Ben tersenyum mendengar apa yang suster katakan. PIRANG! DAN ITU BERARTI!
“My child!” teriaknya dan akan melangkah maju. Aku sontak menariknya.
“Minggir kamu sok bule!” ucapku dengan lirikan sinis.
“Agus, im bule. Oh my ..,” jawabnya yang tidak aku hiraukan.
Aku berjalan mendekati suster. Bapak juga mendekatiku. Sementara kedua orang tua Cinta berpegangan tangan. Mereka tentu saja resah dengan apa yang didengar. “Suster, apa yang dikatakan tadi barusan apakah benar?” tanya Bapak mencoba menenangkanku. Dia memegang pundakku dan menganggukkan kepala. Aku kali ini diam, dan membiarkan Bapak melakukan apa yang beliau mau.
“Suster, jelaskan dengan perlahan dan sebenarnya,” kata Bapak meyakinkan suster yang akhirnya menjawab setelah menarik napas.
“Anak kembar itu sangat gagah, ganteng, hidungnya mbangir alias mancung. Alisnya tebal. Kulitnya bercahaya kuning langsat,” jawabny
Aku masih di depan kamar dan belum masuk. Tidak mau merusak momen kebahagiaan di antara mereka semua. Saat kepalaku menoleh ke samping kanan, Rahman berlari menghampiriku.“Gus, gawat, mateng, genting, masalah! Kita ibarat manusia dalam terjangan tsunami.” Rahman mulai lagi dengan kata-kata ndak jelasnya. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Yang tahu hanya dia. Merusak perasaannku saja. Biar saja dia tidak aku hentikan. Aku masih mau merasakan perasaan bahagiaku ini.“Gus! Kamu ndak dengar aku ngomong apa? Ini masalah hidup dan matimu! Ada teman kamu yang menyampaikan masalah terpenting dalam hidupmu kok ndak digubris kayak makan kubis,” katanya sekali lagi yang selalu saja membingungkan. Habis masalah, bicarakan kubis. Tidak jelas! Aku melengos dan dia melongo.“Gus, wajahku melongo ini lo.” Mulutnya menganga kayak ikan mas koki. Lucu konyol semakin ndak jelas.“Kamu itu, aku ini lagi merasakan hal yang sanga
“Argggghhhhh!”Suara teriakanku sangat kencang. Rahman memelukku. Aku juga memeluknya. Kami seperti sepasang kekasih. Berpelukan tidak jelas.“Man lepas! Kita ini tidak jelas!” Aku mendorong tubuhnya. Dia masih mendekatiku. Tidak aku percaya Pak Tua melewatkan kami di jalanan sepi, lewat kuburan. Angker rasanya. Sunyi, dedaunan menerpa kami dan … aku begidik.“Gus! Dia beneran genderowo. Lihat saja! Kita dilewatkan jalanan sepi kayak begini. Kuburan. Hiii …” Rahman terus membuat kami semakin diam ketakutan. Sementara Pak Tua hanya diam sesekali melirik kami memperlihatkan kedua gigi yang masih tersisa di dalam mulutnya. Wes, sebaiknya aku tanya saja.“Pak, kok melewati jalan ini? Apa ndak ada jalan lain?” tanyaku dengan memberanikan diri menatapnya.“Hmm,” jawabnya meringis lagi.“Gus, ini lebih gawat dari masalah Minah. Kita dibawa mereka. Para hantu. Mateng. Ak
Di dalam rumah sakit, Cinta masih saja saling menjambak dengan wanita misterius yang mendadak berada di belakangnya. Mereka melakukan perkelahian sengit hingga suster memanggil satpam untuk memisahkan mereka.“Loh, sudah! Ibu-ibu, ini rumah sakit! Kok malah seperti anak kecil berebutan permen saja,” kata Satpam yang akhirnya berada di antara mereka.Beberapa suster ikut memegang mereka dan memisahkannya. “Dasar Mak Lampir!” umpat Cinta membuat wanita itu segera membalas dan berkata, “Dasar Mak Erot!” teriaknya membuat Cinta melotot dan tertawa.“Hahahaha! Siapa itu Mak Erot? Ada-ada saja. Dasar, tukang ngarang, kamu!” balas Cinta masih tertawa keras.“Ehh, dia adalah tetanggaku yang paling resek, dan judes, seperti kamu!” balas Wanita itu semakin membuat Cinta mengumpat.“Dasar, Nenek Sihir!”“Apa kamu bilang?”“Sudah! Ada apa ini?” Bapak C
Duh! Mateng aku. Kayak ikan rebus. Panas, mendidih, menderita. Kalau sudah matang, pasti dikunyah Surti. Dia semakin melotot ke arahku. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Alias, pura-pura ndak lihat. Cinta mengangkat kedua tangan, mengamatiku dan Rahman yang berusaha memaling. Dalam pikirannya, pasti bertanya-tanya ada apakah ini?“Gus, kita akan terkena masalah besar! Apa kamu ingat pacarnya Surti? Besarnya melebihi kamu, dan dia sangat hitam, garang! Hiii … serem, Gus!” Rahman semakin membuatku terdiam kaku.“Man, aku juga tidak menyangka dia akan datang. Padahal aku sudah mengatakan jika saat itu aku yang salah, tapi keputusan keluarga menjadi bulat!”Langkah istriku yang super cantik itu walaupun badannya agak sedikit melebar, mendekatiku. Kedua tangannya memegang pipiku, dan kini wajahku tepat di hadapannya.“Kenapa, kau sepertinya menyembunyikan sesuatu? Katakan!” bentaknya. Aku menelan saliva. Sementar
Tidak aku percaya, bule sialan itu menolong Cinta? Kenapa dia tidak di penjara? Kok bisa dia ke sini? Apakah dia akan mencari istriku? Tidak! Awas kamu dasar!Kakiku melangkah cepat, dan aku segera menengok kanan, kiri, kemudian berlari untuk menarik tubuh istriku dari bule sok itu.“Lepaskan, atau aku pites kamu! Dasar sok Inggris!”“Agus, I save your wife. Come on! Jika aku tidak menarikya, dia akan celaka,” katanya membuatku tidak mereda. Pokoknya dia tidak akan aku biarkan! Titik, tidak pakai koma!“Come, come! Come jidatmu! Lepasin, dan go away!” balasku memeluk Cinta mengelus-elus rambutnya.“Udah, lepasin! Aku masih, marah. Dan, Ben itu menyelamatkamu. Kau harus berterima kasih kepadanya! Thanks, Ben,” ucap Cinta dengan senyuman sangat cantik ke arah Ben yang spontan tersipu malu. Wajahnya bersemu merah, merona, kayak buah semangka saat dibelah. Sangat merah.“Welcome, dear &hellip
“Dia mengaku hamil, and she said, you are …”“Gawat, ini!” ucapnya membuatku panik.The father of her son!”“Sudah aku duga!”Aku sangat resah mendengar apa yang dikatakan Ben. Dia mengatakan jika Minah akan mengaku hamil dan itu anakku. Mana mungkin bisa seperti itu. Itu sudah jelas anak Rah-man!“Jadi Minah mengatakan jika dia hamil dan anak itu adalah anakku?” tanyaku sekali lagi.“Yes! You right,” jawab Ben masih dengan sok bulenya.“Gawat! Dan semua masalah kenapa aku yang menanggungnya? Aku jadi lemas. Ini adalah hal terberat dalam hidupku. Semua masalah numpuk. Kayak anak sekolah yang tidak ngerjakan tugas, sampai numpuk kayak gunung,” gumamku sendiri duduk di kursi.“Kamu salah! Masalah terberat dalam hidupmu itu, jika kau kehilangan orang tuamu. Kau sangat sendirian, tidak ada yang ngomel, merintah, ngeributi. Gini aja masi
Aku sangat sedih. Mencoba untuk tidur tapi kedua mataku ini sangat susah memejam. Seakan tidak mau aku terlelap. Hatiku tertusuk jarum. Sakit … sekali. Rasanya aku sudah mau putus asa saja. Aku mau tenggelam saja biar badanku seger, dan akan berpikir jernih.Air kolam ini sangat segar. Wes, gak apa-apa aku mandi malam-malam. Sapa tahu aku ngantuk lalu ketiduran. Besok pagi aku bisa membuatkan sarapan Cinta makanan yang sangat enak, dan kita baikan.“Aku lompat saja! Satu … dua … tig—”***Cinta di dalam rumah semakin melotot melihat Agus berdiri di depan kolam renang dengan wajahnya yang sangat sedih. Dia menggelengkan kepalanya dengan menangis. Jantungnya berdegub kencang.“Jadi … dia benar-benar akan membunuh dirinya dan meninggalkanku dengan anak-anak? A-gus!” teriak Cinta berlari cepat menghampiri suaminya.***“Agus! Jangan!”Aku tidak jadi melompat. Ada
Kenapa aku bertemu mereka lagi? Kemaren rebutan cengkir. Sekarang kambing!“Hei, kalian kenapa selalu saja menggangguku?” Ibu Menor sudah melakukan protes. Dan, aku tidak bisa mengambil kambing itu dari dia. Tapi … apakah itu pesanan Bapak? Lebih baik aku tanyakan.“Itu buat anakmu, apa buat Romo?” tanyaku membuat mereka melotot.“Ini buat Samsul!” jawabnya singkat dengan keras. “Bungkus, dan masukkan ke empat kambing itu ke dalam pick up!” perintahnya. Beberapa pengawalnya melakukan dengan cepat. Rumahnya di Medan memang sangat besar. Aku yakin mereka kaya. Tapi, Romo selalu saja meminta mereka untuk membantu mencarikan sesuatu, salah satunya cengkir. Namun, kambing ini tidak pesanan Romo, melainkan untuk anaknya.“Man, wes kita cari yang lain saja!” ucapku menarik lengan Rahman agar tidak melakukan keributam dengan mereka.“Oh my. Aku lama-lama tidak waras dengan kehidupanku