Aku semakin tidak mengerti dengan Cinta. Biasanya, laki-laki yang memaksa wanita. Ini lha kok malah wanitanya yang sangat menakutkan. Terlebih lagi, kepemilikanku yang masih berdiri tegang seperti ini. Entahlah aku tadi diberikan minuman jenis apa, sampai aku sangat panas seperti ini.
“Mbak, aku tidak bisa. Duh, aku mau pakai pakaian apa ini?”
Aku menutup milikku dengan kedua tangan, masih di atas ranjang. Cinta di atas tubuhku, semakin menggodaku. Dia mencoba membuka tanganku yang aku tahan.
“Agus, jika kau tidak membukanya, aku akan berteriak hingga semua orang datang, dan aku akan bilang, saya dilecehkan pemuda yang sangat tinggi besar.”
“Loh, jangan Mbak! Aku akan mengelak. Mereka tidak akan percaya. Aku akan bilang Mbak yang menjebakku.”
“Hahaha, mereka mempercayai gadis kecil cantik seperti diriku, atau dirimu pemuda yang sangat kuat dan tinggi. Mana mungkin aku sekecil ini melecehkan laki-laki besar
Aku semakin memandang wajah cantik mungil menggemaskan di hadapanku ini. Rasanya aku sudah tidak bisa lepas dari Cinta. Ini sudah sangat membuatku kebingungan. Aku menghela nafas, memainkan jariku di wajah cantik Cinta mengikuti polanya. Dia terpejam menikmati sentuhan lembutku. Aku tersenyum, tanpa sadar mendekatkan keningku hingga hidung lancipnya mengenai ujung hidungku.“Agus, aku mau lagi,” ucapnya manja.“Cinta, jangan ya! Kita menikah dulu saja, agar sah,” jawabku yang sepertinya tidak memuaskannya. Dia memasang wajah cemberut hingga bibirnya menyamping. Kedua matanya menyipit. Aku masih saja menatap kedua bola mata Cinta yang akan menusukku. Bagaimanapun juga aku tidak akan mengambil keuntungan dalam hal ini.“Agus, kalau kamu tidak mau melakukannya lagi, aku yang akan memaksa,” ancam Cinta tiba-tiba. Aku segera melotot dan menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, tidak, jangan Cinta!” balasku tegas.
Semua wanita di kampung ini membawa sebuah mangkok berisi makanan. Tidak heran jika semua warga laki-laki semakin menatap kebencian kepadaku. Aku mengangkat wajah dan melihat semua warga yang berdiri di depan rumah Nenek dengan kemarahan. Lebih parahnya lagi, salah satu wanita muda menghampiriku.“Mas Agus, ini aku bawakan sayur asem dengan ikan goreng lengkap bercampur sambal, khusus untuk mas ganteng,” katanya genit sambil mencoel daguku dengan jari manisnya. Parahnya, dia mengedip-kedipkan kedua matanya sambil tersenyum menggoda. Aku semakin tidak mengerti dengan situasi ini.Aku masih memaksakan seulas senyuman di wajahku. Kejadian ini masih membuatku panik. “Nenek, aku tidak tahu apa-apa ini, Nek?” bisikku.“Sudah, jangan kawatir, ada Nenek,” perkataan Nenek yang masih tidak membuatku tenang. Pandangan tajam Rian tidak pernah lepas dariku. Aku seperti akan ditelannya mentah-mentah.“Agus! Dia, tidak salah lag
“Nek, tolong!”“Sabar, Nenek juga bingung,” jawab Nenek menatap semua arah mencari cara.Semua warga sepertinya senang melihatku akan menikahi Ayu kecuali Rian. Dia berbicara dengan Pak RT memohon agar membatalkan pernikahan ini. Tapi, Pak RT masih diam tidak menghiraukan Rian karena kebingungan melihat Ayu yang sangat ngotot ingin menikah denganku. Aku terus mengamati jam dinding yang sangat lambat berputar. Semoga saja Rian bisa membuat Pak RT membatalkannya.“Rahman, kamu kemana?” batinku terus gelisah.Ayu semakin mengeratkan kedua tangannya di lenganku. Bagaimanapun juga, aku tidak akan menikahi Ayu. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Nenek masih memperlihatkan wajah resah ikut kebingungan. Otakku terus berpikir di kepalaku yang sangat cerdas ini. Pak RT yang sangat mata duitan itu tidak mungkin mau menikahkan anak satu-satunya dengan gelandangan seperti diriku.“Aha!” Aku mendapatkan ide cemerlan
Aku menatap Ibu yang sudah lemas di pundak kedua adik kembarku. Tidak aku sangka, mereka akan berpikiran seperti itu. Aku segera mendekati Rahman yang dengan sangat santai menatapku tanpa rasa bersalah.“Man, kamu itu ngomong apa? Lihatlah Ibu, sampai pingsan kayak begitu!” kataku pelan dengan tegas. Rahman malah terkekeh hingga pundaknya bergerak. Tidak aku percaya, Rahman menganggap hal ini tidak serius. Kakiku dengan segera melangkah menuju Bapak yang sepertinya marah kepadaku.“Bapak, selama aku berada di Jakarta, Nenek Suri yang merawat dan membantuku. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan dia sendirian tinggal di sana. Aku memutuskan untuk mengajak Nenek tinggal bersamaku di sini.”Penjelasan yang aku berikan akhirnya membuat Bapak tersenyum, segera mengulurkan tangan kanan kepada Nenek Suri untuk bersalaman.“Terima kasih sudah menolong anakku, Agus. Kami berhutang budi kepada Nenek,” kata Bapak tersenyum ramah.
“Cinta …,” lirihku masih terus memanggilnya. Tapi, aku tidak akan menyerah dengan ini semua. Aku akan terus berusaha melarikan diri dari kamar ini dan segera menemui Cinta, bagaimanapun caranya.“Baiklah, akan aku dobrak kamar ini!”“Buk!”“Aduh, badanku remuk. Mana mungkin aku bisa membukannya,” gumamku duduk di atas ranjang super mewah dan besar berukuran king size ini.“Cinta, aku menyerah. Aku akan terus mencarimu, apapun kondisiku. Walaupun jika nantinya istriku pasti juga akan membunuhku dengan seluruh keluargaku,” batinku dengan resah hingga aku merebahkan tubuhku dan terlelap.“Cinta …”***Cinta masih saja diam tidak percaya akan segera pergi menuju Jogjakarta dan melangsungkan pernikahannya. Dia bersama dengan orang tuanya menaiki pesawat pribadi segera datang di rumah neneknya yang sangat mewah dengan ukiran khas keraton.R
Tidak bisa aku percaya dengan apa yang aku lihat. Ternyata Cinta adalah wanita yang dijodohkan Bapak denganku.“Ngung …”Mikrofon yang aku pegang terjatuh tiba-tiba dari tanganku saat aku terkejut.“Gus, kamu jangan melotot melihat pengantin wanita. Dia memang sangat cantik. Tapi, tahan sampai nanti malam, Gus,” bisik Rahman yang berada di sebelahku.“Dia wanita itu, Man,” balasku membuat Rahman tidak mengerti.“Opo, maksudmu, Gus?”“Cinta itu, Man. Ternyata calon istriku. Wanita yang ada di jembatan dan sudah aku nodai,” kataku membuat Rahman, “Opo?!” Dia bertanya dengan sangat keras hingga semua tamu undangan dan para keluarga saling memandang.“Gus, kamu jangan ngawur!” ucap Rahman semakin mendekatiku sambil melirik semua tamu yang kebingungan melihat aku dan Cinta.“Hust, kalian ini kenapa?” Bapak menegur kami dan
Aku semakin kebingungan dengan Cinta yang terus berteriak kencang. Dia berusaha melepaskan tanganku yang melekat pada mulutnya.“Duh, punya istri kok jahil gini. Aku pasti malu kalau keluar nanti. Cinta, hus! Diam!”“Agus, kamu memang hebat!”“Ah!”“Mmm …”Tanpa beripikir panjang, karena posisiku berada di atas tubuhnya, aku segera mendekapnya. Apalagi wajah kami sangat dekat. Aku segera menciumnya dengan sangat lembut. Itu aku lakukan untuk menghentikannya berteriak, dan dia akhirnya diam.“Argh!”Cinta menggigit pucuk bibirku.“Plak!”"Duh lama-lama copot pipiku. Kenapa ditampar lagi?” kataku lemas dan dia mendorong tubuhku."Buk!"Cinta berdiri mengernyit tajam kearahku.“Kamu, sudah meninggalkanku! Aku membencimu!” tunjuknya dengan sadis. Kedua matanya sangat lebar. Cinta berjalan me
“Cinta, diam! Duh, aku besuk bisa malu!”Aku masih saja kebingungan dengan Cinta yang sengaja melakukan hal itu. “Cinta diam!” Tidak aku sangka bentakanku membuat Cinta memperlihatkan wajah sendu dan berkaca-kaca. Aku memeluknya. Dia menangis didekapanku. Hatiku semakin merasa bersalah melihatnya.“Kamu kenapa meninggalkanku, Agus?” tanya Cinta masih dengan meneteskan air matanya. Aku masih saja memeluknya. Perasaanku merasa sangat bersalah.“Maafkan aku, Cinta,” ucapku sambil membelai kedua matanya yang dipenuhi air mata. Aku semakin tidak tega melihatnya.“Cinta, aku minta maaf ya!”“Nggak!”“Loh, kok nggak?”Cinta berjalan meraih pakaian tipis putih di sandaran kursi. Dia memakainya. Aku segera menuruni ranjang dan menyusul Cinta yang berjalan di balkon kamar.“Agus, kamu meninggalkan aku bukan karena tidak menginginkan, aku, kan?&rdquo