Di dalam rumah sakit, Cinta masih saja saling menjambak dengan wanita misterius yang mendadak berada di belakangnya. Mereka melakukan perkelahian sengit hingga suster memanggil satpam untuk memisahkan mereka.
“Loh, sudah! Ibu-ibu, ini rumah sakit! Kok malah seperti anak kecil berebutan permen saja,” kata Satpam yang akhirnya berada di antara mereka.
Beberapa suster ikut memegang mereka dan memisahkannya. “Dasar Mak Lampir!” umpat Cinta membuat wanita itu segera membalas dan berkata, “Dasar Mak Erot!” teriaknya membuat Cinta melotot dan tertawa.
“Hahahaha! Siapa itu Mak Erot? Ada-ada saja. Dasar, tukang ngarang, kamu!” balas Cinta masih tertawa keras.
“Ehh, dia adalah tetanggaku yang paling resek, dan judes, seperti kamu!” balas Wanita itu semakin membuat Cinta mengumpat.
“Dasar, Nenek Sihir!”
“Apa kamu bilang?”
“Sudah! Ada apa ini?” Bapak C
Duh! Mateng aku. Kayak ikan rebus. Panas, mendidih, menderita. Kalau sudah matang, pasti dikunyah Surti. Dia semakin melotot ke arahku. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Alias, pura-pura ndak lihat. Cinta mengangkat kedua tangan, mengamatiku dan Rahman yang berusaha memaling. Dalam pikirannya, pasti bertanya-tanya ada apakah ini?“Gus, kita akan terkena masalah besar! Apa kamu ingat pacarnya Surti? Besarnya melebihi kamu, dan dia sangat hitam, garang! Hiii … serem, Gus!” Rahman semakin membuatku terdiam kaku.“Man, aku juga tidak menyangka dia akan datang. Padahal aku sudah mengatakan jika saat itu aku yang salah, tapi keputusan keluarga menjadi bulat!”Langkah istriku yang super cantik itu walaupun badannya agak sedikit melebar, mendekatiku. Kedua tangannya memegang pipiku, dan kini wajahku tepat di hadapannya.“Kenapa, kau sepertinya menyembunyikan sesuatu? Katakan!” bentaknya. Aku menelan saliva. Sementar
Tidak aku percaya, bule sialan itu menolong Cinta? Kenapa dia tidak di penjara? Kok bisa dia ke sini? Apakah dia akan mencari istriku? Tidak! Awas kamu dasar!Kakiku melangkah cepat, dan aku segera menengok kanan, kiri, kemudian berlari untuk menarik tubuh istriku dari bule sok itu.“Lepaskan, atau aku pites kamu! Dasar sok Inggris!”“Agus, I save your wife. Come on! Jika aku tidak menarikya, dia akan celaka,” katanya membuatku tidak mereda. Pokoknya dia tidak akan aku biarkan! Titik, tidak pakai koma!“Come, come! Come jidatmu! Lepasin, dan go away!” balasku memeluk Cinta mengelus-elus rambutnya.“Udah, lepasin! Aku masih, marah. Dan, Ben itu menyelamatkamu. Kau harus berterima kasih kepadanya! Thanks, Ben,” ucap Cinta dengan senyuman sangat cantik ke arah Ben yang spontan tersipu malu. Wajahnya bersemu merah, merona, kayak buah semangka saat dibelah. Sangat merah.“Welcome, dear &hellip
“Dia mengaku hamil, and she said, you are …”“Gawat, ini!” ucapnya membuatku panik.The father of her son!”“Sudah aku duga!”Aku sangat resah mendengar apa yang dikatakan Ben. Dia mengatakan jika Minah akan mengaku hamil dan itu anakku. Mana mungkin bisa seperti itu. Itu sudah jelas anak Rah-man!“Jadi Minah mengatakan jika dia hamil dan anak itu adalah anakku?” tanyaku sekali lagi.“Yes! You right,” jawab Ben masih dengan sok bulenya.“Gawat! Dan semua masalah kenapa aku yang menanggungnya? Aku jadi lemas. Ini adalah hal terberat dalam hidupku. Semua masalah numpuk. Kayak anak sekolah yang tidak ngerjakan tugas, sampai numpuk kayak gunung,” gumamku sendiri duduk di kursi.“Kamu salah! Masalah terberat dalam hidupmu itu, jika kau kehilangan orang tuamu. Kau sangat sendirian, tidak ada yang ngomel, merintah, ngeributi. Gini aja masi
Aku sangat sedih. Mencoba untuk tidur tapi kedua mataku ini sangat susah memejam. Seakan tidak mau aku terlelap. Hatiku tertusuk jarum. Sakit … sekali. Rasanya aku sudah mau putus asa saja. Aku mau tenggelam saja biar badanku seger, dan akan berpikir jernih.Air kolam ini sangat segar. Wes, gak apa-apa aku mandi malam-malam. Sapa tahu aku ngantuk lalu ketiduran. Besok pagi aku bisa membuatkan sarapan Cinta makanan yang sangat enak, dan kita baikan.“Aku lompat saja! Satu … dua … tig—”***Cinta di dalam rumah semakin melotot melihat Agus berdiri di depan kolam renang dengan wajahnya yang sangat sedih. Dia menggelengkan kepalanya dengan menangis. Jantungnya berdegub kencang.“Jadi … dia benar-benar akan membunuh dirinya dan meninggalkanku dengan anak-anak? A-gus!” teriak Cinta berlari cepat menghampiri suaminya.***“Agus! Jangan!”Aku tidak jadi melompat. Ada
Kenapa aku bertemu mereka lagi? Kemaren rebutan cengkir. Sekarang kambing!“Hei, kalian kenapa selalu saja menggangguku?” Ibu Menor sudah melakukan protes. Dan, aku tidak bisa mengambil kambing itu dari dia. Tapi … apakah itu pesanan Bapak? Lebih baik aku tanyakan.“Itu buat anakmu, apa buat Romo?” tanyaku membuat mereka melotot.“Ini buat Samsul!” jawabnya singkat dengan keras. “Bungkus, dan masukkan ke empat kambing itu ke dalam pick up!” perintahnya. Beberapa pengawalnya melakukan dengan cepat. Rumahnya di Medan memang sangat besar. Aku yakin mereka kaya. Tapi, Romo selalu saja meminta mereka untuk membantu mencarikan sesuatu, salah satunya cengkir. Namun, kambing ini tidak pesanan Romo, melainkan untuk anaknya.“Man, wes kita cari yang lain saja!” ucapku menarik lengan Rahman agar tidak melakukan keributam dengan mereka.“Oh my. Aku lama-lama tidak waras dengan kehidupanku
Aku bersama Rahman tidak sengaja berpegangan tangan. Sosok laki-laki yang sudah aku hancurkan hidupnya ada di hadapanku. Kini dia berdiri tegak dengan wajah muramnya, dan aku bersama Rahman akan dia hancurnya. Ini namanya … pembalasan dendam!“Gus, ini gawat, dan kita tidak bisa terus-terusan seperti ini. Hadapi, Gus! Selesaikan dengan hati gagah!” Rahman entah kesambet apa dia berani sekali kali ini.“Ben, kamu yang bisa berbicara bahasa Inggris dengan benar! Turun, dan tanyakan apa kemauannya!” perintahku sontak membuat Ben melotot.“Why me?” tanyanya dengan kedua tangan terangkat ke atas.“Ben ndak usah, why, why. Keluar!” Rahman membuat Ben akhirnya keluar dari mobil. Kami berdua mengamatinya. Dia berjalan dengan santai. Ben semakin melangkah mendekati dia yang masih memasang wajah garang.“Gawat, kita akan merasa bersalah dengan Ben jika nantinya benjot, Gus. Gimana kita mengab
Cinta dan aku saling menikmati momen mesra. Tapi, sepertinya dia nakal sekali. Emangnya mainan ditarik-tarik gitu. Cinta menyentuh dengan lembut, aku merinding. Belaiannya membuat kedua mataku mengernyip dan menarik napas panjang dengan perlahan. “Aahhh …”“Eh, ah, aduh!”“Cinta, hadew! Jangan ditarik!”Jemarinya yang semakin masuk dibalik celanaku aku keluarkan. Gimana nanti kalau kepengin, kan, aku tidak bisa melakukannya. Dia belum selesai masa kehamilan.“Cinta … sudah ya! Aku ga tahan ini,” kataku melepaskan bibirnya. Dia tersenyum mendekati telingaku. “Aku lakukan dengan cara lain, ya!”“Eh, eh, ndak usah. Aku bisa menahannya.” Aku melepaskan tubuhnya. Lalu memeluknya erat. Walaupun belalai ini sebenarnya sudah tersiksa dan melakukan protes. Tapi, aku akan bertanggung jawab dengan aturan. Sebagai laki-laki, menahan hasrat itu sangat dibutuhkan. Untuk membuat
Aku bersiap dengan Cinta untuk segera menuju kediaman Bapak yang megah dengan semua ukiran khas Jawa. Kami sedikit resah. Wajah Cinta juga terlihat jika dia juga sangat gelisah. Namun, aku berusaha untuk menenangkannya.“Sudah, kita akan baik-baik saja,” kataku mengecupnya dengan mesra. Kedua matanya memejam menikmati sentuhan lembutku. Kami sejenak menikmati moment mesra sebelum bertempur dengan kedua wanita yang memusuhiku. Satunya gara aku tolak. Satunya lagi gara aku pisahkan dengan pacarnya. Semoga ini segera berhasil dan rencanaku berjalan dengan lancar.“Agus, kita akan berhati-hati dalam melakukan rencana. Apakah Rahman dan kedua bule itu bisa melakukannya dengan baik. Mereka selalu saja gagal paham dengan apapun. Kau tahu sendiri, kan,” kata Cinta yang semakin membuatku resah. Benar katanya. Aku kok malah jadi mikir …“Wes kita berdoa saja sepanjang perjalanan, dan teguh kalau pikiran kita positif, rencana ini akan b