pundak kedua adik kembarku. Tidak aku sangka, mereka akan berpikiran seperti itu. Aku segera mendekati Rahman yang dengan sangat santai menatapku tanpa rasa bersalah.“Man, kamu itu ngomong apa? Lihatlah Ibu, sampai pingsan kayak begitu!” kataku pelan dengan tegas. Rahman malah terkekeh hingga pundaknya bergerak. Tidak aku percaya, Rahman menganggap hal ini tidak serius. Kakiku dengan segera melangkah menuju Bapak yang sepertinya marah kepadaku.“Bapak, selama aku berada di Jakarta, Nenek Suri yang merawat dan membantuku. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan dia sendirian tinggal di sana. Aku memutuskan untuk mengajak Nenek tinggal bersamaku di sini.”Penjelasan yang aku berikan akhirnya membuat Bapak tersenyum, segera mengulurkan tangan kanan kepada Nenek Suri untuk bersalaman.“Terima kasih sudah menolong anakku, Agus. Kami berhutang budi kepada Nenek,” kata Bapak tersenyum ramah.
“Cinta …,” lirihku masih terus memanggilnya. Tapi, aku tidak akan menyerah dengan ini semua. Aku akan terus berusaha melarikan diri dari kamar ini dan segera menemui Cinta, bagaimanapun caranya.“Baiklah, akan aku dobrak kamar ini!”“Buk!”“Aduh, badanku remuk. Mana mungkin aku bisa membukannya,” gumamku duduk di atas ranjang super mewah dan besar berukuran king size ini.“Cinta, aku menyerah. Aku akan terus mencarimu, apapun kondisiku. Walaupun jika nantinya istriku pasti juga akan membunuhku dengan seluruh keluargaku,” batinku dengan resah hingga aku merebahkan tubuhku dan terlelap.“Cinta …”***Cinta masih saja diam tidak percaya akan segera pergi menuju Jogjakarta dan melangsungkan pernikahannya. Dia bersama dengan orang tuanya menaiki pesawat pribadi segera datang di rumah neneknya yang sangat mewah dengan ukiran khas keraton.R