Bunga dari Ben? Ini sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Aku akan segera menonjok muka bule itu, membawanya ke pantai agar menjadi gosong. “Man, harus kita hentikan sekarang! Dan kali ini aku yang akan membuatnya memar,” tegasku melepaskan jas. Lalu mengulung lengan kemeja panjangku. Pintu mobil segera aku buka.
“Tut, tut!” Ponselku kembali berdering dengan tiba-tiba. Cinta ternyata menghubungiku lagi. Aku kembali masuk ke dalam mobil menerimanya.
“Cinta, kenapa?” tanyaku gelisah.
“Agus, aku mau ke dokter. Perutku rasanya sangat mual sekali,” jawabnya membuatku resah.
“Baik, aku tidak ke kantor dan akan kembali pulang. Tunggu aku di rumah!” Aku menutup ponsel. “Man—” Aku menolehkan pandanganku, tidak menemukan Rahman di depan kursi kemudi. Kutolehkan pandanganku ke kanan kiri, masih saja tidak menemukannya. Saat kedua mataku melihat ke depan, ternyata Rahman jongkok memasang kamer
Kejadian beberapa menit sebelumnya.Cinta masuk ke dalam ruangan mengikuti sang Dokter. Aku masih menerima es dari Rahman dan tanpa sadar melakukan hal konyol yang dia lakukan. Rambutku sangat basah akibat lelehan es batu di atas kepalaku. Tapi, benar katanya. Kepalaku yang sangat gerah jadi dingin.“Cinta, im coming,” kata bule itu, akan ikut masuk ke dalam ruangan dokter. Aku spontan melempar bungkus es dan berlari. Kerah hem merah norak yang masih dia pakai, aku tarik kencang. Dia menahan tangannya di pinggir pintu.“What!” teriakknya. Rahman berdiri menyusulku ikut menarik kerah itu hingga molor, semakin membuat Ben kewalahan.“Oh my!” teriaknya masih menahan tangannya yang mulai melonggar.“Keluar kamu!” ucapku spontan melempar tubuhnya yang berhasil terlepas dari pegangan pintu. “Man, cegah dia!” teriakku membuat Rahman, “Buk!” Menjatuhkan tubuhnya di atas Ben, &ldq
Cinta malah menarik resletingku. Wanita hamil kok kuat begini, ya? Aku tidak mau melakukannya. Dia masih saja hamil, dan aku sebagai laki-laki harus menahan. Tangan Cinta yang sudah masuk ke dalam celanaku aku tahan seketika. Mulut Cinta cemberut kayak kerucut.“Cinta, kita ini baru saja selesai pulang. Bagaimana kalau kita mandi saja. Gerah banget. Gara bule edan itu, aku sangat berkeringat. Aku mandiin kamu ya, ama sabun, nanti aku gosok perlahan. Setelah itu, aku akan masakin dan kita akan menyebar berita gembira ini. Ahli waris kembar. Gimana?” rayuku yang membuat Cinta akhirnya menganggukkan kepala. Tapi, “Loh, Cinta …,” lirihku semakin tidak kuat melihat dia masih saja membelai belalai nakal ini. Ya, wes aku nyerah!“Iya bagaimana kalau kayak gitu?” Tanganku mengkipas-kipas belalai yang semakin memanjang ini.“Percuma di kipas. Emangnya sate?” Cinta tersenyum mengambil sepiring buah apel yang berada di
Kami segera pergi ke rumah Bapak. Rapat keluarga besar sudah akan dilakukan. Semua keluarga sudah berkumpul dengan wajah tegang, termasuk Bapak yang bersebelahan depan Sesepuh duduk saling berbisik.Aku bersebelahan dengan Cinta, hanya diam tanpa berani mengucap apapun juga. Mereka masih berbisik hingga Bapak akhirnya berdiri di antara kami semua. Rahman yang berada di depanku, menatapku tegang. Sementara, ibuku memegang telapak tanganku yang mulai berkeringat. Kami semua menunggu bagaimana hasil dari bisikan misteri Bapak dengan Sesepuh.“Baiklah, saya akan membuka acara ini. Jadi, cucuku kembar dan berjenis kelamin apa kita belum mengetahuinya. Karena anak saya lupa menanyakan kepada dokter.” Bapak melirikku sinis. Aku menunduk. Entahlah kenapa aku tidak menanyakan. Dan, kenapa dokter itu juga tidak memberitahukan kami. Cinta duduk santai, sambil mengelus-elus perutnya.“Sedangkan ahli waris ini hanya berlaku satu orang saja. Jadi, kita akan
Cinta datang di hadapan kami bertiga. Dia sangat marah mendengar apa yang Ben ucapkan. Aku serontak berdiri memeluknya. Aku tidak mau ada masalah yang bisa mengganggu kehamilannya.“Ben, jika kamu menolong Minah untuk melakukan itu, aku akan mencincangmu menjadi daging steak!” bentaknya membuat Ben menelan salivanya. “Glek!”“Steaknya pasti alot,” gumam Rahman dan aku mengangguk. “Alot dan pahit, hitam,” jawabku.“Gus, dia ndak mungkin hitam. Kulitnya putih, otomatis dagingnya putih,” bantah Rahman membuatku kesal.“Man, kan, bisa hitam itu karena gosong. Mau putih, kalau gosong ya hitam,” balasku melotot, dia memutar bola matanya. “Bener juga ya, Gus,” jawabnya menganggukkan kepala.“Huh, sudah cukup. Ben, pergilah!” teriak Cinta semakin membuatku kawatir. Rahman diam seketika. Namun, Ben masih tidak menyerah.“Cinta, im sory. Aku tidak ber
Cinta sangat terkejut dengan apa yang dia dengar. Aku tanpa sengaja meletakkan ponselku di mikropon yang masih menyala. Semua pengunjung supermarket dan pegawai menatapku seolah-olah aku adalah penjahat dalam sebuah drama. Aku segera memberikan mikropon itu kembali kepada pegawai laki-laki yang melotot. “Mas, aku berikan kembali. Maaf sudah membuat keributan,” ucapku sambil meringis.“Laki-laki istri hamil, kok malah seperti itu,” sindirnya membuatku menarik napas. Semua pengunjung masih berbisik. Tatapan mereka sinis, menusuk, dan sadis. Aku mematikan ponselku berlari mendekati Cinta.“Cinta, jangan menuduhku macam-macam. Aku tidak tahu Minah menghubungiku. Percayalah kepadaku, Cinta!” kataku tegas berusaha membuat Cinta mempercayainya.“Agus, kamu sudah mempermalukanku. Aku seperti wanita hamil dengan suami yang jahat. Kamu menyebalkan,” protes Cinta menarikku. Dia meninggalkan semua belanjaan dan membiarkannya b
Rahman berlari menuju kamar Minah, begitu juga dengan Cinta karena mendadak mendapat pesan dari seseorang yang tidak dia kenal.“Rahman?” Cinta melotot menatap Rahman berada di luar kamar. Sementara, rencana yang sebenarnya adalah, “ Man, nanti kamu itu yang masuk ke dalam kamar Minah. Terus, kamu nyatakan Cinta kepadanya. Aku bersama Cinta akan mengatakan kepada Minah, jika laki-laki yang tepat untuk dirinya adalah dirimu. Kamu beli cincin ya, Man,” bisikan Agus saat itu di rumah Cinta sebelum menuju ke hotel.“Mbak Cinta kok ikut naik? Bukannya harus ke restaurant saja?” tanya Rahman dengan kaku sambil menunjukkan jarinya ke arah belakang posisinya. Mendadak, Cinta menarik lengan Rahman. “Sudah jangan banyak bertanya. Ini sangat tidak baik,” ucap Cinta melangkah cepat menuju kamar Minah masih mencengkeram lengan Rahman yang juga mengikutinya dengan tegang.“Jalanan di kota Roma penuh dengan serdadu. Ada apa
Kedua mataku mengernyip, melihat mobil peyok sport yang tidak asing memasuki halaman rumah sambil dikejar satpam. Aku sontak terbelalak semakin meyakinkan jika itu adalah bule kota edan yang kembali datang. Sudah aku peringatkan untuk tidak masuk ke dalam rumah ini lagi. Lha kok dia malah melanggar. Ini tidak bisa dibiarkan. Pengen ta pites aja itu orang. Nyebelin!Aku berjalan cepat menghampirinya. Dia membuka pintu mobil sambil mengawasiku atas bawah. “Oh my, you look so bad,” katanya dengan menepuk jidat. Aku mengamati diriku sendiri. Tapi, apa yang dia katakan memang benar. Aku sangat berantakan.“Heh, jangan sok ganteng kamu. Pulang sana!” teriakku sembari menunjukkan jari ke pagar rumah. Para satpam masih diam menunggu interuksi dariku. “Satpam ba—” Mulutku tertutup saat Bapak berteriak mendadak. “Diam!” Dengan sorotan tajam Bapak mengamati kami berdua yang diam menunduk. Bagaimanapun juga, aku harus selalu me
Perkataan Rahman yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia sangat membingungkan. Aku menariknya masuk ke dalam kamar. Tidak enak jika mertuaku mendengar perkataan Rahman. “Man, kamu masuk saja. Kalau bicara jangan membuatku bingung.”Rahman masuk ke dalam. Dia membuatku bersama Cinta sangat panik. “Gus, dia mengatakan …,” ucapnya sembari menggerakkan kakinya. Aku segera memegang paha itu, membuatnya mendadak berhenti.“Kamu itu kalau ngomong jangan setengah-setengah. Sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi! Maksud kamu itu saos apa? Kalian makan bakso?!” Rahman menelan salivanya saat mendengar aku berbicara tegas. Dia menarik napas, dan mulai akan berucap kembali.“Gus, saat itu, kan, kamu sudah pergi. Nah, Minah itu menatapku dengan aneh. Dia mengatakan sebuah kalimat. Rahman, kamu harus menghamiliku! Dan aku mengeluarkan cairan merah itu. Saos itu ibarat. Masak aku harus menjelaskan, sih,” protes Ra