Aku terdiam lemas di sebelah Cinta. Dia membuatku kesal kali ini. Lebih baik aku tidak berbicara dengannya. Segera aku palingkan wajahku saat dia menatap. Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Anak yang dikandungnya sudah jelas anakku. Kenapa aku harus mempertanyakannya? Tapi … aku melihat warna tubuh bayi itu pirang. Apakah aku masih mempertanyakannya? Cinta dan aku melakukan semua cara untuk membuatnya mengandung ahli waris. Lebih baik aku diam dahulu.
“Agus, apa kau mengira aku bersama Ben? Jika itu yang kau pikirkan, lebih baik aku pergi saja!” Cinta memberikan sorotan tajam. Aku memang sangat bersalah jika meragukan dirinya.
“Cinta, aku sangat percaya denganmu. Tapi … kau lihat sendiri anak kita berwarna pirang!” tegasku membuat Cinta berdiri dari duduknya.
“Jadi, kau masih tidak mempercayai jika ini anakmu?!” teriaknya semakin membuat semua pengunjung rumah sakit menatap kami. Seketika aku menarik lengann
Rian menatapku dengan tegang. Sorotannya membuatku resah. Namun, aku berusaha mengatasi semuanya dengan tenang. Menyelesaikan dengan kepala dingin, harus aku lakukan. Yang jelas tanpa meletakkan es di atas kepalaku seperti apa yang dilakukan Rahman. Kini aku dengan cepat mendekati Rian. Nenek Suri dan Bibi saling berpegangan tangan menandakan kawatir melihatku. Mereka takut jika semua teman Rian akan menyerangku.“Agus, hati-hati,” kata Nenek pelan. Aku hanya menganggukkan kepala agar semua bisa tenang.“Kamu mau apa?” tanyaku memasang wajah garang. Aku berusaha tidak memperlihatkan wajah takut. Bagaimanapun juga, ini harus aku selesaikan dengan jantan. “Jangan berbelit, Rian. Jika kau akan menye—” Aku spontan menghentikan ucapanku saat Rian tiba-tiba bersujud di depanku, begitu juga dengan teman-temannya.“Loh, kok …” Nenek bersama Bibi saling menolehkan kepala. Mereka tidak percaya dengan apa y
Aku semakin berputus asa. Bagaimana aku menjelaskan kepada Cinta apa yang sebenarnya terjadi. Sementara aku terjebak dalam rencanaku sendiri. Kepalaku terasa pening. Ayu masih saja memelukku. Aku sangat lemas. Cinta meninggalkanku begitu saja dengan Bibi dan Nenek Suri. Hidupku sudah tidak bisa lagi tertolong.“Ayu, kamu salah! Rian yang membawa cincin ini untukmu. Bukan aku!” teriakku melepas pelukan Ayu yang masih saja menempel. Aku segera menghampiri Rian menarik telapak tangannya. Cincin yang berada di genggamanku, segera kuserahkan.“Wes, lamar Ayu! Aku mau mengejar Cinta!” Saat aku mau berlari, Rian menarik lenganku hingga aku menghentikan langkah.“Gus, jangan pergi sebelum masalah ini selesai. Aku tidak bisa melakukan sendirian!” teriak Rian. Sementara Rahman menepuk jidatnya.“Wes, akan aku atur masalah Rian!” selanya menyambung perkataan Rian. Pak RT dan ibu Ayu masih diam tidak berkomentar. Semua
Tidak aku sangka mendengar sesuatu yang sangat membuatku panik. Tubuhku kaku, hidungku buntu seakan aku sudah tidak bisa merasakan bau. Uratku terputus membuatku lemas tidak berdaya. Hatiku serasa lemas seakan aku tidak bisa bernapas lagi. Cinta …“Gus, kok lemes? Kurang vitamin ehem-ehem?” Rahman mendekatiku. “Ehem-ehem opo?” tanyaku kesal.“Vitamin alami, Gus. Yang enak itu, hehe,” katanya membuatku semakin menarik napas.Aku mencengkeram kerah bajunya membuat lehernya tercekik. “Gus, kamu bukan Agus! De-de-mit!” teriak Rahman terkejut dengan apa yang aku lakukan.“Hus! Aku Agus! Cinta … Cinta, Man!” ucapku keras menggoyang tubuhnya.“Kenopo? Sadar, Gus!” balasnya ikut berteriak.“Cinta, dibawa Ben!” teriakku semakin kencang.Ibu Cinta dan ibuku berdatangan mendekatiku. Mereka pasti sudah merasa jika Cinta tidak ada di tempat. Untung ac
Sebelum menghubungi Agus, Ben mengambil tangga dan menaiki atap. Dia terus mencari sinyal untuk bisa menghubungi Agus. Sementara Cinta di bawah merasakan perutnya sangat sakit. Sesuatu yang sangat basah sedikit membasahi bajunya bagian belakang.“Apa? Apa … ini air ketuban? Gawat!” Dia melangkah keluar sambil memegang perutnya. Kepalanya mendongak ke atas, melihat Ben berdiri di atap sambil mengarahkan ponselnya ke atas.“Ben! Bilang Agus sekarang! Suruh dia ke sini, karena air ketuban sedikit keluar!” teriak Cinta membuat Ben menginjak atap yang agak rapuh.“Wow, aku akan terjatuh. What, air degan. Ok Cinta my love. Aku sudah mendapatkan sinyal.” teriaknya segera menerima panggilan Agus. “Air ketuban! Bukan degan!” balas Cinta semakin berteriak. Namun, Ben tidak bisa menahan atap itu, dan, “Agusss …. Cinta akan me-la-hir-kan … air ketuban pe-cah ….! Arghhh! Braak!” dia
Ben tersenyum mendengar apa yang suster katakan. PIRANG! DAN ITU BERARTI!“My child!” teriaknya dan akan melangkah maju. Aku sontak menariknya.“Minggir kamu sok bule!” ucapku dengan lirikan sinis.“Agus, im bule. Oh my ..,” jawabnya yang tidak aku hiraukan.Aku berjalan mendekati suster. Bapak juga mendekatiku. Sementara kedua orang tua Cinta berpegangan tangan. Mereka tentu saja resah dengan apa yang didengar. “Suster, apa yang dikatakan tadi barusan apakah benar?” tanya Bapak mencoba menenangkanku. Dia memegang pundakku dan menganggukkan kepala. Aku kali ini diam, dan membiarkan Bapak melakukan apa yang beliau mau.“Suster, jelaskan dengan perlahan dan sebenarnya,” kata Bapak meyakinkan suster yang akhirnya menjawab setelah menarik napas.“Anak kembar itu sangat gagah, ganteng, hidungnya mbangir alias mancung. Alisnya tebal. Kulitnya bercahaya kuning langsat,” jawabny
Aku masih di depan kamar dan belum masuk. Tidak mau merusak momen kebahagiaan di antara mereka semua. Saat kepalaku menoleh ke samping kanan, Rahman berlari menghampiriku.“Gus, gawat, mateng, genting, masalah! Kita ibarat manusia dalam terjangan tsunami.” Rahman mulai lagi dengan kata-kata ndak jelasnya. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Yang tahu hanya dia. Merusak perasaannku saja. Biar saja dia tidak aku hentikan. Aku masih mau merasakan perasaan bahagiaku ini.“Gus! Kamu ndak dengar aku ngomong apa? Ini masalah hidup dan matimu! Ada teman kamu yang menyampaikan masalah terpenting dalam hidupmu kok ndak digubris kayak makan kubis,” katanya sekali lagi yang selalu saja membingungkan. Habis masalah, bicarakan kubis. Tidak jelas! Aku melengos dan dia melongo.“Gus, wajahku melongo ini lo.” Mulutnya menganga kayak ikan mas koki. Lucu konyol semakin ndak jelas.“Kamu itu, aku ini lagi merasakan hal yang sanga
“Argggghhhhh!”Suara teriakanku sangat kencang. Rahman memelukku. Aku juga memeluknya. Kami seperti sepasang kekasih. Berpelukan tidak jelas.“Man lepas! Kita ini tidak jelas!” Aku mendorong tubuhnya. Dia masih mendekatiku. Tidak aku percaya Pak Tua melewatkan kami di jalanan sepi, lewat kuburan. Angker rasanya. Sunyi, dedaunan menerpa kami dan … aku begidik.“Gus! Dia beneran genderowo. Lihat saja! Kita dilewatkan jalanan sepi kayak begini. Kuburan. Hiii …” Rahman terus membuat kami semakin diam ketakutan. Sementara Pak Tua hanya diam sesekali melirik kami memperlihatkan kedua gigi yang masih tersisa di dalam mulutnya. Wes, sebaiknya aku tanya saja.“Pak, kok melewati jalan ini? Apa ndak ada jalan lain?” tanyaku dengan memberanikan diri menatapnya.“Hmm,” jawabnya meringis lagi.“Gus, ini lebih gawat dari masalah Minah. Kita dibawa mereka. Para hantu. Mateng. Ak
Di dalam rumah sakit, Cinta masih saja saling menjambak dengan wanita misterius yang mendadak berada di belakangnya. Mereka melakukan perkelahian sengit hingga suster memanggil satpam untuk memisahkan mereka.“Loh, sudah! Ibu-ibu, ini rumah sakit! Kok malah seperti anak kecil berebutan permen saja,” kata Satpam yang akhirnya berada di antara mereka.Beberapa suster ikut memegang mereka dan memisahkannya. “Dasar Mak Lampir!” umpat Cinta membuat wanita itu segera membalas dan berkata, “Dasar Mak Erot!” teriaknya membuat Cinta melotot dan tertawa.“Hahahaha! Siapa itu Mak Erot? Ada-ada saja. Dasar, tukang ngarang, kamu!” balas Cinta masih tertawa keras.“Ehh, dia adalah tetanggaku yang paling resek, dan judes, seperti kamu!” balas Wanita itu semakin membuat Cinta mengumpat.“Dasar, Nenek Sihir!”“Apa kamu bilang?”“Sudah! Ada apa ini?” Bapak C