Perkataan Rahman yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia sangat membingungkan. Aku menariknya masuk ke dalam kamar. Tidak enak jika mertuaku mendengar perkataan Rahman. “Man, kamu masuk saja. Kalau bicara jangan membuatku bingung.”
Rahman masuk ke dalam. Dia membuatku bersama Cinta sangat panik. “Gus, dia mengatakan …,” ucapnya sembari menggerakkan kakinya. Aku segera memegang paha itu, membuatnya mendadak berhenti.
“Kamu itu kalau ngomong jangan setengah-setengah. Sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi! Maksud kamu itu saos apa? Kalian makan bakso?!” Rahman menelan salivanya saat mendengar aku berbicara tegas. Dia menarik napas, dan mulai akan berucap kembali.
“Gus, saat itu, kan, kamu sudah pergi. Nah, Minah itu menatapku dengan aneh. Dia mengatakan sebuah kalimat. Rahman, kamu harus menghamiliku! Dan aku mengeluarkan cairan merah itu. Saos itu ibarat. Masak aku harus menjelaskan, sih,” protes Ra
Bapak kembali meninggalkan kamar. Beliau memeluk Ibu yang menangis. Aku semakin tidak mengerti dengan ini. Perasaanku mengatakan jika Minah mengakui kalau dirinya di hotel denganku. Tapi, sudah jelas jika itu adalah bohong. Yang terpenting, Cinta mengetahui jika itu adalah tidak benar.“Gus, itu maksudku. Jadi gini …,” kata Rahman menceritakan kejadian saat Minah di kamar menatap dirinya di depan cermin dengan bergumam.“Hah, aku akan mengatakan jika yang membuatku kehilangan itu semua adalah Agus. Kamera cctv itu menunjukkan yang masuk ke dalam kamar tetap pelayan dengan menggunakan baju Agus. Mereka tidak akan mengetahui semua rencanaku. Bulan depan jika aku hamil, dia terpaksa akan menikahiku,” kata Rahman menirukan semua kalimat yang keluar dari mulut Minah. Aku bersama Cinta saling memandang. Tidak aku percaya Minah yang dulunya kalem, polos, dan lugu, ternyata memiliki hati seperti bunga bangkai. Sangat busuk. Cinta yang selalu berd
Aku tidak percaya melihat Cinta pingsan. Dia memang masih hamil, dan kondisinya pasti sangat lemas. Apalagi semua masalah yang menimpa. Minah sangat keterlaluan. Secepatnya aku membawa Cinta ke kamar tamu di bawah. Semua keluarga kebingungan. Ibu segera membuatkan rempah hangat. Aku menghubungi dokter untuk segera datang. Perasaanku sangat tidak enak. Sementara, Bapak berwajah sendu mendengarkan perkataan Sesepuh yang tidak aku mengerti.“Aku akan melakukan sesuatu,” batinku. Kakiku melangkah mendekati Bapak. Beliau menatapku dengan tegang. Aku sangat tahu jika kemarahan terarah kepadaku. “Bapak, biarkan aku berbicara,” ucapku pelan.“Agus, Cinta pingsan bukan karena kesalahanku. Aku hanya ingin meminta pertanggung jawaban saja,” sela Minah dengan perkataannya.“Kamu minta apa dariku? Pertanggung jawaban yang sama sekali tidak seharusnya aku berikan. Kau sudah membohongi semua orang Minah,” balasku membuat Bapak da
Masalah semakin rumit. Di pesawat aku melihat mereka dan satu lagi wanita yang sudah meribetkan kehidupanku. “Minah!” Rahman seketika membenarkan rambutnya padahal tidak berantakan. Jeli khusus rambut sudah membuat setiap helai rambutnya kaku. Bahkan tertiup angin saja tidak akan bergerak.“Kamu duduk di sana, Man. Sebelah Minah. Aku akan duduk di antara mereka,” kataku membuat Ibu menor melirikku sinis, kemudian menggelengkan kepala. Dia melarang aku menduduki kursiku sendiri karena berada di tengah.“Kalau saya tidak duduk di sini, lalu aku kemana?” tanyaku kesal.“Ke laut aje,” jawab laki gendut sambil menunjukkan jarinya. Aku tidak menghiraukan ancaman mereka. Kakiku tetap melangkah paksa menuju kursiku. Mereka tidak berkhak melarangku. Ini hakku.“Agus, aku mau duduk di sini, denganmu. Rahman harus pergi!” Minah semakin membuat suasana tidak enak. Pramugari dengan cepat menghampiri kami. Aku
Napasku semakin kencang seperti kereta api. “Tut, tut!” Suaranya kencang, berasap, dan panas. Kuatur dengan baik. Aku berusaha menenangkan jiwaku yang meronta kebingungan. Rahman menelan salivanya. Dia juga sangat bingung. Hembusan keras aku keluarkan. Mungkin kali ini aku harus mengalah dengan Ibu Menor dan Laki gendut agar bisa membawa Samsul ke Jogja. Tapi, sepertinya sangat sulit aku lakukan.“Minah, kamu itu seharusnya malu. Jangan seperti ini. Aku sudah punya istri dan dia hamil. Ingat itu!” bentakku membuat semua diam. Minah mulai memperlihatkan wajahnya yang memelas. Aku kali ini tidak akan termakan kebohongannya lagi.“Minah, jika tidak karena rencana busukmu itu, aku tidak akan mengalami hal aneh seperti ini. Kau membuat kebohongan, dan tidak berpikir akibatnya sama sekali. Gitu juga tidak malu,” ucapku masih membuatnya diam. Tapi …“Agus, aku tidak akan menyerah.” Minah seketika berubah menjadi se
Perasaanku rasanya sudah kaku. Sekaku hatiku. Bahkan, rambutku juga kaku. Hanya satu yang loyo. Belalai ini. Anteng di tempat.Kutekan nomor Cinta. Dengan cepat dia mengangkatnya.“Cinta, kamu jangan kelelahan dan capek ya. Aku tidak mau istri dan anakku mengalami hal yang buruk. Sampai itu terjadi, Ben akan aku hajar.”“Besuk, Bapak sudah menyiapkan pesawat pribadi. Kamu pulang cepat ya. Dan, jangan lupa bawa Samsul.”“Baiklah. Aku mencintaimu, Cinta.”“Aku juga.”Selang beberapa jam, mobil Samsul datang. Mereka semua keluar dari mobil. Ibu Menor mencengkeram lengan Minah. Samsul bersemu tersenyum membuat Rahman kesal. Minah hanya diam cemberut.“Kenapa kalian?” tanyaku saat mereka sudah memasuki rumah.“Minah akan menjadi istri Samsul. Dan, besuk kita ke Jogja.” Ibu Menor membuat semua diam. Minah menghampiri Rahman dan memeluknya.“Agus tida
Tanpa banyak bicara, aku mengambil jaket. Kali ini aku membutuhkan ketenangan. Kabur, itulah yang akan aku lakukan. “Cinta, kita harus pergi dari sini. Biarkan saja mereka.” Aku menarik Cinta dan mengganti bajunya.“Agus, bagaimana kita akan kabur? Apakah tidak malah membuat masalah lebih ruyam. Bapak bagaimana ama Ibu?” Cinta menatapku dengan kebingungan. Sementara aku dengan cepat mengganti pakaiannya.“Mereka akan paham, dan kita tetap akan melakukannya. Aku hanya ingin berdua denganmu tanpa ada gangguan apapun. Aku sangat capek dengan semua ini, Cinta. Pokoknya kita kabur!” kataku dengan tegas. Cinta hanya diam menuruti apa yang akan aku lakukan.Perlahan aku membuka pintu rumah. Keributan aku dengar di depan rumah. Rahman perang pantun dengan Ibu Menor. Ibu dan adik kembarku di sebelahnya hanya menggeleng. Sementara Bapak memanggil semua pengawal dan beberapa polisi untuk menuju rumah. Di ruang keluarga beliau sangat kesa
Menikah siri? Dengan siapa? Ini harus dihentikan. Aku sama sekali tidak pernah menikahi siapapun kecuali Cinta. Kemaren Minah. Sekarang entahlah siapa. Tapi … sepertinya aku mengingat sesuatu di Jakarta dan ada hubungannya dengan pernikahan. Rahayu!“Man, ini pasti ada hubungannya dengan Rahayu. Dulu aku di Jakarta akan menikahinya, tapi tidak jadi.” Rahman menatapku sambil menganggukkan kepala, tidak tahu apa yang dia pikirkan.“Kamu memang hebat, Gus. Tiga orang mau menjadi milikmu. Aku satu saja susah ini. Nasib orang ganteng,” jawabnya nesu.“Sabar, Man. Tapi, aku tidak pernah mau sama siapapun selain Cinta,” tegasku.“Agus, ayo masuk kamar!” Cinta tiba-tiba datang, dan aku spontan melihat jam tangan yang masih setia melingkar di tangan kananku. Tentu saja baru dan aku memiliki sangat banyak.“Pukul tiga malam, dan kamu tidak mual lagi?” tanyaku serius. “Bagaimana jika aku
Aku terdiam lemas di sebelah Cinta. Dia membuatku kesal kali ini. Lebih baik aku tidak berbicara dengannya. Segera aku palingkan wajahku saat dia menatap. Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Anak yang dikandungnya sudah jelas anakku. Kenapa aku harus mempertanyakannya? Tapi … aku melihat warna tubuh bayi itu pirang. Apakah aku masih mempertanyakannya? Cinta dan aku melakukan semua cara untuk membuatnya mengandung ahli waris. Lebih baik aku diam dahulu.“Agus, apa kau mengira aku bersama Ben? Jika itu yang kau pikirkan, lebih baik aku pergi saja!” Cinta memberikan sorotan tajam. Aku memang sangat bersalah jika meragukan dirinya.“Cinta, aku sangat percaya denganmu. Tapi … kau lihat sendiri anak kita berwarna pirang!” tegasku membuat Cinta berdiri dari duduknya.“Jadi, kau masih tidak mempercayai jika ini anakmu?!” teriaknya semakin membuat semua pengunjung rumah sakit menatap kami. Seketika aku menarik lengann