Aku menatap Ibu yang sudah lemas di pundak kedua adik kembarku. Tidak aku sangka, mereka akan berpikiran seperti itu. Aku segera mendekati Rahman yang dengan sangat santai menatapku tanpa rasa bersalah.
“Man, kamu itu ngomong apa? Lihatlah Ibu, sampai pingsan kayak begitu!” kataku pelan dengan tegas. Rahman malah terkekeh hingga pundaknya bergerak. Tidak aku percaya, Rahman menganggap hal ini tidak serius. Kakiku dengan segera melangkah menuju Bapak yang sepertinya marah kepadaku.
“Bapak, selama aku berada di Jakarta, Nenek Suri yang merawat dan membantuku. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan dia sendirian tinggal di sana. Aku memutuskan untuk mengajak Nenek tinggal bersamaku di sini.”
Penjelasan yang aku berikan akhirnya membuat Bapak tersenyum, segera mengulurkan tangan kanan kepada Nenek Suri untuk bersalaman.
“Terima kasih sudah menolong anakku, Agus. Kami berhutang budi kepada Nenek,” kata Bapak tersenyum ramah.<
“Cinta …,” lirihku masih terus memanggilnya. Tapi, aku tidak akan menyerah dengan ini semua. Aku akan terus berusaha melarikan diri dari kamar ini dan segera menemui Cinta, bagaimanapun caranya.“Baiklah, akan aku dobrak kamar ini!”“Buk!”“Aduh, badanku remuk. Mana mungkin aku bisa membukannya,” gumamku duduk di atas ranjang super mewah dan besar berukuran king size ini.“Cinta, aku menyerah. Aku akan terus mencarimu, apapun kondisiku. Walaupun jika nantinya istriku pasti juga akan membunuhku dengan seluruh keluargaku,” batinku dengan resah hingga aku merebahkan tubuhku dan terlelap.“Cinta …”***Cinta masih saja diam tidak percaya akan segera pergi menuju Jogjakarta dan melangsungkan pernikahannya. Dia bersama dengan orang tuanya menaiki pesawat pribadi segera datang di rumah neneknya yang sangat mewah dengan ukiran khas keraton.R
Tidak bisa aku percaya dengan apa yang aku lihat. Ternyata Cinta adalah wanita yang dijodohkan Bapak denganku.“Ngung …”Mikrofon yang aku pegang terjatuh tiba-tiba dari tanganku saat aku terkejut.“Gus, kamu jangan melotot melihat pengantin wanita. Dia memang sangat cantik. Tapi, tahan sampai nanti malam, Gus,” bisik Rahman yang berada di sebelahku.“Dia wanita itu, Man,” balasku membuat Rahman tidak mengerti.“Opo, maksudmu, Gus?”“Cinta itu, Man. Ternyata calon istriku. Wanita yang ada di jembatan dan sudah aku nodai,” kataku membuat Rahman, “Opo?!” Dia bertanya dengan sangat keras hingga semua tamu undangan dan para keluarga saling memandang.“Gus, kamu jangan ngawur!” ucap Rahman semakin mendekatiku sambil melirik semua tamu yang kebingungan melihat aku dan Cinta.“Hust, kalian ini kenapa?” Bapak menegur kami dan
Aku semakin kebingungan dengan Cinta yang terus berteriak kencang. Dia berusaha melepaskan tanganku yang melekat pada mulutnya.“Duh, punya istri kok jahil gini. Aku pasti malu kalau keluar nanti. Cinta, hus! Diam!”“Agus, kamu memang hebat!”“Ah!”“Mmm …”Tanpa beripikir panjang, karena posisiku berada di atas tubuhnya, aku segera mendekapnya. Apalagi wajah kami sangat dekat. Aku segera menciumnya dengan sangat lembut. Itu aku lakukan untuk menghentikannya berteriak, dan dia akhirnya diam.“Argh!”Cinta menggigit pucuk bibirku.“Plak!”"Duh lama-lama copot pipiku. Kenapa ditampar lagi?” kataku lemas dan dia mendorong tubuhku."Buk!"Cinta berdiri mengernyit tajam kearahku.“Kamu, sudah meninggalkanku! Aku membencimu!” tunjuknya dengan sadis. Kedua matanya sangat lebar. Cinta berjalan me
“Cinta, diam! Duh, aku besuk bisa malu!”Aku masih saja kebingungan dengan Cinta yang sengaja melakukan hal itu. “Cinta diam!” Tidak aku sangka bentakanku membuat Cinta memperlihatkan wajah sendu dan berkaca-kaca. Aku memeluknya. Dia menangis didekapanku. Hatiku semakin merasa bersalah melihatnya.“Kamu kenapa meninggalkanku, Agus?” tanya Cinta masih dengan meneteskan air matanya. Aku masih saja memeluknya. Perasaanku merasa sangat bersalah.“Maafkan aku, Cinta,” ucapku sambil membelai kedua matanya yang dipenuhi air mata. Aku semakin tidak tega melihatnya.“Cinta, aku minta maaf ya!”“Nggak!”“Loh, kok nggak?”Cinta berjalan meraih pakaian tipis putih di sandaran kursi. Dia memakainya. Aku segera menuruni ranjang dan menyusul Cinta yang berjalan di balkon kamar.“Agus, kamu meninggalkan aku bukan karena tidak menginginkan, aku, kan?&rdquo
“Eh, ah, mm …”“Loh, kok aku ditarik?”Tidak ku percaya Cinta ternyata hanya berpura-pura. Dia menarik lalu menciumku sangat dalam.“Cinta …” Aku membelainya. Dia tersenyum menatapku dengan sangat lembut. Kedua mata itu menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.“Cinta, jangan seperti itu. Tidak enak sama semua keluarga. Semua tamu itu datang ke acara kita, untuk memberikan restu. Kok malah bohong kayak gitu,” ucapku berusaha membuatnya menurut.“Aku sangat bosan di sana. Lagi pula, biarkan mereka datang dan menikmati semua makanan. Untuk apa kita harus menunggui mereka,” Cinta mengarahkan tanganku ke punggungnya agar aku membuka relseting.“Krek.”Punggung mulusnya membuatku tersenyum. Begidik jika menyentuhnya. Cinta dengan cepat berjalan sembarangan hanya memakai pakaian dalamnya berwarna pink dengan renda memutari setiap sudut kainnya. Apalagi
“Aku bukan menangis … Tapi, kamu menginjak kakiku! Dasar!”“Hah?”Tidak aku percaya, saat menunduk melihat kakiku menginjak kaki Cinta hingga memerah. Segera aku tiup kakinya agar bisa mereda dari sakit. Cinta tersenyum melihatku melakukannya. Kami sepanjang malam saling bermesraan di dalam kamar dan melakukan hubungan intim sambil berpelukan hingga pagi menjelang. Kami tidak hentinya mengungkapkan perasaan kami satu sama lain.“Aku mencintaimu, Cinta …”“Aku juga mencintaimu, Agus …”Setelah sarapan dengan sangat romantis di dalam kamar sambil terus berciuman, kami berencana akan segera pulang menuju rumah yang sudah disiapkan Bapak untuk kami setelah menikah. Kami segera menaiki mobil sedan mewah yang sudah menunggu di depan pintu hotel.“Plok, plok!”“Wajah pengantin baru yang selalu saja keramas dan basah. Kamu memang luar biasa,
Aku sangat resah melihat Cinta yang masih saja menangis di dalam pelukanku. Ini sangat tidak baik untuk kita.“Kring …”Suara ponselku berdering. Aku sangat terkejut mendengarnya. Sementara Cinta masih saja menangis. Semakin tidak bisa aku menahan hatiku yang sangat takut, jika itu adalah orang tuaku yang akan menanyakan keadaan Cinta mengenai ahli waris yang harus dikandungnya. Sementara, dia masih datang bulan.“Cinta, aku akan menerima panggilan ponsel. Kamu sebaiknya masuk ke dalam kamar dan beristirahat,” kataku tapi dia masih saja menggelengkan kepala.“Itu suara ponselku. Kenapa tidak menghafal nada dering sendiri, suamiku?” lirikannya membuatku menggaruk kepalaku yang tidak merasa gatal. Kenapa aku sampai lupa dengan suara dering ponselku sendiri.“Baiklah, sebaiknya kamu angkat!” perintahku dan Cinta segera akan mengangkatnya. Namun, aku sangat resah mendengar pandangannya. Di
"Tidak ..."Aku sudah sangat lelah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu. Cinta mengambil sesuatu di lemari es dan aku segera berlari masuk ke dalam kamar."Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku selama sebulan terus melakukannya. Bisa kurus aku. Walaupun sebenarnya, hehe asik juga. Tidak, tidak, ini tidak bisa dibiarkan," batinku terus menggeleng."Agus, aku mau makan lagi. Kita pesan apa?" teriak Cinta dibalik pintu kamar mandi yang sengaja aku kunci. Sangat bahaya jika dia melihatku kekar begini. Memang sebenarnya aku sangat tampan hehe."Terserah kamu, Cinta," balasku."Kenapa di kunci? Aku mau masuk!""Tok, tok!"Ketukan pintu yang Cinta lakukan sangat keras. Aku berjalan mondar-mandir. "Iya, aku buka," balasku dan segera membukanya. Aku memperlihatkan seulas senyuman."Kita makan di luar ya. Makan sate, mie ayam, hmm ... bakso, bagaimana?"Cinta diam menatap sinis kearahku. Dia masi