“Aku bukan menangis … Tapi, kamu menginjak kakiku! Dasar!”
“Hah?”
Tidak aku percaya, saat menunduk melihat kakiku menginjak kaki Cinta hingga memerah. Segera aku tiup kakinya agar bisa mereda dari sakit. Cinta tersenyum melihatku melakukannya. Kami sepanjang malam saling bermesraan di dalam kamar dan melakukan hubungan intim sambil berpelukan hingga pagi menjelang. Kami tidak hentinya mengungkapkan perasaan kami satu sama lain.
“Aku mencintaimu, Cinta …”
“Aku juga mencintaimu, Agus …”
Setelah sarapan dengan sangat romantis di dalam kamar sambil terus berciuman, kami berencana akan segera pulang menuju rumah yang sudah disiapkan Bapak untuk kami setelah menikah. Kami segera menaiki mobil sedan mewah yang sudah menunggu di depan pintu hotel.
“Plok, plok!”
“Wajah pengantin baru yang selalu saja keramas dan basah. Kamu memang luar biasa,
Aku sangat resah melihat Cinta yang masih saja menangis di dalam pelukanku. Ini sangat tidak baik untuk kita.“Kring …”Suara ponselku berdering. Aku sangat terkejut mendengarnya. Sementara Cinta masih saja menangis. Semakin tidak bisa aku menahan hatiku yang sangat takut, jika itu adalah orang tuaku yang akan menanyakan keadaan Cinta mengenai ahli waris yang harus dikandungnya. Sementara, dia masih datang bulan.“Cinta, aku akan menerima panggilan ponsel. Kamu sebaiknya masuk ke dalam kamar dan beristirahat,” kataku tapi dia masih saja menggelengkan kepala.“Itu suara ponselku. Kenapa tidak menghafal nada dering sendiri, suamiku?” lirikannya membuatku menggaruk kepalaku yang tidak merasa gatal. Kenapa aku sampai lupa dengan suara dering ponselku sendiri.“Baiklah, sebaiknya kamu angkat!” perintahku dan Cinta segera akan mengangkatnya. Namun, aku sangat resah mendengar pandangannya. Di
"Tidak ..."Aku sudah sangat lelah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Cinta mengambil sesuatu di lemari es dan aku segera berlari masuk ke dalam kamar."Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku selama sebulan terus melakukannya. Bisa kurus aku. Walaupun sebenarnya, hehe asik juga. Tidak, tidak, ini tidak bisa dibiarkan," batinku terus menggeleng."Agus, aku mau makan lagi. Kita pesan apa?" teriak Cinta dibalik pintu kamar mandi yang sengaja aku kunci. Sangat bahaya jika dia melihatku kekar begini. Memang sebenarnya aku sangat tampan hehe."Terserah kamu, Cinta," balasku."Kenapa di kunci? Aku mau masuk!""Tok, tok!"Ketukan pintu yang Cinta lakukan sangat keras. Aku berjalan mondar-mandir. "Iya, aku buka," balasku dan segera membukanya. Aku memperlihatkan seulas senyuman."Kita makan di luar ya. Makan sate, mie ayam, hmm ... bakso, bagaimana?"Cinta diam menatap sinis kearahku. Dia masi
Beberapa gadis melihatku. Mereka tersenyum sambil berbisik sambil melambaikan tangan kearahku. Cinta dengan sadis menatap mereka. Aku masih saja diam tidak menanggapinya. Tapi, mereka mengatakan hal yang sama sekali tidak aku duga.“Wah Raden Agus, ganteng banget. Tapi, di sebelahnya kok Bibi,” katanya sambil menunjuk Cinta yang segera memasang wajah tegang dan, “Siapa Bibi?!” bentaknya sangat keras hingga semua penumpang melotot kearah kami. Tentu saja mereka semua terkejut. Suara Cinta sangat menggelegar seperti itu.“Gawat!” batinku hingga koper tas kecil yang mau aku letakkan terjatuh di kepalaku.“Buk!”“Kamu bilang aku seperti Bibi sekali lagi, aku akan menampar kalian, lalu aku lemparkan keluar!”“Astaga, Cinta …”Senyuman aku tebar ke segala arah, untuk membuat semua orang tidak melotot kearah kami. Para pramugari juga segera akan menghampiri Cint
Ini tidak mungkin terjadi. Barisan para pemuda sepanjang kereta api siap untuk membantu Cinta mengambil semua rempah di sawah yang berlumpur itu. Ini tidak bisa aku biarkan. Aku harus berbuat sesuatu. Mereka menganga melihat Cinta yang memang sangat cantik. Hatiku bergetar panas melihatnya.“Bubar-bubar!” teriakku sambil mengarahkan tanganku ke atas. Tapi semua pemuda itu masih saja tidak bergerak. Mereka dengan santai tidak memperhatikanku, masih saja melambaikan tangan kearah Cinta.“Agus, biarkan mereka semua membantu kita. Jadi, kita bisa sangat santai tanpa masuk ke dalam lumpur itu,” kata Cinta semakin membuatku marah.“Aku tidak akan membiarkan! Jika kalian tidak bubar, aku akan memanggil semua polisi dan menangkap karena menggangggu ketentraman kami!” bentakku membuat pemuda melotot dan menyorakiku.“Huhuuuuu ….”Ini tidak bisa aku biarkan. Mereka akan aku usir dan tidak ada yang boleh
Tidak bisa aku percaya tanah keramat? Aku harus berhubungan di sana? Aku sangat resah dengan ucapan Bapak. Tanah keramat yang mungkin berhantu, atau seram?“Agus, kenapa melamun saja?” tanya Cinta mengejutkanku.“Bapak telepon. Dan …”“Apa?”Cinta mengernyit menatapku. Aku bingung mau mengatakan apa untuk menjelaskan kepadanya. Aku sangat tajut jika dia akan berteriak. Tapi, aku harus tetap mengatakannya.“Mm … anu … itu …”“Apa sih?”“Gimana ini ngomongnya,” gumamku sambil garuk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.“Suamiku, tadi Bapak ngomong apa?” tanya Cinta ngotot sekali lagi.“Baiklah, Bapak mau kita berada di tanah keramat milik Pak Agung, dan kita melakukan hubungan di sana,” kataku membuat Cinta diam menatapku sambil mengangkat salah satu alisnya. Dia masih diam tidak mengatakan apapun h
Cinta sama sekali tidak aku temukan di mana-mana. Semua ruangan rumah sudah aku putari, hingga aku keluar halaman, tapi masih saja tidak menemukan Cinta.“Cinta!” teriakku sekali lagi, dan ternyata dia tertawa sambil melihat sesuatu yang lucu di ponselnya di dalam ruang tamu. Aku semakin kesal. Dia sama sekali tidak mengerti jika apa yang dia lakukan itu salah, dan taruhannya adalah ahli waris yang selalu ditunggu seluruh keluarga.“Cinta!” bentakku kencang. Dia hanya memalingkan wajahnya dan tidak menghiraukanku sama sekali. Aku berjalan mendekatinya. Kuambil ponsel yang berada di tangannya.“Kali ini, aku sudah sangat marah! Kamu tahu, ini sangat penting buat keluarga kita. Aku sangat tertekan dengan perlakuanmu yang sangat susah diatur. Semua selalu kau lakukan tanpa menganggapku sebagai suami yang harus kau hormati!”“Oh, jadi semua ini salahku?”“Lalu salah siapa?”Tidak aku pe
Aku sama sekali tidak tahan, dan akan benar-benar melakukannya. Padahal masih pukul delapan malam, dan aku harus menahannya. Tapi, tubuh polos Cinta sudah berada di dalam dekapanku. Aku menelan salivaku, “Glek!”“Agus … tahan …,” bisik Cinta sengaja dengan suara mendesah. Aku semakin tidak kuat. Apalagi Cinta dengan sengaja selalu saja meraba tubuhnya sendiri. Mana bisa aku semakin tahan melihatnya. Kulitku rasanya sudah begidik, dan belalaiku ini semakin terlihat jelas.“Cinta, aku tidak bisa tahan!”“Agus, jangan!” Aku semakin menarik Cinta dan membawanya ke sofa.“Argh!” Aku menggigit gunung indahnya tepat di titik tengahnya dan terus memainkannya dengan bibirku.“Ini belum tengah malam!” protes Cinta tapi aku semakin menikmati lehernya dan meninggalkan bekas merah. Kulitnya sangat harum, semakin membuatku melakukannya.“Aku tidak tahan!&r
Aku semakin menghentakkan milikku tapi, saat kami menoleh pandangan ke jendela.“Hantu!”“Argh!”Sebuah bayangan seperti sosok manusia hitam berdiri di dekat jendela. Sedangkan Cinta masih mengeratkan pelukannya. Aku melotot, “Ah, ah, ah …”Syukurlah laharku keluar juga di detik-detik terakhir. Aku sangat begidik. Cinta masih memejamkan kedua matanya. Aku sangat lemas berada di sebelah Cinta. Kita saling menatap dan, “Hantu!” teriak kami bersama-sama.Aku segera berdiri dan memeriksanya. Dengan cepat aku membuka jendela dan alangkah indahnya saat matahari akan menyinari bumi dengan keindahan sinarnya.“Cinta, sini,” kataku sambil melambaikan tangan.“Tidak ada hantu?” tanya Cinta sambil mengangkat kedua tangannya.“Tidak ada sayang. Itu hanya bayangan pohon dari hutan itu. Ayo sini.”Cinta segera menerima uluran tanganku. Kami berp
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny