Tidak aku sangka mendengar sesuatu yang sangat membuatku panik. Tubuhku kaku, hidungku buntu seakan aku sudah tidak bisa merasakan bau. Uratku terputus membuatku lemas tidak berdaya. Hatiku serasa lemas seakan aku tidak bisa bernapas lagi. Cinta …
“Gus, kok lemes? Kurang vitamin ehem-ehem?” Rahman mendekatiku. “Ehem-ehem opo?” tanyaku kesal.
“Vitamin alami, Gus. Yang enak itu, hehe,” katanya membuatku semakin menarik napas.
Aku mencengkeram kerah bajunya membuat lehernya tercekik. “Gus, kamu bukan Agus! De-de-mit!” teriak Rahman terkejut dengan apa yang aku lakukan.
“Hus! Aku Agus! Cinta … Cinta, Man!” ucapku keras menggoyang tubuhnya.
“Kenopo? Sadar, Gus!” balasnya ikut berteriak.
“Cinta, dibawa Ben!” teriakku semakin kencang.
Ibu Cinta dan ibuku berdatangan mendekatiku. Mereka pasti sudah merasa jika Cinta tidak ada di tempat. Untung ac
Sebelum menghubungi Agus, Ben mengambil tangga dan menaiki atap. Dia terus mencari sinyal untuk bisa menghubungi Agus. Sementara Cinta di bawah merasakan perutnya sangat sakit. Sesuatu yang sangat basah sedikit membasahi bajunya bagian belakang.“Apa? Apa … ini air ketuban? Gawat!” Dia melangkah keluar sambil memegang perutnya. Kepalanya mendongak ke atas, melihat Ben berdiri di atap sambil mengarahkan ponselnya ke atas.“Ben! Bilang Agus sekarang! Suruh dia ke sini, karena air ketuban sedikit keluar!” teriak Cinta membuat Ben menginjak atap yang agak rapuh.“Wow, aku akan terjatuh. What, air degan. Ok Cinta my love. Aku sudah mendapatkan sinyal.” teriaknya segera menerima panggilan Agus. “Air ketuban! Bukan degan!” balas Cinta semakin berteriak. Namun, Ben tidak bisa menahan atap itu, dan, “Agusss …. Cinta akan me-la-hir-kan … air ketuban pe-cah ….! Arghhh! Braak!” dia
Ben tersenyum mendengar apa yang suster katakan. PIRANG! DAN ITU BERARTI!“My child!” teriaknya dan akan melangkah maju. Aku sontak menariknya.“Minggir kamu sok bule!” ucapku dengan lirikan sinis.“Agus, im bule. Oh my ..,” jawabnya yang tidak aku hiraukan.Aku berjalan mendekati suster. Bapak juga mendekatiku. Sementara kedua orang tua Cinta berpegangan tangan. Mereka tentu saja resah dengan apa yang didengar. “Suster, apa yang dikatakan tadi barusan apakah benar?” tanya Bapak mencoba menenangkanku. Dia memegang pundakku dan menganggukkan kepala. Aku kali ini diam, dan membiarkan Bapak melakukan apa yang beliau mau.“Suster, jelaskan dengan perlahan dan sebenarnya,” kata Bapak meyakinkan suster yang akhirnya menjawab setelah menarik napas.“Anak kembar itu sangat gagah, ganteng, hidungnya mbangir alias mancung. Alisnya tebal. Kulitnya bercahaya kuning langsat,” jawabny
Aku masih di depan kamar dan belum masuk. Tidak mau merusak momen kebahagiaan di antara mereka semua. Saat kepalaku menoleh ke samping kanan, Rahman berlari menghampiriku.“Gus, gawat, mateng, genting, masalah! Kita ibarat manusia dalam terjangan tsunami.” Rahman mulai lagi dengan kata-kata ndak jelasnya. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Yang tahu hanya dia. Merusak perasaannku saja. Biar saja dia tidak aku hentikan. Aku masih mau merasakan perasaan bahagiaku ini.“Gus! Kamu ndak dengar aku ngomong apa? Ini masalah hidup dan matimu! Ada teman kamu yang menyampaikan masalah terpenting dalam hidupmu kok ndak digubris kayak makan kubis,” katanya sekali lagi yang selalu saja membingungkan. Habis masalah, bicarakan kubis. Tidak jelas! Aku melengos dan dia melongo.“Gus, wajahku melongo ini lo.” Mulutnya menganga kayak ikan mas koki. Lucu konyol semakin ndak jelas.“Kamu itu, aku ini lagi merasakan hal yang sanga
“Argggghhhhh!”Suara teriakanku sangat kencang. Rahman memelukku. Aku juga memeluknya. Kami seperti sepasang kekasih. Berpelukan tidak jelas.“Man lepas! Kita ini tidak jelas!” Aku mendorong tubuhnya. Dia masih mendekatiku. Tidak aku percaya Pak Tua melewatkan kami di jalanan sepi, lewat kuburan. Angker rasanya. Sunyi, dedaunan menerpa kami dan … aku begidik.“Gus! Dia beneran genderowo. Lihat saja! Kita dilewatkan jalanan sepi kayak begini. Kuburan. Hiii …” Rahman terus membuat kami semakin diam ketakutan. Sementara Pak Tua hanya diam sesekali melirik kami memperlihatkan kedua gigi yang masih tersisa di dalam mulutnya. Wes, sebaiknya aku tanya saja.“Pak, kok melewati jalan ini? Apa ndak ada jalan lain?” tanyaku dengan memberanikan diri menatapnya.“Hmm,” jawabnya meringis lagi.“Gus, ini lebih gawat dari masalah Minah. Kita dibawa mereka. Para hantu. Mateng. Ak
Di dalam rumah sakit, Cinta masih saja saling menjambak dengan wanita misterius yang mendadak berada di belakangnya. Mereka melakukan perkelahian sengit hingga suster memanggil satpam untuk memisahkan mereka.“Loh, sudah! Ibu-ibu, ini rumah sakit! Kok malah seperti anak kecil berebutan permen saja,” kata Satpam yang akhirnya berada di antara mereka.Beberapa suster ikut memegang mereka dan memisahkannya. “Dasar Mak Lampir!” umpat Cinta membuat wanita itu segera membalas dan berkata, “Dasar Mak Erot!” teriaknya membuat Cinta melotot dan tertawa.“Hahahaha! Siapa itu Mak Erot? Ada-ada saja. Dasar, tukang ngarang, kamu!” balas Cinta masih tertawa keras.“Ehh, dia adalah tetanggaku yang paling resek, dan judes, seperti kamu!” balas Wanita itu semakin membuat Cinta mengumpat.“Dasar, Nenek Sihir!”“Apa kamu bilang?”“Sudah! Ada apa ini?” Bapak C
Duh! Mateng aku. Kayak ikan rebus. Panas, mendidih, menderita. Kalau sudah matang, pasti dikunyah Surti. Dia semakin melotot ke arahku. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Alias, pura-pura ndak lihat. Cinta mengangkat kedua tangan, mengamatiku dan Rahman yang berusaha memaling. Dalam pikirannya, pasti bertanya-tanya ada apakah ini?“Gus, kita akan terkena masalah besar! Apa kamu ingat pacarnya Surti? Besarnya melebihi kamu, dan dia sangat hitam, garang! Hiii … serem, Gus!” Rahman semakin membuatku terdiam kaku.“Man, aku juga tidak menyangka dia akan datang. Padahal aku sudah mengatakan jika saat itu aku yang salah, tapi keputusan keluarga menjadi bulat!”Langkah istriku yang super cantik itu walaupun badannya agak sedikit melebar, mendekatiku. Kedua tangannya memegang pipiku, dan kini wajahku tepat di hadapannya.“Kenapa, kau sepertinya menyembunyikan sesuatu? Katakan!” bentaknya. Aku menelan saliva. Sementar
Tidak aku percaya, bule sialan itu menolong Cinta? Kenapa dia tidak di penjara? Kok bisa dia ke sini? Apakah dia akan mencari istriku? Tidak! Awas kamu dasar!Kakiku melangkah cepat, dan aku segera menengok kanan, kiri, kemudian berlari untuk menarik tubuh istriku dari bule sok itu.“Lepaskan, atau aku pites kamu! Dasar sok Inggris!”“Agus, I save your wife. Come on! Jika aku tidak menarikya, dia akan celaka,” katanya membuatku tidak mereda. Pokoknya dia tidak akan aku biarkan! Titik, tidak pakai koma!“Come, come! Come jidatmu! Lepasin, dan go away!” balasku memeluk Cinta mengelus-elus rambutnya.“Udah, lepasin! Aku masih, marah. Dan, Ben itu menyelamatkamu. Kau harus berterima kasih kepadanya! Thanks, Ben,” ucap Cinta dengan senyuman sangat cantik ke arah Ben yang spontan tersipu malu. Wajahnya bersemu merah, merona, kayak buah semangka saat dibelah. Sangat merah.“Welcome, dear &hellip
“Dia mengaku hamil, and she said, you are …”“Gawat, ini!” ucapnya membuatku panik.The father of her son!”“Sudah aku duga!”Aku sangat resah mendengar apa yang dikatakan Ben. Dia mengatakan jika Minah akan mengaku hamil dan itu anakku. Mana mungkin bisa seperti itu. Itu sudah jelas anak Rah-man!“Jadi Minah mengatakan jika dia hamil dan anak itu adalah anakku?” tanyaku sekali lagi.“Yes! You right,” jawab Ben masih dengan sok bulenya.“Gawat! Dan semua masalah kenapa aku yang menanggungnya? Aku jadi lemas. Ini adalah hal terberat dalam hidupku. Semua masalah numpuk. Kayak anak sekolah yang tidak ngerjakan tugas, sampai numpuk kayak gunung,” gumamku sendiri duduk di kursi.“Kamu salah! Masalah terberat dalam hidupmu itu, jika kau kehilangan orang tuamu. Kau sangat sendirian, tidak ada yang ngomel, merintah, ngeributi. Gini aja masi