Cinta menarikku untuk melanjutkan. Sementara Minah berteriak kencang menangis tidak karuan. Untung ada Rahman di sebelahnya. Dia seketika memeluk Minah sambil tersenyum menatapku dan memberikan jempol kanannya.
“Sudah, wes, sabar … untung ada Mas Rahman yang sangat super ganteng ini. Minah ayu bisa menyandarkan kepalanya dengan tenang,” kata Rahman meringis keenakan mengelus-elus punggung Minah yang masih tidak sadar dengan itu semua.
“Agus, kamu kok jahat sih?” tanyanya masih menyembunyikan wajahnya di dada kekar Rahman.
“Wes, sabar Minah ayu,” ucap Rahman masih meringis kesenangan.
Aku segera merapatkan resletingku. Berjalan menutup pintu kamar dengan rapat.
“Brak!”
Cinta menatapku dengan manyun, membuatku panik. Tiada yang membuatku panik melihat wajah manyunnya.
“Gus, ingat anjuran dokter!” teriak Rahman sekali lagi.
Aku menggeleng dan mendekatI Cinta. &ldqu
Tidak aku percaya semua kondisi ini semakin membuatku resah. Apalagi dengan kekadiran Minah yang melekat kayak perangko. Dia mengikutiku kemana saja. Perasaan Cinta pasti akan sangat sakit saat melihatnya. Bagaimana jika kita bersama dengan wanita yang dicalonkan buat suami kita selalu berada di tengah-tengah kita? Aku sangat memahaminya. Aku sendiri menahan perasaan itu. Semoga Cinta bisa melalui kondisi ini.Sambil berjalan, aku segera masuk ke dalam kamar di mana Cinta sudah terbaring lemas dengan selang infus yang sudah menancap di lengan kanannya. Lirikan sayu dia lemparkan ke arahku. Tanpa memperhatikan sekitar, aku terus mendekati Cinta yang kini telapak tangannya ada digenggamanku.“Cinta …,” lirihku. Dia hanya melirik belakangku. Yah, melirik calon istri keduaku dan sahabat konyolku yang super baik bernama si ganteng Rahman, katanya.“Cinta, anggap mereka tidak ada. Dan hanya aku suamimu yang sangat tampan ini yang berada di kam
Tamparan keras melayang di pipi kanan Minah. Cinta menarik bungkus bulat berisi cairan infus dari tiang besi yang menyangganya. Dia berjalan mendekati Minah dan, “Plak!” Suaranya sangat kencang sekali. Minah diam seketika menatap tajam Cinta.Aku dan Rahman diam melotot saat melihatnya. Minah menarik napas panjang, dan dia sangat murka. “Aku, akan mengadukan ini, hingga membuatmu terpisah dengan Agus sampai kita menikah!” bentakan Minah membuatku tersulut emosi. Tidak aku percaya dia mengatakan hal gila.“Minah, kau harus pulang bersama Rahman, dan tidak boleh menolak. Cinta, membutuhkan istirahat, dan kalian harus pergi dari sini,” tegasku membuat Rahman ketakutan segera menarik Minah paksa.“Lepaskan!” Minah meronta, tidak membuat Rahman menyerah. Dia mengangkat tubuh Minah hingga akhirnya berhasil membawanya keluar kamar. Aku segera berjalan mengunci pintu kamar dua kali tekanan.“Rahman!” ter
Aku tidak percaya Rahman mengendap masuk ke dalam halaman belakang rumahku tepat di bawah jendela rumahku di lantai dua. “Man, kamu lewat mana?” bisikku namun keras. Hingga suaraku terasa serak.“Gus, pakai tali, turun. Aku nanti akan mengalihkan perhatian semua pengawal. Wes yo. Kamu cerdas. Pikirkan cara itu,” teriakan pelan Rahman. Tepatnya teriakan pakai suara dalam.“Tapi, aku harus memakai tali apa?” batinku mencari cara yang tepat dan hisa aku gunakan untuk menuruni kamar yang lumayan tinggi ini.“Duh, aku tidak tahu harus pakai apa ini.”Aku kembali berjalan di balkon melihat Rahman yang sudah tidak ada di sana. “Kemana, dia?” batinku menatap semua arah. Ternyata Rahman berbicara kepada pengawal menyogoknya dengan rokok yang begitu banyak. Tapi, aku masih tidak tahu bagaimana mencari cara untuk menuruni jendela kamarku, hingga aku kembali melihat batang pohon yang berdiri tegak di pinggir
Kami berdua saling berpelukan hingga terdengar suara perutku, “Kriuk!” Aku memegangnya. Tentu saja aku lapar. Habis senam sama Cinta. Senam Cinta ala-ala melayang.“Cinta, bangun!” Tanpa aku sadari, Cinta ternyata sudah terlelap. “Hmm, enak banget. Udah dapat vitamin tidur. Aku ini kekurangan vitamin,” gumamku mengecup keningnya dan perlahan menuruni ranjang.Aku mengatur selimut agar menutupi tubuh Cinta, dan aku mengendap membuka pintu kamar Cinta. Ruangannya sudah gelap. Pastilah, ini tengah malam. Semua penghuni rumah sudah tidur. Tapi, ini sesuatu yang menguntungkanku. Aku bisa dengan mudah mengambil sesuatu di kulkas.Dengan masih mengendap, aku perlahan menuruni tangga berputar ini. Rumah Cinta besar sekali walaupun besar rumahku. Pantas dia wanita popular di kampus. Tapi, sekarang istri popular, hehe.“Kulkas, yes,” ucapku gembira. Aku mengambil snack dan es krim. Lalu keripik tempe kesukaanku. Aku s
Tamparan keras Cinta layangkan di pipi kananku. Dengan kaku aku menarik dan memeluknya. Aku sangat paham dengan perasaannya. Aku tidak akan marah dengan apa yang sudah dia lakukan. Ini semua karena Cinta sudah sangat putus asa dengan keadaannya.“Aku mohon suamiku, pergilah. Kita tetap akan menjadi suami istri, berapapun banyak nanti istrimu,” jawab Cinta membuatku melotot.“Emang baju, punya banyak?” protesku.“Suamiku, kita akan bertemu lagi. Ingat perkataanmu tadi malam. Keajaiban akan terjadi,” kata Cinta membuatku mengangguk dan akhirnya mengikuti Bapak.“Maafkan aku. Baiklah, aku pergi dulu,” kata Bapak menepuk pundak Bapak Cinta sambil mengangguk. Ibu Cinta memeluk Cinta sambil menangis. Cinta hanya diam melambai ke arahku. Aku segera memasuki mobil dengan Bapak dan melesat.Di dalam mobil, kami hanya diam. Sopir sering kali mengernyit melihat kami di kaca spion. Tapi, dia juga diam, hingga, &l
Baju beskap putih berkalungkan melati sudah aku pakai dengan lengkap. Rahman masih sesenggukan di kursi mengamatiku. Dia seperti hantu yang menangis di tempat gelap dengan mengerikan.“Man, hentikan! Kamu itu nangis di pojokan kayak gitu. Wes, diam!”“Huhuhu, Gus! Kamu nanti malam ama Minah melayangkan roket. Aku bagaimana?”“Wes, aku nati kabur habis ijab. Pokoknya kabur aku. Atau, aku mengulur tidak menjawab ijab, kamu culik Minah pakai topeng, bawa dia pergi. Gimana?” Saranku yang membuat Rahman diam seketika.“Gus, kamu ndak lupa, pengawal bapakmu serem kayak gitu. Lalu, bagaimana aku nanti? Bisa remek kayak rempeyek Gus.” Rahman kesal menyandarkan tubuhnya lagi di sofa melanjutkan tangisannya. “Huaaa, Minah bidadariku turun dari sedan, Mas Rahman sudah edan ini. Minah!” teriaknya membuat aku semakin ikut sedih. Sudah, aku biarkan saja dia. Kakiku melangkah menatap halaman rumah yang sudah di
Dokter membuatku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Semua undangan bersalaman. Ternyata mereka juga senang dengan kabar bahagia ini. Mungkin mereka sebenarnya ikut merasakan penderitaanku jika menikah lagi.Cinta tersenyum lemah memandangku. Kedua matanya berlinang air mata. Salah satu tangannya membelai pipiku. Aku memegangnya sambil sesenggukan. Kami tersenyum dengan saling menatap, namun menangis bahagia. Perjuangan untuk menghasilkan ahli waris akhirnya bisa tercapai.Dengan kedua mata yang masih basah, aku menolehkan wajah ke arah Bapak. “Pak, ijinkan Agus membawa istri ke rumah sakit. Dia hamil, Pak,” ucapku parau dengan tetesan air mata yang masih saja berlinang deras membasahi pipiku.Bapak menganggukkan kepala dengan tersenyum. Kini aku menolehkan pandangan ke wajah penyemangat hatiku. “Ibu, terima kasih semangat dan doa yang sudah terkabul. Cinta hamil, Bu. Agus tidak perlu melakukan peralihan ahli waris,” kataku dan ibu
Mobil Rahman terhenti dengan cepat plus mendadak. Aku memegang dadaku yang rasanya ingin meledak. Pekikan Cinta membuatku bersama Rahman ingin melompat saja.“Mangga di pantai?” tanyaku mengernyit. “Mana ada mangga di sana? Yang ada kepala!” tegas Rahman semakin membuatku kesal. “Kelapa! Kepalamu itu pikirannya Minah saja sampai salah ucap,” protesku. Sementara Rahman menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak terasa gatal. Samponya saja harganya jutaan. Tidak mungkin dia berketombe.“Duh, kalian ini ya, kerjaannya ribut saja. Aku ini mual, dan mau makan mangga, tapi yang tumbuh di pantai. Udah, antar ke rumah ibu, dan carikan aku mangga itu!”Tidak bisa aku percaya permintaan Cinta sangat aneh. Yang penting aku akan mengusahakannya. “Man, ayo kita antar Cinta pulang, lalu menuju pantai.”Rahman menyalakan mesin mobil kembali dan melesat menuju rumah Cinta dalam waktu lumayan singkat. Ibu Cint
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny