“Tidak …,” lirihku lemas.Aku memelas sambil memandang wajah Cinta yang semakin pucat. Dia hanya diam di dalam pelukan ibunya. Entahlah bagaimana perasaannya. Pasti sangat sakit, seperti diriku yang merana ini. Rasanya nyilu, pusing, kayak pengen kerokan yang keras, dan Rahman biasanya yang membantuku.“Man, aku kerokin ya, aku masuk angin,” kataku memegang lengannya dan dia mengernyit.“Kalau masuk angin itu ke spa pijit refleksi, malah minta kerok. Direktur kok gitu,” bisik Rahman membuatku mencep melihatnya.“Mau, apa ndak?” tanyaku kembali.“Iyo, habis rapat,” jawabnya menggeleng.Sementara Bapak masih saja menjelaskan bagaimana ahli waris harus dilahirkan dengan secepatnya. Aku sendiri tidak paham dengan semua situasi ini.“Gus, Gus!” panggilan Bapak yang mengejutkanku saat melamun. Rahman menepuk pundakku. Aku hanya terfokus dengan Cinta yang masih mu
Baca selengkapnya