Beranda / CEO / Ahli Waris / Ciuman Pertama

Share

Ciuman Pertama

“Lalu kau apa?” tanyanya sambil mengernyit.

Aku masih saja diam terpaku mendengar pertanyaannya. Tidak aku percaya dia masih saja bersikeras dengan keinginannya. Aku semakin kebingungan dengan wanita yang aku temui ini. Sangat mengerikan.  

“Kau tidak bisa menjawab?” tanyanya kembali semakin membuatku kesal.

“Wes, percuma dijelaskan. Aku bukan seperti itu, Mbak,” jawabku tegas.

Aku ini Raden Agus. Sifatku lembut dan baik dengan siapapun. Namun, aku sudah dilatih untuk menjadi pemuda yang sangat disiplin. Itu semua Ibu yang mengajarkanku. Apalagi Bapak yang mengharuskanku menjadi seperti itu. Baik, namun tegas. Maklum saja aku adalah calon pewaris keturunan bangsawan. Apalagi dengan wanita, aku tidak boleh bersikap kasar.

“Kau masih berpikir?” Dia semakin menatapku. Aku menggelengkan kepalaku, kemudian menghindari tatapannya.

“Masih ragu dengan tawaranku?”

“Duh, wanita ini semakin membuatku panik," batinku akhirnya membalas tatapannya.

"Mbak, aku memang tidak punya uang. Tapi, aku tidak bisa di ajak begituan. Eh, gimana ini aku ngomongnya?”

Aku segera memalingkan wajahku. Tombol kursi di sebelah kiri tepat di bawah jok kursiku segera kutekan, hingga kursi yang aku duduki bergerak ke belakang. Aku bisa merebahkan tubuhku yang sangat capek ini dengan rileks. Ingin sekali aku memejamkan kedua mataku yang sudah sayup ini. Namun, dia masih saja menatapku serius. Aku menjadi sedikit meliriknya.

“Aku kok salah tingkah gini?” batinku sambil menata dudukku yang sama sekali tidak nyaman dalam posisi apapun akibat tatapannya.

“Tubuhmu bagus,” katanya tiba-tiba.

“Apa?” jawabku terkejut.

Tidak habis pikir, tatapannya masih sangat aneh kepadaku. Apalagi, dia mengatakan tubuhku bagus. Aku langsung merinding.

“Pasti hasilnya akan bagus nanti.”

“Apa?” Aku kembali mematung terkejut mendengarnya.

Perkataannya semakin tidak aku mengerti. “Weslah, aku tutupi kembali wajahku dengan blangkon milikku. Tidak aku hiraukan saja, wanita ini,” kataku yang masih saja tidak membuatnya berpaling dariku. Tapi, masih saja aku tidak tenang. Aku berguling sana sini, dia masih saja menatapku sambil menggigit bibirnya. Aku terdiam sejenak saat tidak sengaja melihatnya.

“Bibirnya kok digigit?” Aku menelan salivaku tanpa sadar melihatnya, dan bertanya sesuatu yang memalukan.

“Suka ama bibirku? Kau bisa memilikinya semalam saja.”

“Ini tidak bisa dibiarkan. Mbak, aku ini capek banget. Wes, jangan pernah melihatku lagi! Asli, aku tidak pernah melihat wanita sepertimu,” gerutuku kesal.

“Kenapa, akhirnya suka denganku?”

“Apa? Tidak mungkin, Mbak!”

Selama satu jam dari Jogjakarta hingga sampai di Jakarta, dia masih saja menatapku tanpa menolehkan pandangannya. Aku semakin salah tingkah. Blangkon ini sudah aku gunakan untuk menutupi wajahku. Tapi, masih saja aku semakin tidak tenang. Bagaimana bisa aku tenang, diawasi wanita cantik. “Bener-bener, ayu seperti boneka Barbie,” batinku tidak sadar membalas tatapannya lagi.

“Aku cantik?” ucapnya tiba-tiba.

Pertanyaannya yang membuyarkan lamunanku. “Maaf, aku istirahat dulu,” sanggahku tidak mengakuinya.

Aku memiringkan tubuhku sambil terus mengamati jam yang melingkar di tangan kananku. Akhirnya dalam beberapa waktu, sang Pilot memberitahukan melalui mikrophone, jika pesawat sudah tiba di Jakarta.

“Akhirnya sampai juga di Jakarta. Wes tenang hatiku,” batinku kembali melirik wanita yang menawarku akhirnya menghadap ke depan, karena pesawat akan segera mendarat. Untung saja pramugari itu membuatnya memalingkan wajahnya dariku.

“Aku akan segera lari begitu mendarat,” batinku sambil terus meliriknya.

Kakiku terus bergerak, hingga sudah saatnya tiba pesawat menjadi berhenti. Aku secepat kilat membuka sabuk pengamanku. Aku berdiri, segera berjalan menghindarinya. Kepalaku sedikit menoleh kembali kepadanya karena penasaran. Dia hanya diam menatapku sambil berdiri dan berkacak pinggang.

Aku keluar dari pesawat menururni tangga dengan cepat. Aku segera memasuki bus penjemput penumpang. Untunglah dia menaiki kendaraan dari tempat khusus. Jadi aku tidak perlu bertemu dengannya lagi. Namun, aku harus tetap berhati-hati.

Aku sama sekali tidak menghiraukan dia. Kakiku terus berlari, dengan tujuan meninggalkannya. Dengan nafas yang sangat tidak beraturan akibat terus berlari, akhirnya aku berhasil keluar dari bandara yang sangat besar ini. Pandanganku masih terus lurus ke depan tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

"Aku tidak boleh terlihat wanita itu," batinku terengah-engah.

Aku semakin melangkahkan kakiku dengan sangat cepat. Kakiku yang sangat jenjang ini, membuatku cepat berlari hingga, “Buk!” Seseorang menabrakku, menarik ransel yang berada di lenganku.

“Pencuri!” teriakku, namun tidak ada yang mempedulikannya.

Aku masih saja kebingungan mengamati gerakan cepat pencuri itu. Semua pejalan kaki aku terobos untuk berusaha mengejar pencuri yang semakin jauh tidak bisa aku jangkau. Dia menaiki motor seseorang yang menjemputnya di pinggir jalan dengan tiba-tiba. Pencuri itu akhirnya bisa lolos dariku.

“Hah, nafasku tidak karuan.”

Aku masih berusaha mengejarnya, hingga sebuah mobil melintas tiba-tiba di hadapanku, saat aku tidak sadar berada di tengah-tengah jalan raya. Aku segera menyingkir menghindari semua mobil yang akan melintas. Kedua tanganku memegang kepalaku karena kebingungan.

“Tidak mungkin dia membawa tas ranselku satu-satunya, dan uang Ibu. Sekarang aku benar-benar miskin,” ucapku dengan suara yang terengah-engah.

“Miskin lagi? Kasihan sekali.”

Tidak aku percaya wanita itu dengan cepat menuju kearahku. Dia datang dengan mobil sedan hitam mewahnya, bersama beberapa pengawal. Dia menyapaku dari jendela mobil yang sudah terbuka. Dengan cepat mobil itu berhenti. Pengawal keluar dari pintu depan, menuju pintu belakang untuk membukakan pintu mobil wanita itu. Dia segera keluar mendekatiku, saat pengawal itu sudah membukanya.

“Mbak, maaf, aku jangan dibuntuti!” pintaku yang tidak dihiraukannya sama sekali.

“Buk!"

“Kau berhutang budi kepadaku. Jika kau tidak menerimanya, kau akan sangat menderita.”

Dia melemparku dengan uang cukup banyak, yang dengan cepat aku tangkap. Uang itu satu gepok sekitar sepuluh juta rupiah. Aku memegangnya, kemudian segera mendekatinya.

“Aku tidak perlu, Mbak. Ini saya kembalikan.” Uang itu segera aku kembali sodorkan kepadanya.

“Plak!"

“Loh, aku kok ditampar lagi?” ucapku sambil memegang pipiku.

Dia berjinjit menarik krah bajuku. “Loh, loh, kok dekat sekali Mbak? Duh, aku tidak pernah sedekat ini dengan wanita kecuali sama Ibu. Mbak, itu bibirnya dekat, eh, gimana ini aku?”

“Jika ada yang menolak pemberianku, akan aku habisi. Jadi, terima uang itu, atau aku gigit bibirmu!”

“Loh, wanita kok agresif begini sih?” kataku kebingungan.

Dia semakin dekat dengan wajahku, hingga nafasnya bisa aku rasakan. Aku semakin ditariknya hingga menunduk. Tubuhnya sangat kecil hanya sebatas pundakku. Wajahnya sangat cantik, tapi tingkahnya sangat menakutkan bagiku. Aku tidak pernah melihat wanita seperti dirinya. Ingin rasanya aku menarik dia agar bisa melepaskanku. Tapi, aku mengingat pesan Ibu jika aku tidak bisa kasar dengan wanita.

“Aduh, aku harus bagaimana?” gumamku sambil terus menahan tanganku untuk tidak bergerak.

“Mana mungkin aku menarik tubuh mungil cantik ini. Tapi, gimana ini, bibirnya semakin dekat,” batinku yang terus gelisah, namun tidak menolaknya.

“Iya ... Aku tidak akan mengembalikannya. Terima kasih, Mbak,” ucapku agar dia segera melepaskanku, karena bibirnya hanya berjarak satu senti dengan bibirku.

Dia masih diam menatapku. “Ayune wajah iki. Hatiku kok gemeteran begini ya?” batinku yang tiba-tiba terpana.

"Tidak, tidak! Aku tidak boleh lengah dengan kecantikan siapapun," batinku kembali sambil menggeleng.

“Ehh, Mbak ... kok?”

“Mmm …”

“Hah …”

Tidak mungkin dia mendaratkan bibirnya. “Loh, rasanya bibirnya lembut,” batinku terkejut dan menikmatinya tanpa sadar.

“Aku kok malah membuka bibirku dan melayaninya? Gimana ini, akukan laki-laki. Mana bisa aku menolak bibir wanita cantik begini? Duh, enak banget. Pipiku dipegangnya, hingga aku tidak bisa bergerak,” aku terus membatin menerimanya begitu saja.

Aku masih saja melakukannya. Kami menikmati bibir kami satu sama lain.

“Sudah! Aku kok malah menjadi aneh? Gawat, celanaku sesak,” batinku terkejut merasakan sesuatu yang kaku dengan milikku di dalam celanaku yang membesar seketika. Perlahan aku melepaskan bibirku. Aku melotot kearahnya sambil menelan salivaku.

“Mbak, maafkan aku! Ini tadi tidak sengaja, dan dilupakan saja!” Aku melepaskan tubuhnya perlahan.

“Lupakan?” tanyanya marah. Sudah aku duga dia akan seperti itu kepadaku.

“Iya, Mbak,” jawabku pelan.

“Tidak akan!”

“Apa?”

“Mulai sekarang, kau menjadi milikku!”

“Sudah aku lari saja.”

Secepat kilat aku berlari meninggalkannya. Aku tidak menolehkan pandanganku ke belakang sedikitpun. Aku terus berlari. Namun, aku melambatkan langkahku karena rasa penasaran. Aku menolehkan sedikit pandanganku ke belakang. Aku melihat dia hanya diam berdiri di antara semua pria berjas hitam yang menjadi pengawalnya.

Kedua kakiku kembali berlari hingga nafasku rasanya tidak kuat dan ingin pingsan. “Hah, uangku ketinggalan. Sekarang aku benar-benar miskin.”

Aku menghentikan kakiku yang sudah kaku. Segera kuatur nafasku yang sangat tidak beraturan akibat berlari. Aku kembali menolehkan pandanganku ke belakang. Sangat lega rasanya aku tidak melihat wanita cantik tadi yang sudah mencuri ciuman pertamaku. Aku memegang bibirku, sedikit membayangkannya.

“Bibirnya, sudah membuatku tidak waras sampai milikku berdiri. Tidak, tidak, aku tidak boleh memikirkannya,” gumamku sendiri.

“Bibirnya sudah membuatku bergetar. Apa aku ini memang laki-laki tidak tahu diri? Mencium wanita sebentar saja sudah sangat terpana. Tapi, tidak aku pungkiri dia memang sangat cantik.” Aku masih saja memikirkannya.

"Aku sudah menodai wanita. Apa yang akan aku katakan kepada Ibu nanti jika dia mengetahuinya?" Aku terus berjalan tanpa arah. Otakku ini terus membayangkan bibirnya yang sudah aku nikmati walaupun hanya beberapa menit itu.

"Ciuman pertama yang aku inginkan hilang sudah. Aku ingin melakukannya dengan istriku. Paling tidak pacar sahku, dan aku mencintainya. Ini malah sama wanita yang tidak jelas. Dan parahnya, aku menikmatinya. Apakah memang laki-laki normal seperti itu, ya?" gumamku sambil mengingat Rahman yang saat itu selalu saja aku pergoki mencium pacarnya yang bergonti-ganti.

"Ciuman pertamaku. Aku sudah melakukannya," batinku masih memegang bibirku yang tersisa aroma lipstik dari wanita itu. Aku segera menggelengkan kepalaku, berusaha melupakan bibir yang sudah aku nikmati tadi.

Yang harus aku pikirkan sekarang, aku menjadi gelandangan. Tidak tahu harus tidur di mana. Rasanya aku capek banget. Aku melihat pohon yang cukup besar. Aku berjalan ke sana dan duduk di bawahnya. Pohon ini berada di taman kota. Palang putih yang berdiri tegak di tengah rumput hijau halus itu, bertuliskan taman kota yang membuatku mengetahui di mana aku berada. Kedua mataku rasanya sangat mengantuk sekali. Aku tanpa sengaja tertidur lelap di bawah pohon.

“Mas, bangun, Mas! Tidak boleh tidur di sini!” Seorang nenek tua membangunkan aku.

“Maaf Nek. Iya, aku bangun.” Aku segera berdiri dan tanpa sadar hari sudah pagi.

“Hahaha, ganteng-ganteng miskin.” Beberapa laki-laki melewatiku, mengejekku.

“Biarkan mereka! Rumahmu di mana?” tanya  sang Nenek dengan serius.

“Tidak punya rumah Nek, diusir,” jawabku sambil merapikan blangkonku yang masih menempel di kepalaku.

“Kenapa?”

“Ndak mau nikah,” jawabku lemas.

“Dijodohkan?”

“Iya, Nek. Aku tidak mau. Pengen cari sendiri.”

“Terus, mau kemana kamu? Kayaknya kamu ini anak orang kaya?” Nenek itu mengamatiku sambil memutari tubuhku.

“Kok tahu, Nek?” tanyaku terkejut.

“Jam tanganmu itu, mahal.”

“Loh Nenek tahu jam tangan saya? Ah, syukurlah bisa aku jual. Aku masih selamat.” Aku melompat kegirangan. Tanpa aku sadari, jam ini masih saja melingkar di tangan kananku, dan harganya ratusan juta.

“Wah, kamu bisa menyelamatkan hidupku,” ucapku senang sambil menepuk-nepuk jam tanganku yang menjadi satu-satunya hartaku sekarang. Tapi, aku kembali tersadar jika aku tidak punya arah tujuan. 

Aku kebingungan melihat semua arah. Nenek itu semakin memandangku. “Tidak punya rumah?” tanyanya, dan aku menganggukkan pelan kepalaku dengan wajah memelas.

"Iya, Nek," jawabku lemas.

“Ayo ikut! Wajahmu sangat jelek jika memelas,” ajak Nenek yang sangat mengejutkanku.

“Wah aku sangat beruntung,” batinku gembira.

“Baik, Nek.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status