Kenapa aku bertemu mereka lagi? Kemaren rebutan cengkir. Sekarang kambing!
“Hei, kalian kenapa selalu saja menggangguku?” Ibu Menor sudah melakukan protes. Dan, aku tidak bisa mengambil kambing itu dari dia. Tapi … apakah itu pesanan Bapak? Lebih baik aku tanyakan.
“Itu buat anakmu, apa buat Romo?” tanyaku membuat mereka melotot.
“Ini buat Samsul!” jawabnya singkat dengan keras. “Bungkus, dan masukkan ke empat kambing itu ke dalam pick up!” perintahnya. Beberapa pengawalnya melakukan dengan cepat. Rumahnya di Medan memang sangat besar. Aku yakin mereka kaya. Tapi, Romo selalu saja meminta mereka untuk membantu mencarikan sesuatu, salah satunya cengkir. Namun, kambing ini tidak pesanan Romo, melainkan untuk anaknya.
“Man, wes kita cari yang lain saja!” ucapku menarik lengan Rahman agar tidak melakukan keributam dengan mereka.
“Oh my. Aku lama-lama tidak waras dengan kehidupanku
Aku bersama Rahman tidak sengaja berpegangan tangan. Sosok laki-laki yang sudah aku hancurkan hidupnya ada di hadapanku. Kini dia berdiri tegak dengan wajah muramnya, dan aku bersama Rahman akan dia hancurnya. Ini namanya … pembalasan dendam!“Gus, ini gawat, dan kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Hadapi, Gus! Selesaikan dengan hati gagah!” Rahman entah kesambet apa dia berani sekali kali ini.“Ben, kamu yang bisa berbicara bahasa Inggris dengan benar! Turun, dan tanyakan apa kemauannya!” perintahku sontak membuat Ben melotot.“Why me?” tanyanya dengan kedua tangan terangkat ke atas.“Ben ndak usah, why, why. Keluar!” Rahman membuat Ben akhirnya keluar dari mobil. Kami berdua mengamatinya. Dia berjalan dengan santai. Ben semakin melangkah mendekati dia yang masih memasang wajah garang.“Gawat, kita akan merasa bersalah dengan Ben jika nantinya benjot, Gus. Gimana kita mengab
Cinta dan aku saling menikmati momen mesra. Tapi, sepertinya dia nakal sekali. Emangnya mainan ditarik-tarik gitu. Cinta menyentuh dengan lembut, aku merinding. Belaiannya membuat kedua mataku mengernyip dan menarik napas panjang dengan perlahan. “Aahhh …”“Eh, ah, aduh!”“Cinta, hadew! Jangan ditarik!”Jemarinya yang semakin masuk dibalik celanaku aku keluarkan. Gimana nanti kalau kepengin, kan, aku tidak bisa melakukannya. Dia belum selesai masa kehamilan.“Cinta … sudah ya! Aku ga tahan ini,” kataku melepaskan bibirnya. Dia tersenyum mendekati telingaku. “Aku lakukan dengan cara lain, ya!”“Eh, eh, ndak usah. Aku bisa menahannya.” Aku melepaskan tubuhnya. Lalu memeluknya erat. Walaupun belalai ini sebenarnya sudah tersiksa dan melakukan protes. Tapi, aku akan bertanggung jawab dengan aturan. Sebagai laki-laki, menahan hasrat itu sangat dibutuhkan. Untuk membuat
Aku bersiap dengan Cinta untuk segera menuju kediaman Bapak yang megah dengan semua ukiran khas Jawa. Kami sedikit resah. Wajah Cinta juga terlihat jika dia juga sangat gelisah. Namun, aku berusaha untuk menenangkannya.“Sudah, kita akan baik-baik saja,” kataku mengecupnya dengan mesra. Kedua matanya memejam menikmati sentuhan lembutku. Kami sejenak menikmati moment mesra sebelum bertempur dengan kedua wanita yang memusuhiku. Satunya gara aku tolak. Satunya lagi gara aku pisahkan dengan pacarnya. Semoga ini segera berhasil dan rencanaku berjalan dengan lancar.“Agus, kita akan berhati-hati dalam melakukan rencana. Apakah Rahman dan kedua bule itu bisa melakukannya dengan baik. Mereka selalu saja gagal paham dengan apapun. Kau tahu sendiri, kan,” kata Cinta yang semakin membuatku resah. Benar katanya. Aku kok malah jadi mikir …“Wes kita berdoa saja sepanjang perjalanan, dan teguh kalau pikiran kita positif, rencana ini akan b
Rahman segera menyalakan lap top yang dia bawa dan menghadirkan video bagaimana Surti bersama Minah melakukan kebohongan. Semua mata siap menancap pada sosok Rahman yang segera menekan tombol enter. Aku berharap semua bisa mempercayai video ini.Surti dengan Minah melotot melihat apa yang tidak mereka sangka. Paman sudah megepalkan kedua tangannya. Aku mendekati Ibu kemudian mengarahkan pandanganku kepada Paman yang pastinya sebentar lagi meluapkan rasa kesalnya. Surti sudah membuat keluarga malu. Perbuatan memalukan ini sudah menyakiti Paman. Apalagi Surti anak pertama yang diandalkan.Kedua orang tua Minah merasakan hal yang sama. Mereka mengurut dahi yang pastinya sangat pening. Aku harus melakukan sesuatu agar mereka tidak memarahi anak kesayangan yang sangat membuat hati mereka tentunya hancur. Ibu semakin kudekati. Telinganya kubisikkan sesuatu.“Ibu, redakan masalah ini. Bagaimanapun juga, kesalahan harus dimaafkan,” bisikku membuat Ibu mengan
Aku dan Ben selamat dari sebuah mobil yang mendadak akan melintas. Sorotan lampu mobil yang sangat terang, semula menyerang pandanganku dan Ben, kecuali Zam. Pengemudinya menghentikan mesin mendadak hingga mesinnya berbunyi sangat kencang memekakkan telinga. “Cuiittt!” Suaranya sangat keras. Langkahku mendadak berhenti dan Ben memelukku saat dia mengeremnya.“Agus!”“Buk!”“Duh lepaskan! Kok malah meluk aku. Dasar bule!” protesku dan Ben tidak segera melakukannya. Dia masih memejam sambil bergumam, “Im die. Aku mati. Oh my God. Forgive me. Maafkan atas semua kesalahanku,” katanya yang sama sekali tidak aku mengerti.“Woi, jangan mainan di jalan raya! Kurang ajar!” teriak pengemudi yang sangat marah. Dia memegang jantungnya yang pastinya juga berdetak kencang.“Maaf, Pak!” jawabku dan melambai ke arah mobilnya yang kembali melesat walaupun dia mengarahkan bugeman den
Aku sudah hampir memuncak. Dan hentakan ini semakin membuatku melayang. Keringatku mulai bercucuran karena rasa nikmat yang sudah lama aku dan belalai ini aku rasakan. Hentakan itu semakin kuat. Cinta mengeluarkan rintihannya. “Ah, ah, Agus!” Suaranya yang mendesah membuatku serasa semakin menikmatinya. Hingga akhirnya lahar itu sudah memuncak. Sedikit … sedikit … lagi … Yeah aku mau ….“Oekk, oekk, oekk!”Suara tangisan bayi pecah terdengar. Mereka menangis sangat kencang.“Agus, jangan! Huaaa!” Belalai ini menjerit saat Cinta sontak …“Buk!”Cinta mendorongku hingga aku melepasnya, dan mengguling ke samping. Dia berlari menuruni ranjang dalam keadaan polos. Tangannya menggendong Adinanta yang kami panggil Nanta. Aku masih merentangkan tubuhku. Belalai ini menangis dengan kencang, bahkan lebih kencang dari si kembar. “Huaaaa!” Mereka sangat kasihan. &ldq
Tidak aku percaya apa yang dikatakan Rahman melalui ponselnya. Aku semakin pening mendengarnya. Cinta mendekati dan menarik lenganku. Dia menatapku sambil mengernyit.“Agus, kenapa?” tanyanya penasaran sambil mengoyak tubuhku. “Iya, Samsul mau bunuh diri gara ditolak Minah. Lalu, orang tua mereka meminta kembali keempat kambing yang sudah mereka berikan. Kita tidak memiliki kambing buat aqiqah kembar!”“Kurang ajar! Sudah dikasih, sekarang diambil. Mau timbilan?” Cinta menatap tajam. Aku akan menyelesaikan masalah ini dan mengambil kambing itu. Jika tidak ada, ya pakai kambing seadanya. Seperti kehidupan. Jangan pernah memaksakan sesuatu. Jika ada ya syukur, jika tidak, ya, tidak perlu dipaksaka, ada. Nanti kehidupan kita malah bertambah susah.“Cinta, akan aku selesaikan masalah ini. Kamu jangan kawatir, ya!”“Tapi, Agus! Aku juga mau ikut! Aku mau anakku juga memperoleh semuanya yang terbaik. Mereka
Ini tidak bisa aku biarkan. Istriku dan semua sahabatnya, membuat mereka, Ibu Menor dan Laki Gendut serta Samsul menangis, lalu membiarkan Cinta membawa kambing itu begitu saja? Kenapa mereka bisa melakukan itu? Pertanyaan yang masih belum aku temukan jawabannya.“Man, apa kita sebaiknya turun dan mengatakannya?” tanyaku masih memandang serius mereka. Sementara Rahman masih diam melongo.“Gus, tidak aku percaya kita dikalahkan para wanita, ya,” kata Rahman menggeleng.“Wes, kita sebaiknya turun saja. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan mereka,” kataku resah.“Mereka tidak ada apa-apa dan aman, Gus. Justru yang ada apa-apa itu kita nantinya. Aku takut ama mereka, Gus. Tapi … bener juga kamu, Gus. Kita akan turun dan menanyakannya saja.”Kami segera membuka pintu mobil dan keluar. Aku bersama Rahman melangkah cepat menemui mereka. Cinta melotot melihatku. Tapi, dia sepertinya sangat santai dan mer