Aku semakin kebingungan dengan Cinta yang terus berteriak kencang. Dia berusaha melepaskan tanganku yang melekat pada mulutnya.
“Duh, punya istri kok jahil gini. Aku pasti malu kalau keluar nanti. Cinta, hus! Diam!”
“Agus, kamu memang hebat!”
“Ah!”
“Mmm …”
Tanpa beripikir panjang, karena posisiku berada di atas tubuhnya, aku segera mendekapnya. Apalagi wajah kami sangat dekat. Aku segera menciumnya dengan sangat lembut. Itu aku lakukan untuk menghentikannya berteriak, dan dia akhirnya diam.
“Argh!”
Cinta menggigit pucuk bibirku.
“Plak!”
"Duh lama-lama copot pipiku. Kenapa ditampar lagi?” kataku lemas dan dia mendorong tubuhku.
"Buk!"
Cinta berdiri mengernyit tajam kearahku.
“Kamu, sudah meninggalkanku! Aku membencimu!” tunjuknya dengan sadis. Kedua matanya sangat lebar. Cinta berjalan me
“Cinta, diam! Duh, aku besuk bisa malu!”Aku masih saja kebingungan dengan Cinta yang sengaja melakukan hal itu. “Cinta diam!” Tidak aku sangka bentakanku membuat Cinta memperlihatkan wajah sendu dan berkaca-kaca. Aku memeluknya. Dia menangis didekapanku. Hatiku semakin merasa bersalah melihatnya.“Kamu kenapa meninggalkanku, Agus?” tanya Cinta masih dengan meneteskan air matanya. Aku masih saja memeluknya. Perasaanku merasa sangat bersalah.“Maafkan aku, Cinta,” ucapku sambil membelai kedua matanya yang dipenuhi air mata. Aku semakin tidak tega melihatnya.“Cinta, aku minta maaf ya!”“Nggak!”“Loh, kok nggak?”Cinta berjalan meraih pakaian tipis putih di sandaran kursi. Dia memakainya. Aku segera menuruni ranjang dan menyusul Cinta yang berjalan di balkon kamar.“Agus, kamu meninggalkan aku bukan karena tidak menginginkan, aku, kan?&rdquo
“Eh, ah, mm …”“Loh, kok aku ditarik?”Tidak ku percaya Cinta ternyata hanya berpura-pura. Dia menarik lalu menciumku sangat dalam.“Cinta …” Aku membelainya. Dia tersenyum menatapku dengan sangat lembut. Kedua mata itu menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.“Cinta, jangan seperti itu. Tidak enak sama semua keluarga. Semua tamu itu datang ke acara kita, untuk memberikan restu. Kok malah bohong kayak gitu,” ucapku berusaha membuatnya menurut.“Aku sangat bosan di sana. Lagi pula, biarkan mereka datang dan menikmati semua makanan. Untuk apa kita harus menunggui mereka,” Cinta mengarahkan tanganku ke punggungnya agar aku membuka relseting.“Krek.”Punggung mulusnya membuatku tersenyum. Begidik jika menyentuhnya. Cinta dengan cepat berjalan sembarangan hanya memakai pakaian dalamnya berwarna pink dengan renda memutari setiap sudut kainnya. Apalagi
“Aku bukan menangis … Tapi, kamu menginjak kakiku! Dasar!”“Hah?”Tidak aku percaya, saat menunduk melihat kakiku menginjak kaki Cinta hingga memerah. Segera aku tiup kakinya agar bisa mereda dari sakit. Cinta tersenyum melihatku melakukannya. Kami sepanjang malam saling bermesraan di dalam kamar dan melakukan hubungan intim sambil berpelukan hingga pagi menjelang. Kami tidak hentinya mengungkapkan perasaan kami satu sama lain.“Aku mencintaimu, Cinta …”“Aku juga mencintaimu, Agus …”Setelah sarapan dengan sangat romantis di dalam kamar sambil terus berciuman, kami berencana akan segera pulang menuju rumah yang sudah disiapkan Bapak untuk kami setelah menikah. Kami segera menaiki mobil sedan mewah yang sudah menunggu di depan pintu hotel.“Plok, plok!”“Wajah pengantin baru yang selalu saja keramas dan basah. Kamu memang luar biasa,
Aku sangat resah melihat Cinta yang masih saja menangis di dalam pelukanku. Ini sangat tidak baik untuk kita.“Kring …”Suara ponselku berdering. Aku sangat terkejut mendengarnya. Sementara Cinta masih saja menangis. Semakin tidak bisa aku menahan hatiku yang sangat takut, jika itu adalah orang tuaku yang akan menanyakan keadaan Cinta mengenai ahli waris yang harus dikandungnya. Sementara, dia masih datang bulan.“Cinta, aku akan menerima panggilan ponsel. Kamu sebaiknya masuk ke dalam kamar dan beristirahat,” kataku tapi dia masih saja menggelengkan kepala.“Itu suara ponselku. Kenapa tidak menghafal nada dering sendiri, suamiku?” lirikannya membuatku menggaruk kepalaku yang tidak merasa gatal. Kenapa aku sampai lupa dengan suara dering ponselku sendiri.“Baiklah, sebaiknya kamu angkat!” perintahku dan Cinta segera akan mengangkatnya. Namun, aku sangat resah mendengar pandangannya. Di
"Tidak ..."Aku sudah sangat lelah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Cinta mengambil sesuatu di lemari es dan aku segera berlari masuk ke dalam kamar."Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku selama sebulan terus melakukannya. Bisa kurus aku. Walaupun sebenarnya, hehe asik juga. Tidak, tidak, ini tidak bisa dibiarkan," batinku terus menggeleng."Agus, aku mau makan lagi. Kita pesan apa?" teriak Cinta dibalik pintu kamar mandi yang sengaja aku kunci. Sangat bahaya jika dia melihatku kekar begini. Memang sebenarnya aku sangat tampan hehe."Terserah kamu, Cinta," balasku."Kenapa di kunci? Aku mau masuk!""Tok, tok!"Ketukan pintu yang Cinta lakukan sangat keras. Aku berjalan mondar-mandir. "Iya, aku buka," balasku dan segera membukanya. Aku memperlihatkan seulas senyuman."Kita makan di luar ya. Makan sate, mie ayam, hmm ... bakso, bagaimana?"Cinta diam menatap sinis kearahku. Dia masi
Beberapa gadis melihatku. Mereka tersenyum sambil berbisik sambil melambaikan tangan kearahku. Cinta dengan sadis menatap mereka. Aku masih saja diam tidak menanggapinya. Tapi, mereka mengatakan hal yang sama sekali tidak aku duga.“Wah Raden Agus, ganteng banget. Tapi, di sebelahnya kok Bibi,” katanya sambil menunjuk Cinta yang segera memasang wajah tegang dan, “Siapa Bibi?!” bentaknya sangat keras hingga semua penumpang melotot kearah kami. Tentu saja mereka semua terkejut. Suara Cinta sangat menggelegar seperti itu.“Gawat!” batinku hingga koper tas kecil yang mau aku letakkan terjatuh di kepalaku.“Buk!”“Kamu bilang aku seperti Bibi sekali lagi, aku akan menampar kalian, lalu aku lemparkan keluar!”“Astaga, Cinta …”Senyuman aku tebar ke segala arah, untuk membuat semua orang tidak melotot kearah kami. Para pramugari juga segera akan menghampiri Cint
Ini tidak mungkin terjadi. Barisan para pemuda sepanjang kereta api siap untuk membantu Cinta mengambil semua rempah di sawah yang berlumpur itu. Ini tidak bisa aku biarkan. Aku harus berbuat sesuatu. Mereka menganga melihat Cinta yang memang sangat cantik. Hatiku bergetar panas melihatnya.“Bubar-bubar!” teriakku sambil mengarahkan tanganku ke atas. Tapi semua pemuda itu masih saja tidak bergerak. Mereka dengan santai tidak memperhatikanku, masih saja melambaikan tangan kearah Cinta.“Agus, biarkan mereka semua membantu kita. Jadi, kita bisa sangat santai tanpa masuk ke dalam lumpur itu,” kata Cinta semakin membuatku marah.“Aku tidak akan membiarkan! Jika kalian tidak bubar, aku akan memanggil semua polisi dan menangkap karena menggangggu ketentraman kami!” bentakku membuat pemuda melotot dan menyorakiku.“Huhuuuuu ….”Ini tidak bisa aku biarkan. Mereka akan aku usir dan tidak ada yang boleh
Tidak bisa aku percaya tanah keramat? Aku harus berhubungan di sana? Aku sangat resah dengan ucapan Bapak. Tanah keramat yang mungkin berhantu, atau seram?“Agus, kenapa melamun saja?” tanya Cinta mengejutkanku.“Bapak telepon. Dan …”“Apa?”Cinta mengernyit menatapku. Aku bingung mau mengatakan apa untuk menjelaskan kepadanya. Aku sangat tajut jika dia akan berteriak. Tapi, aku harus tetap mengatakannya.“Mm … anu … itu …”“Apa sih?”“Gimana ini ngomongnya,” gumamku sambil garuk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.“Suamiku, tadi Bapak ngomong apa?” tanya Cinta ngotot sekali lagi.“Baiklah, Bapak mau kita berada di tanah keramat milik Pak Agung, dan kita melakukan hubungan di sana,” kataku membuat Cinta diam menatapku sambil mengangkat salah satu alisnya. Dia masih diam tidak mengatakan apapun h