Masalah semakin rumit. Di pesawat aku melihat mereka dan satu lagi wanita yang sudah meribetkan kehidupanku. “Minah!” Rahman seketika membenarkan rambutnya padahal tidak berantakan. Jeli khusus rambut sudah membuat setiap helai rambutnya kaku. Bahkan tertiup angin saja tidak akan bergerak.
“Kamu duduk di sana, Man. Sebelah Minah. Aku akan duduk di antara mereka,” kataku membuat Ibu menor melirikku sinis, kemudian menggelengkan kepala. Dia melarang aku menduduki kursiku sendiri karena berada di tengah.
“Kalau saya tidak duduk di sini, lalu aku kemana?” tanyaku kesal.
“Ke laut aje,” jawab laki gendut sambil menunjukkan jarinya. Aku tidak menghiraukan ancaman mereka. Kakiku tetap melangkah paksa menuju kursiku. Mereka tidak berkhak melarangku. Ini hakku.
“Agus, aku mau duduk di sini, denganmu. Rahman harus pergi!” Minah semakin membuat suasana tidak enak. Pramugari dengan cepat menghampiri kami. Aku
Napasku semakin kencang seperti kereta api. “Tut, tut!” Suaranya kencang, berasap, dan panas. Kuatur dengan baik. Aku berusaha menenangkan jiwaku yang meronta kebingungan. Rahman menelan salivanya. Dia juga sangat bingung. Hembusan keras aku keluarkan. Mungkin kali ini aku harus mengalah dengan Ibu Menor dan Laki gendut agar bisa membawa Samsul ke Jogja. Tapi, sepertinya sangat sulit aku lakukan.“Minah, kamu itu seharusnya malu. Jangan seperti ini. Aku sudah punya istri dan dia hamil. Ingat itu!” bentakku membuat semua diam. Minah mulai memperlihatkan wajahnya yang memelas. Aku kali ini tidak akan termakan kebohongannya lagi.“Minah, jika tidak karena rencana busukmu itu, aku tidak akan mengalami hal aneh seperti ini. Kau membuat kebohongan, dan tidak berpikir akibatnya sama sekali. Gitu juga tidak malu,” ucapku masih membuatnya diam. Tapi …“Agus, aku tidak akan menyerah.” Minah seketika berubah menjadi se
Perasaanku rasanya sudah kaku. Sekaku hatiku. Bahkan, rambutku juga kaku. Hanya satu yang loyo. Belalai ini. Anteng di tempat.Kutekan nomor Cinta. Dengan cepat dia mengangkatnya.“Cinta, kamu jangan kelelahan dan capek ya. Aku tidak mau istri dan anakku mengalami hal yang buruk. Sampai itu terjadi, Ben akan aku hajar.”“Besuk, Bapak sudah menyiapkan pesawat pribadi. Kamu pulang cepat ya. Dan, jangan lupa bawa Samsul.”“Baiklah. Aku mencintaimu, Cinta.”“Aku juga.”Selang beberapa jam, mobil Samsul datang. Mereka semua keluar dari mobil. Ibu Menor mencengkeram lengan Minah. Samsul bersemu tersenyum membuat Rahman kesal. Minah hanya diam cemberut.“Kenapa kalian?” tanyaku saat mereka sudah memasuki rumah.“Minah akan menjadi istri Samsul. Dan, besuk kita ke Jogja.” Ibu Menor membuat semua diam. Minah menghampiri Rahman dan memeluknya.“Agus tida
Tanpa banyak bicara, aku mengambil jaket. Kali ini aku membutuhkan ketenangan. Kabur, itulah yang akan aku lakukan. “Cinta, kita harus pergi dari sini. Biarkan saja mereka.” Aku menarik Cinta dan mengganti bajunya.“Agus, bagaimana kita akan kabur? Apakah tidak malah membuat masalah lebih ruyam. Bapak bagaimana ama Ibu?” Cinta menatapku dengan kebingungan. Sementara aku dengan cepat mengganti pakaiannya.“Mereka akan paham, dan kita tetap akan melakukannya. Aku hanya ingin berdua denganmu tanpa ada gangguan apapun. Aku sangat capek dengan semua ini, Cinta. Pokoknya kita kabur!” kataku dengan tegas. Cinta hanya diam menuruti apa yang akan aku lakukan.Perlahan aku membuka pintu rumah. Keributan aku dengar di depan rumah. Rahman perang pantun dengan Ibu Menor. Ibu dan adik kembarku di sebelahnya hanya menggeleng. Sementara Bapak memanggil semua pengawal dan beberapa polisi untuk menuju rumah. Di ruang keluarga beliau sangat kesa
Menikah siri? Dengan siapa? Ini harus dihentikan. Aku sama sekali tidak pernah menikahi siapapun kecuali Cinta. Kemaren Minah. Sekarang entahlah siapa. Tapi … sepertinya aku mengingat sesuatu di Jakarta dan ada hubungannya dengan pernikahan. Rahayu!“Man, ini pasti ada hubungannya dengan Rahayu. Dulu aku di Jakarta akan menikahinya, tapi tidak jadi.” Rahman menatapku sambil menganggukkan kepala, tidak tahu apa yang dia pikirkan.“Kamu memang hebat, Gus. Tiga orang mau menjadi milikmu. Aku satu saja susah ini. Nasib orang ganteng,” jawabnya nesu.“Sabar, Man. Tapi, aku tidak pernah mau sama siapapun selain Cinta,” tegasku.“Agus, ayo masuk kamar!” Cinta tiba-tiba datang, dan aku spontan melihat jam tangan yang masih setia melingkar di tangan kananku. Tentu saja baru dan aku memiliki sangat banyak.“Pukul tiga malam, dan kamu tidak mual lagi?” tanyaku serius. “Bagaimana jika aku
Aku terdiam lemas di sebelah Cinta. Dia membuatku kesal kali ini. Lebih baik aku tidak berbicara dengannya. Segera aku palingkan wajahku saat dia menatap. Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Anak yang dikandungnya sudah jelas anakku. Kenapa aku harus mempertanyakannya? Tapi … aku melihat warna tubuh bayi itu pirang. Apakah aku masih mempertanyakannya? Cinta dan aku melakukan semua cara untuk membuatnya mengandung ahli waris. Lebih baik aku diam dahulu.“Agus, apa kau mengira aku bersama Ben? Jika itu yang kau pikirkan, lebih baik aku pergi saja!” Cinta memberikan sorotan tajam. Aku memang sangat bersalah jika meragukan dirinya.“Cinta, aku sangat percaya denganmu. Tapi … kau lihat sendiri anak kita berwarna pirang!” tegasku membuat Cinta berdiri dari duduknya.“Jadi, kau masih tidak mempercayai jika ini anakmu?!” teriaknya semakin membuat semua pengunjung rumah sakit menatap kami. Seketika aku menarik lengann
Rian menatapku dengan tegang. Sorotannya membuatku resah. Namun, aku berusaha mengatasi semuanya dengan tenang. Menyelesaikan dengan kepala dingin, harus aku lakukan. Yang jelas tanpa meletakkan es di atas kepalaku seperti apa yang dilakukan Rahman. Kini aku dengan cepat mendekati Rian. Nenek Suri dan Bibi saling berpegangan tangan menandakan kawatir melihatku. Mereka takut jika semua teman Rian akan menyerangku.“Agus, hati-hati,” kata Nenek pelan. Aku hanya menganggukkan kepala agar semua bisa tenang.“Kamu mau apa?” tanyaku memasang wajah garang. Aku berusaha tidak memperlihatkan wajah takut. Bagaimanapun juga, ini harus aku selesaikan dengan jantan. “Jangan berbelit, Rian. Jika kau akan menye—” Aku spontan menghentikan ucapanku saat Rian tiba-tiba bersujud di depanku, begitu juga dengan teman-temannya.“Loh, kok …” Nenek bersama Bibi saling menolehkan kepala. Mereka tidak percaya dengan apa y
Aku semakin berputus asa. Bagaimana aku menjelaskan kepada Cinta apa yang sebenarnya terjadi. Sementara aku terjebak dalam rencanaku sendiri. Kepalaku terasa pening. Ayu masih saja memelukku. Aku sangat lemas. Cinta meninggalkanku begitu saja dengan Bibi dan Nenek Suri. Hidupku sudah tidak bisa lagi tertolong.“Ayu, kamu salah! Rian yang membawa cincin ini untukmu. Bukan aku!” teriakku melepas pelukan Ayu yang masih saja menempel. Aku segera menghampiri Rian menarik telapak tangannya. Cincin yang berada di genggamanku, segera kuserahkan.“Wes, lamar Ayu! Aku mau mengejar Cinta!” Saat aku mau berlari, Rian menarik lenganku hingga aku menghentikan langkah.“Gus, jangan pergi sebelum masalah ini selesai. Aku tidak bisa melakukan sendirian!” teriak Rian. Sementara Rahman menepuk jidatnya.“Wes, akan aku atur masalah Rian!” selanya menyambung perkataan Rian. Pak RT dan ibu Ayu masih diam tidak berkomentar. Semua
Tidak aku sangka mendengar sesuatu yang sangat membuatku panik. Tubuhku kaku, hidungku buntu seakan aku sudah tidak bisa merasakan bau. Uratku terputus membuatku lemas tidak berdaya. Hatiku serasa lemas seakan aku tidak bisa bernapas lagi. Cinta …“Gus, kok lemes? Kurang vitamin ehem-ehem?” Rahman mendekatiku. “Ehem-ehem opo?” tanyaku kesal.“Vitamin alami, Gus. Yang enak itu, hehe,” katanya membuatku semakin menarik napas.Aku mencengkeram kerah bajunya membuat lehernya tercekik. “Gus, kamu bukan Agus! De-de-mit!” teriak Rahman terkejut dengan apa yang aku lakukan.“Hus! Aku Agus! Cinta … Cinta, Man!” ucapku keras menggoyang tubuhnya.“Kenopo? Sadar, Gus!” balasnya ikut berteriak.“Cinta, dibawa Ben!” teriakku semakin kencang.Ibu Cinta dan ibuku berdatangan mendekatiku. Mereka pasti sudah merasa jika Cinta tidak ada di tempat. Untung ac