Kami berdua saling berpelukan hingga terdengar suara perutku, “Kriuk!” Aku memegangnya. Tentu saja aku lapar. Habis senam sama Cinta. Senam Cinta ala-ala melayang.
“Cinta, bangun!” Tanpa aku sadari, Cinta ternyata sudah terlelap. “Hmm, enak banget. Udah dapat vitamin tidur. Aku ini kekurangan vitamin,” gumamku mengecup keningnya dan perlahan menuruni ranjang.
Aku mengatur selimut agar menutupi tubuh Cinta, dan aku mengendap membuka pintu kamar Cinta. Ruangannya sudah gelap. Pastilah, ini tengah malam. Semua penghuni rumah sudah tidur. Tapi, ini sesuatu yang menguntungkanku. Aku bisa dengan mudah mengambil sesuatu di kulkas.
Dengan masih mengendap, aku perlahan menuruni tangga berputar ini. Rumah Cinta besar sekali walaupun besar rumahku. Pantas dia wanita popular di kampus. Tapi, sekarang istri popular, hehe.
“Kulkas, yes,” ucapku gembira. Aku mengambil snack dan es krim. Lalu keripik tempe kesukaanku. Aku s
Tamparan keras Cinta layangkan di pipi kananku. Dengan kaku aku menarik dan memeluknya. Aku sangat paham dengan perasaannya. Aku tidak akan marah dengan apa yang sudah dia lakukan. Ini semua karena Cinta sudah sangat putus asa dengan keadaannya.“Aku mohon suamiku, pergilah. Kita tetap akan menjadi suami istri, berapapun banyak nanti istrimu,” jawab Cinta membuatku melotot.“Emang baju, punya banyak?” protesku.“Suamiku, kita akan bertemu lagi. Ingat perkataanmu tadi malam. Keajaiban akan terjadi,” kata Cinta membuatku mengangguk dan akhirnya mengikuti Bapak.“Maafkan aku. Baiklah, aku pergi dulu,” kata Bapak menepuk pundak Bapak Cinta sambil mengangguk. Ibu Cinta memeluk Cinta sambil menangis. Cinta hanya diam melambai ke arahku. Aku segera memasuki mobil dengan Bapak dan melesat.Di dalam mobil, kami hanya diam. Sopir sering kali mengernyit melihat kami di kaca spion. Tapi, dia juga diam, hingga, &l
Baju beskap putih berkalungkan melati sudah aku pakai dengan lengkap. Rahman masih sesenggukan di kursi mengamatiku. Dia seperti hantu yang menangis di tempat gelap dengan mengerikan.“Man, hentikan! Kamu itu nangis di pojokan kayak gitu. Wes, diam!”“Huhuhu, Gus! Kamu nanti malam ama Minah melayangkan roket. Aku bagaimana?”“Wes, aku nati kabur habis ijab. Pokoknya kabur aku. Atau, aku mengulur tidak menjawab ijab, kamu culik Minah pakai topeng, bawa dia pergi. Gimana?” Saranku yang membuat Rahman diam seketika.“Gus, kamu ndak lupa, pengawal bapakmu serem kayak gitu. Lalu, bagaimana aku nanti? Bisa remek kayak rempeyek Gus.” Rahman kesal menyandarkan tubuhnya lagi di sofa melanjutkan tangisannya. “Huaaa, Minah bidadariku turun dari sedan, Mas Rahman sudah edan ini. Minah!” teriaknya membuat aku semakin ikut sedih. Sudah, aku biarkan saja dia. Kakiku melangkah menatap halaman rumah yang sudah di
Dokter membuatku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Semua undangan bersalaman. Ternyata mereka juga senang dengan kabar bahagia ini. Mungkin mereka sebenarnya ikut merasakan penderitaanku jika menikah lagi.Cinta tersenyum lemah memandangku. Kedua matanya berlinang air mata. Salah satu tangannya membelai pipiku. Aku memegangnya sambil sesenggukan. Kami tersenyum dengan saling menatap, namun menangis bahagia. Perjuangan untuk menghasilkan ahli waris akhirnya bisa tercapai.Dengan kedua mata yang masih basah, aku menolehkan wajah ke arah Bapak. “Pak, ijinkan Agus membawa istri ke rumah sakit. Dia hamil, Pak,” ucapku parau dengan tetesan air mata yang masih saja berlinang deras membasahi pipiku.Bapak menganggukkan kepala dengan tersenyum. Kini aku menolehkan pandangan ke wajah penyemangat hatiku. “Ibu, terima kasih semangat dan doa yang sudah terkabul. Cinta hamil, Bu. Agus tidak perlu melakukan peralihan ahli waris,” kataku dan ibu
Mobil Rahman terhenti dengan cepat plus mendadak. Aku memegang dadaku yang rasanya ingin meledak. Pekikan Cinta membuatku bersama Rahman ingin melompat saja.“Mangga di pantai?” tanyaku mengernyit. “Mana ada mangga di sana? Yang ada kepala!” tegas Rahman semakin membuatku kesal. “Kelapa! Kepalamu itu pikirannya Minah saja sampai salah ucap,” protesku. Sementara Rahman menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak terasa gatal. Samponya saja harganya jutaan. Tidak mungkin dia berketombe.“Duh, kalian ini ya, kerjaannya ribut saja. Aku ini mual, dan mau makan mangga, tapi yang tumbuh di pantai. Udah, antar ke rumah ibu, dan carikan aku mangga itu!”Tidak bisa aku percaya permintaan Cinta sangat aneh. Yang penting aku akan mengusahakannya. “Man, ayo kita antar Cinta pulang, lalu menuju pantai.”Rahman menyalakan mesin mobil kembali dan melesat menuju rumah Cinta dalam waktu lumayan singkat. Ibu Cint
TES DNA …“Cinta, kamu itu jangan sembarangan kalau bicara. Sekarang katakan kepada bule kampung ini!”“Hoho, aku bukan bule kampung. Aku bule kota!” balasnya melirikku tajam yang aku balas dengan pelototan sebesar mata boneka panda yang akhirnya sedikit membuat dia mencep.“Cinta, kok diam saja?” tanyaku kembali.“Suamiku, aku tidak mau membahas masalah ini. Yang aku mau, sekarang mangga di pantai. Harus bau laut. Huek, huek! Aku mual, sudah dulu ya,” katanya menutup ponselnya dengan segera. Aku berjalan mendekati bule itu yang namanya Ben.“Kamu, pergilah!” perintah yang tidak membuat dia menurut. Dia malah menggeleng sambil tersenyum.“Aku ambil Cinta dulu, baru aku pergi,” jawabnya santai sambil mengelap kaca mata hitamnya persis dengan Rahman. Tanpa berbicara lagi, aku berjalan akan masuk ke dalam mobil dan memutuskan mengabaikannya. Namun, Rahman menarikku.
Aku hanya diam menerima perkataan yang membuatku sangat menderita. Cinta itu sepertinya sengaja melakukannya. Suka kalau aku merasa cemburu. Wes, aku akan membiarkan saja. Rahman masih saja saling melotot dengan Ben.“Cinta, aku capek dan mau masuk ke dalam kamarmu,” kataku menjulurkan lidah kepada bule kota itu. Dia tidak menghiraukanku dan masih saja memandang Cinta yang asik memakan mangga.“Cukup, pulanglah Ben. Kenapa kau masih di sini?” Akhirnya Cinta mengusirnya, dan aku lega melihatnya. Aku semakin tersenyum, rasanya puas dengan apa yang aku lihat.“Rasain, kamu diusir. Wes, pulang sana!” bentakku. Cinta berdiri mendekati Ben. Rahman di sebelahnya bersiaga, dan aku kembali mendekatinya.“Cinta, pelase I love so much,” katanya bersujud. Tidak aku percaya, semakin melihat sinetron di rumah ini.“Eh, jangan pakai bersujud! Kayak mau melamar saja,” selaku menarik Cinta agar tidak di ha
Pirang? Apakah itu memang anaknya si bule itu? Tidak mungkin dan itu mustahil. Aku masih diam tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Tidak mungkin aku meragukan kehamilan Cinta. Sudah jelas-jelas itu adalah anakku dan aku ayahnya.“Gus, kamu tidak apa-apa?” tanya Rahman kembali. Aku hanya diam mengacak-acak rambutku sendiri. Sudah beres masalah satu, tumbuh satunya lagi. Persis seperti pepatah. Mati satu tumbuh seribu. Ya, inilah hidup. Cobaan selalu ada. Sebagai kepala rumah tangga, aku harus mengatasi masalah ini dengan hati jernih. Walaupun sebenarnya hatiku keruh, sekeruh air bak yang tidak dikuras.“Man, ndak mungkin dia itu anak bule itu. Aku yang jelas-jelas selalu bersamanya. Jangan ngawur kamu!” bentakku, tapi nadanya tidak terlalu tinggi. Rahman manggut-manggut saja di hadapanku. Dia merasa tidak bersalah sudah mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkanku pagi-pagi sekali ditambah pantunnya yang menggelegar itu. Tapi, itulah kelebihanny
Bunga dari Ben? Ini sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Aku akan segera menonjok muka bule itu, membawanya ke pantai agar menjadi gosong. “Man, harus kita hentikan sekarang! Dan kali ini aku yang akan membuatnya memar,” tegasku melepaskan jas. Lalu mengulung lengan kemeja panjangku. Pintu mobil segera aku buka.“Tut, tut!” Ponselku kembali berdering dengan tiba-tiba. Cinta ternyata menghubungiku lagi. Aku kembali masuk ke dalam mobil menerimanya.“Cinta, kenapa?” tanyaku gelisah.“Agus, aku mau ke dokter. Perutku rasanya sangat mual sekali,” jawabnya membuatku resah.“Baik, aku tidak ke kantor dan akan kembali pulang. Tunggu aku di rumah!” Aku menutup ponsel. “Man—” Aku menolehkan pandanganku, tidak menemukan Rahman di depan kursi kemudi. Kutolehkan pandanganku ke kanan kiri, masih saja tidak menemukannya. Saat kedua mataku melihat ke depan, ternyata Rahman jongkok memasang kamer
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny