Seseorang datang tidak berselang lama setelah aku bertemu wanita tadi, mengetuk pintu rumah Nenek. Aku segera berlari ke dalam kamar, memakai pakaian yang sudah disiapkan Nenek. Kaos berwarna putih yang sangat tipis, dan kekecilan di tubuhku hingga terlihat sangat ketat.
“Banyak sekali lubang. Tapi tidak apa-apa, yang penting punya baju,” gumamku segera memakainya dan keluar kamar.
“Nenek Suri, keluarlah!” Laki-laki memakai peci, dengan kumis tipis menghiasi wajahnya, yang sepertinya adalah Pak RT. Dia segera masuk ke dalam rumah saat Nenek membuka pintu.
"Nenek yang membantuku ternyata namanya Suri,” batinku segera berdiri di sebelah Nenek.
Laki-laki itu menatapku heran. Dia pasti akan segera mengatakan sesuatu yang membuat perasaanku sangat tidak enak.
"Nenek, tadi anakku Rahayu pulang ke rumah dengan menangis. Katanya dia melihat laki-laki yang sudah membuka baju di hadapannya. Apa itu dia?” Aku terkejut melihatnya menunjukkan tangannya kearahku, hingga aku menunjukkan jariku sendiri ketubuhku. “Aku?” tanyaku cemas.
“Yah, kamu. Sekarang, jelaskan! Apa kamu tidak tahu jika aku adalah Pak RT di kampung ini?!” bentaknya keras.
"Sudah aku duga, dia adalah Pak RT," batinku meliriknya kesal.
“Pak, saya tadi mandi, dan Rahayu ada di sana. Aku tidak sengaja,” protesku dengan sangat kesal.
“Aku tidak mau tahu, kau harus mengganti rugi!” bentak Pak RT dengan kencang.
“Ini Pak RT kok mata duitan sih? Kenapa bisa begitu, Pak?” Aku masih saja protes dan kami saling menatap tajam.
“Udah, tidak apa-apa. Ini Pak, tiga ratus ribu.” Nenek menyerahkan uang dari hasil menjual pecel. Tidak bisa aku biarkan.
“Aku akan bayar besuk satu juta,” jawabku yang membuatnya terkejut. Nenek spontan melirikku.
“Dari mana uangmu?” tanya Nenek sambil berbisik.
“Aku punya jam tangan Nek. Tenang aja,” balasku.
“Besuk aku bayar segera!” ucapku tegas.
“Baiklah. Jika tidak bisa, kau harus membayarnya di penjara.”
“Loh!”
Aku semakin kebingungan melihat Pak RT marah di hadapanku, apalagi akan memasukkanku di dalam penjara. Dia dalam keadaan kesal keluar dari rumah dengan semua warga yang mengikutinya. Tapi, ada beberapa warga yang masih saja tinggal di tempat memandangku. Aku menjadi salah tingkah kembali. Semua wanita ada di sebelahku sambil menarik tanganku ke kanan, kemudian ke kiri.
“Loh, jangan ditarik-tarik, Mbak!” Aku semakin kebingungan.
“Udah Mas, tidak apa-apa, nanti aku yang bayari Pak RT.” Salah satu wanita dengan memakai daster merah menyala menarikku ke kanan.
“Eh, aku aja yang bayari. Ama aku aja, Mas.” Satu lagi, wanita dengan rol yang masih terpasang di seluruh kepalanya dengan baju putih, dan satu lagi wanita dengan wajah yang dipenuhi masker putih terlihat mengerikan, menarikku ke kiri.
Aku malah bingung melihat semua wanita tua, muda, memperebutkan aku. “Sudah, sudah, kalian semua pergi! Aku mau ada perlu,” rontaan yang aku lakukan, masih saja tidak membuat mereka kabur.
Nenek Suri menarik semua wanita yang ada di hadapanku, dan membuat mereka keluar dari rumah. “Kalian ini, kan sudah punya suami. Apa tidak tahu malu memperebutkan cucuku?!”
“Brak!”
Nenek menutup pintu rumah dengan rapat.
“Udah, jangan keluar dulu!” perintah Nenek.
Aku membuka tirai jendela untuk melihat di depan rumah. Aku terkejut melihat ada beberapa pemuda yang sepertinya menungguku. Mereka terlihat sangat marah. Aku segera menutup kembali tirai jendela rumah Nenek.
“Nek, aku harus jual jam tanganku untuk membayar semua, sekaligus membantu Nenek.”
“Tapi, kalau ada apa-apa sama kamu gimana, Gus?” tanya Nenek resah.
“Udah, aku tidak akan ada apa-apa. Agus pergi dulu ya, Nek.”
“Ya udah, hati-hati. Dia itu yang berada di atas motor namanya Rian. Dia suka dengan anaknya Pak RT yang bernama Rahayu, dan biasa dipanggil Ayu. Kamu hati-hati, ya!” ucap Nenek saat kembali membuka tirai dan menjelaskan siapa pemuda yang berada di depan rumah.
Aku menarik nafas, tidak tahu akan bersikap bagaimana bertemu dengan Rian dan teman-temannya yang sepertinya akan menghabisiku. Nekad saja aku keluar dari rumah Nenek. Aku perlahan membuka pintu. Aku menutupnya kembali. Memang benar, saat aku mulai berjalan dan melewatinya, mereka menghadangku.
“Miskin, mau macam-macam dengan Rahayu? Dia itu milikku!” Rian mendorongku, dan aku segera menahannya. Tingginya hanya sebatas telingaku. Tapi, semua temannya sudah membawa kayu berjumlah lima orang. Mereka mulai mengangkatnya untuk menyerangku.
“Aku tidak kenal Rahayu, dan aku tidak ada hubungan apapun juga dengannya,” kataku sambil menatap mereka dengan garang. Aku memang terlihat sabar dan kalem. Tapi, aku laki-laki yang juga bisa berkelahi. Padahal kata Ibu, aku tidak boleh berkelahi. “Wes, maafkan aku Ibu, aku sudah melanggar sumpahku,” gumamku.
“Kau, maunya apa?” tanyaku tegas sambil menunjuk Rian.
“Kalau aku sampai tahu kau mendekati Rahayu, kau akan tahu akibatnya. Cabut!”
Syukurlah Rian pergi dengan teman-temannya. Mereka menaiki motor persis kayak geng motor melesat dengan kencang. Aku diam memandang mereka. Namun, seperti biasa, semua wanita di kampung ini berlari mau mendekatiku.
“Lari!" Aku langsung kabur.
“Mas Agus, tunggu!” teriak mereka bersahut-sahutan.
Aku berlari cepat menghindari semua wanita itu. Nafasku kembali tidak karuan. Aku terus berjalan mencari tempat untuk menjual jam tanganku yang aku beli ratusan juta. Aku menatap ke semua arah.
“Kemana ya, aku akan menjual jam tangan ini?”
Aku masih mengamati semua jalanan, hingga aku menemukan pasar kecil. Aku segera berlari menuju ke sana. Sebuah toko kecil yang sangat cocok dengan apa yang aku cari, ada di pojok pasar. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju toko itu.
“Pak, aku mau jual jam tangan. Ini barangnya.” Aku segera menunjukkan jam tanganku, menunggu orang itu melihatnya.
“Satu juta.”
“Apa?”
Tidak aku percaya dia hanya membelinya satu juta. “Pak itu barang asli, dan Bapak bisa memeriksanya. Kok satu juta?” protesku kesal.
“Mas, mana bisa pasar kecil begini aku beli barang mahal. Sudah, satu setengah juta. Kalau tidak mau ya udah!”
Mana mungkin dia hanya membelinya seharga sandal jepitku. “Ya sudah, daripada aku tidak bisa membayar Pak RT mata duitan itu dan masuk penjara,” ucapku lemas.
Aku menerima uang itu dengan berat. Segera kutinggalkan toko itu setelah menerimanya. Aku berjalan, sambil menghitung uang yang aku terima. Kupegang dengan hati-hati uang ini, agar tidak ada yang mengambilnya.
“Serahkan!”
Baru saja aku membatin, seorang laki-laki sudah menyodorkan pisau kecil di hadapanku.
“Tidak akan!”
“Kalau begitu, kau akan aku hajar!”
Aku segera memukul wajahnya dengan cepat. Saat dia menunduk akibat pukulanku, tangan kananku memukul hidungnya hingga berdarah. Dia segera menampis tanganku. Tapi, tangan kiriku kembali memukul wajahnya, ditambah tendanganku yang sangat luar biasa mengenai perutnya.
"Buk!"
Akhirnya aku bisa menang. “Yes, aku aman,” teriakku girang sambil melompat.
Dia tergeletak di tanah. Tapi, di depanku dengan tiba-tiba ada lima orang temannya yang akan menghabisiku juga. “Duh, aku harus kabur,” batinku kebingungan melihat semua arah.
Aku segera membalikkan tubuhku dan, “Buk!" Aku menabrak beberapa pria setinggi tubuhku, dengan memakai jas hitam yang berada tepat di hadapanku. Mereka mengulurkan senjata api, membuat semua preman itu kabur.
“Kalian anak buahnya mbak Cinta?” tanyaku terkejut.
“Mbak, mbak, aku bukan mbakmu, dasar!” teriak Cinta datang tiba-tiba.
“Duh, gawat ini,” batinku sambil menarik nafas panjang, dan memikirkan cara untuk kabur yang tidak mungkin bisa aku lakukan, karena pengawal Cinta sangat banyak.
“Kenapa? Bingung mau kabur?” kata Cinta sadis.
“Ndak, Mbak,” jawabku pasrah.
“Hah, sudahlah. Ikut aku!”
“Kemana, Mbak?”
“Antar kamu pulang.”
Aku masih menahan kakiku untuk melangkah ke dalam mobilnya. Tapi, sepertinya kali ini aku harus menerimanya, daripada nanti ada perampok lagi dan aku bisa kehilangan uang. Lalu, masuk penjara gara-gara tidak bisa membayar tagihan kepada Pak RT yang mata duitan itu.
Di dalam mobil aku segera memalingkan wajahku. Wanita itu masih saja menatapku dengan terang-terangan. Aku semakin salah tingkah.
“Kenapa melihatku terus, Mbak? Aku jadinya salah tingkah ini,” ucapku pelan.
“Aku sudah bilang, aku bukan mbakmu! Aku suka melihatmu, kenapa?” jawabnya semakin membuatku takut.
“Kok ada wanita nekad kayak gitu? Benar-benar jauh dari kriteriaku,” batinku sambil sedikit meliriknya.
Sampailah aku di depan rumah Nenek. “Loh, kok tahu di mana aku tinggal, Mbak?” Aku tidak menyangka dia akan mengikutiku sampai sejauh ini. Namun, pandanganku tertuju pada Rian dan semua temannya yang kemungkinan sudah menungguku. Aku keluar perlahan dari mobil Cinta. Rian dan semua temannya menatapku sangat aneh.
“Hmm, ga punya uang sekarang ama tante-tante?” ucap Rian yang membuatku sangat emosi.
“Jaga mulutmu!” balasku tegas.
“Kau tahu, Ayu mengantar kue buatmu, dan aku sangat yakin jika kau pasti adalah kekasihnya!” bentak Rian sambil mendorong tubuhku.
Aku segera menampisnya. “Aku bukan pacar Ayu!” balasku semakin membuat Rian sangat marah. Dan yang lebih parah, Ayu keluar dari rumah Nenek tersenyum kearahku malu-malu.
“Mas Agus jangan diganggu! Kita sudah berhubungan, Rian.” Ayu semakin membuat masalah menjadi sangat rumit. Jika Ayu membelaku, aku akan semakin mendapat masalah.
“Mbak, maafkan aku! Kita tidak mempunyai hubungan, jadi jangan membelaku,” pintaku pelan.
“Tapi, kita bukannya saling menyukai?”
“Hah, sejak kapan, Mbak?”
“Sejak kita di belakang tidak sengaja bertemu. Bukannya jika melihat tubuh Mas, berarti kita pacaran?”
“Apa?” Tidak mungkin Ayu tiba-tiba mengatakan hal itu. Aku semakin kebingungan.
“Aku akan memukulmu, dasar laki-laki penggoda!”
Rian akan melayangkan pukulannya, dan kedua temannya sudah memegangi tangan kanan kiriku agar aku tidak bisa melawan mereka. Ayu menarik Rian, namun gagal. Dia malah menampis Ayu hingga terjatuh. Aku sangat kesal melihatnya.
“Cukup, hentikan semua!”
Kami semua sangat terkejut melihat Cinta keluar dari mobilnya. “Lepaskan calon ayah anakku! Atau, semua pengawalku ini akan menghabisi kalian!”
Tidak mungkin Cinta mengatakan itu kepada semua orang. Dia berjalan menghampiriku. “Kau, milikku. A-gus,” katanya pelan sambil berbisik. Cinta memegang kedua pipiku, kemudian menarikku.
“Hah, dia menciumku kembali!”
Semua mata memandangku. Terutama para wanita di kampung ini yang sepertinya akan menangis kecewa karena aku sudah dicium Cinta. Tapi, kenapa aku tidak segera melepas bibirnya?
“Mbak, sudah ya! Jangan melakukan seperti ini di depan semua orang. Nanti, akan terjadi salah paham.” Penjelasan yang membuat Cinta tidak mendengarku dengan serius. Dia malah menarikku dan berbisik.
“Nanti, aku akan membawamu ke apartemen milikku, Agus.”
“Hah?”
Cinta masuk ke dalam mobil, dan pergi bersama dengan semua pengawalnya. Aku masih diam terpaku. Nenek berjalan mendekatiku, berdiri di sebelahku. “Dia sangat cocok denganmu,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tidak mungkin, Nek. Tidak sesuai dengan kriteriaku,” jawabku lemas sambil memandangnya, hingga Cinta berlalu dengan mobil mewahnya.
“Ayo Nek, masuk ke dalam!” Kami segera masuk kembali ke dalam rumah, karena semua mata memandang kami. Tapi, Pak RT menghalangi kami.
“Tunggu!” cegahnya.
Aku bersama Nenek menolehkan pandangan bersamaan kepada Pak RT.
“Kau harus membayar dua kali lipat. Dua juta!” teriaknya sambil menunjukku.
“Loh, kenapa mata duitan begini? Tidak bisa dijadikan panutan warga. Pak, kenapa harus menaikkan hutangku?” tanyaku protes.
“Karena kau membuat Ayu menangis.”
“Loh?”
Aku tidak percaya mendengar apa yang Pak RT mata duitan itu katakan. Aku harus membayar dua kali lipat hanya gara-gara Ayu menangis. Dan aku sendiri tidak tahu kenapa.“Nek, kenapa laki-laki seperti itu terpilih menjadi Pak RT sih, Nek?” tanyaku lemas.Aku masih berpikir dari mana aku bisa mendapatkan uang dua juta itu. Jam tanganku yang harganya ratusan juta saja tidak laku. Apalagi ditambah dengan uang dua juta.“Sudah, jangan kau pikirkan perkataan Pak RT. Dia memang mata duitan. Kerjaannya selalu saja menarik iuran tidak jelas. Tapi, entah kenapa semua warga selalu percaya kepadanya. Mungkin karena dia paling kaya di kampung ini.”“Nanti akan aku balas, Pak RT,” kataku sangat kesal dengannya.“Kamu sebaiknya tidur saja sekarang! Besuk, antar Nenek jualan pecel lagi biar laris.”“Iya, Nek. Tapi, aku mau mencari udara segar dulu. Aku mau menenangkan pikiranku.”“Baikl
Aku semakin tidak mengerti dengan Cinta. Biasanya, laki-laki yang memaksa wanita. Ini lha kok malah wanitanya yang sangat menakutkan. Terlebih lagi, kepemilikanku yang masih berdiri tegang seperti ini. Entahlah aku tadi diberikan minuman jenis apa, sampai aku sangat panas seperti ini.“Mbak, aku tidak bisa. Duh, aku mau pakai pakaian apa ini?”Aku menutup milikku dengan kedua tangan, masih di atas ranjang. Cinta di atas tubuhku, semakin menggodaku. Dia mencoba membuka tanganku yang aku tahan.“Agus, jika kau tidak membukanya, aku akan berteriak hingga semua orang datang, dan aku akan bilang, saya dilecehkan pemuda yang sangat tinggi besar.”“Loh, jangan Mbak! Aku akan mengelak. Mereka tidak akan percaya. Aku akan bilang Mbak yang menjebakku.”“Hahaha, mereka mempercayai gadis kecil cantik seperti diriku, atau dirimu pemuda yang sangat kuat dan tinggi. Mana mungkin aku sekecil ini melecehkan laki-laki besar
Aku semakin memandang wajah cantik mungil menggemaskan di hadapanku ini. Rasanya aku sudah tidak bisa lepas dari Cinta. Ini sudah sangat membuatku kebingungan. Aku menghela nafas, memainkan jariku di wajah cantik Cinta mengikuti polanya. Dia terpejam menikmati sentuhan lembutku. Aku tersenyum, tanpa sadar mendekatkan keningku hingga hidung lancipnya mengenai ujung hidungku.“Agus, aku mau lagi,” ucapnya manja.“Cinta, jangan ya! Kita menikah dulu saja, agar sah,” jawabku yang sepertinya tidak memuaskannya. Dia memasang wajah cemberut hingga bibirnya menyamping. Kedua matanya menyipit. Aku masih saja menatap kedua bola mata Cinta yang akan menusukku. Bagaimanapun juga aku tidak akan mengambil keuntungan dalam hal ini.“Agus, kalau kamu tidak mau melakukannya lagi, aku yang akan memaksa,” ancam Cinta tiba-tiba. Aku segera melotot dan menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, tidak, jangan Cinta!” balasku tegas.
Semua wanita di kampung ini membawa sebuah mangkok berisi makanan. Tidak heran jika semua warga laki-laki semakin menatap kebencian kepadaku. Aku mengangkat wajah dan melihat semua warga yang berdiri di depan rumah Nenek dengan kemarahan. Lebih parahnya lagi, salah satu wanita muda menghampiriku.“Mas Agus, ini aku bawakan sayur asem dengan ikan goreng lengkap bercampur sambal, khusus untuk mas ganteng,” katanya genit sambil mencoel daguku dengan jari manisnya. Parahnya, dia mengedip-kedipkan kedua matanya sambil tersenyum menggoda. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini.Aku masih memaksakan seulas senyuman di wajahku. Kejadian ini masih membuatku panik. “Nenek, aku tidak tahu apa-apa ini, Nek?” bisikku.“Sudah, jangan kawatir, ada Nenek,” perkataan Nenek yang masih tidak membuatku tenang. Pandangan tajam Rian tidak pernah lepas dariku. Aku seperti akan ditelannya mentah-mentah.“Agus! Dia, tidak salah lag
“Nek, tolong!”“Sabar, Nenek juga bingung,” jawab Nenek menatap semua arah mencari cara.Semua warga sepertinya senang melihatku akan menikahi Ayu kecuali Rian. Dia berbicara dengan Pak RT memohon agar membatalkan pernikahan ini. Tapi, Pak RT masih diam tidak menghiraukan Rian karena kebingungan melihat Ayu yang sangat ngotot ingin menikah denganku. Aku terus mengamati jam dinding yang sangat lambat berputar. Semoga saja Rian bisa membuat Pak RT membatalkannya.“Rahman, kamu kemana?” batinku terus gelisah.Ayu semakin mengeratkan kedua tangannya di lenganku. Bagaimanapun juga, aku tidak akan menikahi Ayu. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Nenek masih memperlihatkan wajah resah ikut kebingungan. Otakku terus berpikir di kepalaku yang sangat cerdas ini. Pak RT yang sangat mata duitan itu tidak mungkin mau menikahkan anak satu-satunya dengan gelandangan seperti diriku.“Aha!” Aku mendapatkan ide cemerlan
Aku menatap Ibu yang sudah lemas di pundak kedua adik kembarku. Tidak aku sangka, mereka akan berpikiran seperti itu. Aku segera mendekati Rahman yang dengan sangat santai menatapku tanpa rasa bersalah.“Man, kamu itu ngomong apa? Lihatlah Ibu, sampai pingsan kayak begitu!” kataku pelan dengan tegas. Rahman malah terkekeh hingga pundaknya bergerak. Tidak aku percaya, Rahman menganggap hal ini tidak serius. Kakiku dengan segera melangkah menuju Bapak yang sepertinya marah kepadaku.“Bapak, selama aku berada di Jakarta, Nenek Suri yang merawat dan membantuku. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan dia sendirian tinggal di sana. Aku memutuskan untuk mengajak Nenek tinggal bersamaku di sini.”Penjelasan yang aku berikan akhirnya membuat Bapak tersenyum, segera mengulurkan tangan kanan kepada Nenek Suri untuk bersalaman.“Terima kasih sudah menolong anakku, Agus. Kami berhutang budi kepada Nenek,” kata Bapak tersenyum ramah.
“Cinta …,” lirihku masih terus memanggilnya. Tapi, aku tidak akan menyerah dengan ini semua. Aku akan terus berusaha melarikan diri dari kamar ini dan segera menemui Cinta, bagaimanapun caranya.“Baiklah, akan aku dobrak kamar ini!”“Buk!”“Aduh, badanku remuk. Mana mungkin aku bisa membukannya,” gumamku duduk di atas ranjang super mewah dan besar berukuran king size ini.“Cinta, aku menyerah. Aku akan terus mencarimu, apapun kondisiku. Walaupun jika nantinya istriku pasti juga akan membunuhku dengan seluruh keluargaku,” batinku dengan resah hingga aku merebahkan tubuhku dan terlelap.“Cinta …”***Cinta masih saja diam tidak percaya akan segera pergi menuju Jogjakarta dan melangsungkan pernikahannya. Dia bersama dengan orang tuanya menaiki pesawat pribadi segera datang di rumah neneknya yang sangat mewah dengan ukiran khas keraton.R
Tidak bisa aku percaya dengan apa yang aku lihat. Ternyata Cinta adalah wanita yang dijodohkan Bapak denganku.“Ngung …”Mikrofon yang aku pegang terjatuh tiba-tiba dari tanganku saat aku terkejut.“Gus, kamu jangan melotot melihat pengantin wanita. Dia memang sangat cantik. Tapi, tahan sampai nanti malam, Gus,” bisik Rahman yang berada di sebelahku.“Dia wanita itu, Man,” balasku membuat Rahman tidak mengerti.“Opo, maksudmu, Gus?”“Cinta itu, Man. Ternyata calon istriku. Wanita yang ada di jembatan dan sudah aku nodai,” kataku membuat Rahman, “Opo?!” Dia bertanya dengan sangat keras hingga semua tamu undangan dan para keluarga saling memandang.“Gus, kamu jangan ngawur!” ucap Rahman semakin mendekatiku sambil melirik semua tamu yang kebingungan melihat aku dan Cinta.“Hust, kalian ini kenapa?” Bapak menegur kami dan