Baju beskap putih berkalungkan melati sudah aku pakai dengan lengkap. Rahman masih sesenggukan di kursi mengamatiku. Dia seperti hantu yang menangis di tempat gelap dengan mengerikan.
“Man, hentikan! Kamu itu nangis di pojokan kayak gitu. Wes, diam!”
“Huhuhu, Gus! Kamu nanti malam ama Minah melayangkan roket. Aku bagaimana?”
“Wes, aku nati kabur habis ijab. Pokoknya kabur aku. Atau, aku mengulur tidak menjawab ijab, kamu culik Minah pakai topeng, bawa dia pergi. Gimana?” Saranku yang membuat Rahman diam seketika.
“Gus, kamu ndak lupa, pengawal bapakmu serem kayak gitu. Lalu, bagaimana aku nanti? Bisa remek kayak rempeyek Gus.” Rahman kesal menyandarkan tubuhnya lagi di sofa melanjutkan tangisannya. “Huaaa, Minah bidadariku turun dari sedan, Mas Rahman sudah edan ini. Minah!” teriaknya membuat aku semakin ikut sedih. Sudah, aku biarkan saja dia. Kakiku melangkah menatap halaman rumah yang sudah di
Dokter membuatku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Semua undangan bersalaman. Ternyata mereka juga senang dengan kabar bahagia ini. Mungkin mereka sebenarnya ikut merasakan penderitaanku jika menikah lagi.Cinta tersenyum lemah memandangku. Kedua matanya berlinang air mata. Salah satu tangannya membelai pipiku. Aku memegangnya sambil sesenggukan. Kami tersenyum dengan saling menatap, namun menangis bahagia. Perjuangan untuk menghasilkan ahli waris akhirnya bisa tercapai.Dengan kedua mata yang masih basah, aku menolehkan wajah ke arah Bapak. “Pak, ijinkan Agus membawa istri ke rumah sakit. Dia hamil, Pak,” ucapku parau dengan tetesan air mata yang masih saja berlinang deras membasahi pipiku.Bapak menganggukkan kepala dengan tersenyum. Kini aku menolehkan pandangan ke wajah penyemangat hatiku. “Ibu, terima kasih semangat dan doa yang sudah terkabul. Cinta hamil, Bu. Agus tidak perlu melakukan peralihan ahli waris,” kataku dan ibu
Mobil Rahman terhenti dengan cepat plus mendadak. Aku memegang dadaku yang rasanya ingin meledak. Pekikan Cinta membuatku bersama Rahman ingin melompat saja.“Mangga di pantai?” tanyaku mengernyit. “Mana ada mangga di sana? Yang ada kepala!” tegas Rahman semakin membuatku kesal. “Kelapa! Kepalamu itu pikirannya Minah saja sampai salah ucap,” protesku. Sementara Rahman menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak terasa gatal. Samponya saja harganya jutaan. Tidak mungkin dia berketombe.“Duh, kalian ini ya, kerjaannya ribut saja. Aku ini mual, dan mau makan mangga, tapi yang tumbuh di pantai. Udah, antar ke rumah ibu, dan carikan aku mangga itu!”Tidak bisa aku percaya permintaan Cinta sangat aneh. Yang penting aku akan mengusahakannya. “Man, ayo kita antar Cinta pulang, lalu menuju pantai.”Rahman menyalakan mesin mobil kembali dan melesat menuju rumah Cinta dalam waktu lumayan singkat. Ibu Cint
TES DNA …“Cinta, kamu itu jangan sembarangan kalau bicara. Sekarang katakan kepada bule kampung ini!”“Hoho, aku bukan bule kampung. Aku bule kota!” balasnya melirikku tajam yang aku balas dengan pelototan sebesar mata boneka panda yang akhirnya sedikit membuat dia mencep.“Cinta, kok diam saja?” tanyaku kembali.“Suamiku, aku tidak mau membahas masalah ini. Yang aku mau, sekarang mangga di pantai. Harus bau laut. Huek, huek! Aku mual, sudah dulu ya,” katanya menutup ponselnya dengan segera. Aku berjalan mendekati bule itu yang namanya Ben.“Kamu, pergilah!” perintah yang tidak membuat dia menurut. Dia malah menggeleng sambil tersenyum.“Aku ambil Cinta dulu, baru aku pergi,” jawabnya santai sambil mengelap kaca mata hitamnya persis dengan Rahman. Tanpa berbicara lagi, aku berjalan akan masuk ke dalam mobil dan memutuskan mengabaikannya. Namun, Rahman menarikku.
Aku hanya diam menerima perkataan yang membuatku sangat menderita. Cinta itu sepertinya sengaja melakukannya. Suka kalau aku merasa cemburu. Wes, aku akan membiarkan saja. Rahman masih saja saling melotot dengan Ben.“Cinta, aku capek dan mau masuk ke dalam kamarmu,” kataku menjulurkan lidah kepada bule kota itu. Dia tidak menghiraukanku dan masih saja memandang Cinta yang asik memakan mangga.“Cukup, pulanglah Ben. Kenapa kau masih di sini?” Akhirnya Cinta mengusirnya, dan aku lega melihatnya. Aku semakin tersenyum, rasanya puas dengan apa yang aku lihat.“Rasain, kamu diusir. Wes, pulang sana!” bentakku. Cinta berdiri mendekati Ben. Rahman di sebelahnya bersiaga, dan aku kembali mendekatinya.“Cinta, pelase I love so much,” katanya bersujud. Tidak aku percaya, semakin melihat sinetron di rumah ini.“Eh, jangan pakai bersujud! Kayak mau melamar saja,” selaku menarik Cinta agar tidak di ha
Pirang? Apakah itu memang anaknya si bule itu? Tidak mungkin dan itu mustahil. Aku masih diam tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Tidak mungkin aku meragukan kehamilan Cinta. Sudah jelas-jelas itu adalah anakku dan aku ayahnya.“Gus, kamu tidak apa-apa?” tanya Rahman kembali. Aku hanya diam mengacak-acak rambutku sendiri. Sudah beres masalah satu, tumbuh satunya lagi. Persis seperti pepatah. Mati satu tumbuh seribu. Ya, inilah hidup. Cobaan selalu ada. Sebagai kepala rumah tangga, aku harus mengatasi masalah ini dengan hati jernih. Walaupun sebenarnya hatiku keruh, sekeruh air bak yang tidak dikuras.“Man, ndak mungkin dia itu anak bule itu. Aku yang jelas-jelas selalu bersamanya. Jangan ngawur kamu!” bentakku, tapi nadanya tidak terlalu tinggi. Rahman manggut-manggut saja di hadapanku. Dia merasa tidak bersalah sudah mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkanku pagi-pagi sekali ditambah pantunnya yang menggelegar itu. Tapi, itulah kelebihanny
Bunga dari Ben? Ini sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Aku akan segera menonjok muka bule itu, membawanya ke pantai agar menjadi gosong. “Man, harus kita hentikan sekarang! Dan kali ini aku yang akan membuatnya memar,” tegasku melepaskan jas. Lalu mengulung lengan kemeja panjangku. Pintu mobil segera aku buka.“Tut, tut!” Ponselku kembali berdering dengan tiba-tiba. Cinta ternyata menghubungiku lagi. Aku kembali masuk ke dalam mobil menerimanya.“Cinta, kenapa?” tanyaku gelisah.“Agus, aku mau ke dokter. Perutku rasanya sangat mual sekali,” jawabnya membuatku resah.“Baik, aku tidak ke kantor dan akan kembali pulang. Tunggu aku di rumah!” Aku menutup ponsel. “Man—” Aku menolehkan pandanganku, tidak menemukan Rahman di depan kursi kemudi. Kutolehkan pandanganku ke kanan kiri, masih saja tidak menemukannya. Saat kedua mataku melihat ke depan, ternyata Rahman jongkok memasang kamer
Kejadian beberapa menit sebelumnya.Cinta masuk ke dalam ruangan mengikuti sang Dokter. Aku masih menerima es dari Rahman dan tanpa sadar melakukan hal konyol yang dia lakukan. Rambutku sangat basah akibat lelehan es batu di atas kepalaku. Tapi, benar katanya. Kepalaku yang sangat gerah jadi dingin.“Cinta, im coming,” kata bule itu, akan ikut masuk ke dalam ruangan dokter. Aku spontan melempar bungkus es dan berlari. Kerah hem merah norak yang masih dia pakai, aku tarik kencang. Dia menahan tangannya di pinggir pintu.“What!” teriakknya. Rahman berdiri menyusulku ikut menarik kerah itu hingga molor, semakin membuat Ben kewalahan.“Oh my!” teriaknya masih menahan tangannya yang mulai melonggar.“Keluar kamu!” ucapku spontan melempar tubuhnya yang berhasil terlepas dari pegangan pintu. “Man, cegah dia!” teriakku membuat Rahman, “Buk!” Menjatuhkan tubuhnya di atas Ben, &ldq
Cinta malah menarik resletingku. Wanita hamil kok kuat begini, ya? Aku tidak mau melakukannya. Dia masih saja hamil, dan aku sebagai laki-laki harus menahan. Tangan Cinta yang sudah masuk ke dalam celanaku aku tahan seketika. Mulut Cinta cemberut kayak kerucut.“Cinta, kita ini baru saja selesai pulang. Bagaimana kalau kita mandi saja. Gerah banget. Gara bule edan itu, aku sangat berkeringat. Aku mandiin kamu ya, ama sabun, nanti aku gosok perlahan. Setelah itu, aku akan masakin dan kita akan menyebar berita gembira ini. Ahli waris kembar. Gimana?” rayuku yang membuat Cinta akhirnya menganggukkan kepala. Tapi, “Loh, Cinta …,” lirihku semakin tidak kuat melihat dia masih saja membelai belalai nakal ini. Ya, wes aku nyerah!“Iya bagaimana kalau kayak gitu?” Tanganku mengkipas-kipas belalai yang semakin memanjang ini.“Percuma di kipas. Emangnya sate?” Cinta tersenyum mengambil sepiring buah apel yang berada di