Rahman berlari menuju kamar Minah, begitu juga dengan Cinta karena mendadak mendapat pesan dari seseorang yang tidak dia kenal.
“Rahman?” Cinta melotot menatap Rahman berada di luar kamar. Sementara, rencana yang sebenarnya adalah, “ Man, nanti kamu itu yang masuk ke dalam kamar Minah. Terus, kamu nyatakan Cinta kepadanya. Aku bersama Cinta akan mengatakan kepada Minah, jika laki-laki yang tepat untuk dirinya adalah dirimu. Kamu beli cincin ya, Man,” bisikan Agus saat itu di rumah Cinta sebelum menuju ke hotel.
“Mbak Cinta kok ikut naik? Bukannya harus ke restaurant saja?” tanya Rahman dengan kaku sambil menunjukkan jarinya ke arah belakang posisinya. Mendadak, Cinta menarik lengan Rahman. “Sudah jangan banyak bertanya. Ini sangat tidak baik,” ucap Cinta melangkah cepat menuju kamar Minah masih mencengkeram lengan Rahman yang juga mengikutinya dengan tegang.
“Jalanan di kota Roma penuh dengan serdadu. Ada apa
Kedua mataku mengernyip, melihat mobil peyok sport yang tidak asing memasuki halaman rumah sambil dikejar satpam. Aku sontak terbelalak semakin meyakinkan jika itu adalah bule kota edan yang kembali datang. Sudah aku peringatkan untuk tidak masuk ke dalam rumah ini lagi. Lha kok dia malah melanggar. Ini tidak bisa dibiarkan. Pengen ta pites aja itu orang. Nyebelin!Aku berjalan cepat menghampirinya. Dia membuka pintu mobil sambil mengawasiku atas bawah. “Oh my, you look so bad,” katanya dengan menepuk jidat. Aku mengamati diriku sendiri. Tapi, apa yang dia katakan memang benar. Aku sangat berantakan.“Heh, jangan sok ganteng kamu. Pulang sana!” teriakku sembari menunjukkan jari ke pagar rumah. Para satpam masih diam menunggu interuksi dariku. “Satpam ba—” Mulutku tertutup saat Bapak berteriak mendadak. “Diam!” Dengan sorotan tajam Bapak mengamati kami berdua yang diam menunduk. Bagaimanapun juga, aku harus selalu me
Perkataan Rahman yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia sangat membingungkan. Aku menariknya masuk ke dalam kamar. Tidak enak jika mertuaku mendengar perkataan Rahman. “Man, kamu masuk saja. Kalau bicara jangan membuatku bingung.”Rahman masuk ke dalam. Dia membuatku bersama Cinta sangat panik. “Gus, dia mengatakan …,” ucapnya sembari menggerakkan kakinya. Aku segera memegang paha itu, membuatnya mendadak berhenti.“Kamu itu kalau ngomong jangan setengah-setengah. Sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi! Maksud kamu itu saos apa? Kalian makan bakso?!” Rahman menelan salivanya saat mendengar aku berbicara tegas. Dia menarik napas, dan mulai akan berucap kembali.“Gus, saat itu, kan, kamu sudah pergi. Nah, Minah itu menatapku dengan aneh. Dia mengatakan sebuah kalimat. Rahman, kamu harus menghamiliku! Dan aku mengeluarkan cairan merah itu. Saos itu ibarat. Masak aku harus menjelaskan, sih,” protes Ra
Bapak kembali meninggalkan kamar. Beliau memeluk Ibu yang menangis. Aku semakin tidak mengerti dengan ini. Perasaanku mengatakan jika Minah mengakui kalau dirinya di hotel denganku. Tapi, sudah jelas jika itu adalah bohong. Yang terpenting, Cinta mengetahui jika itu adalah tidak benar.“Gus, itu maksudku. Jadi gini …,” kata Rahman menceritakan kejadian saat Minah di kamar menatap dirinya di depan cermin dengan bergumam.“Hah, aku akan mengatakan jika yang membuatku kehilangan itu semua adalah Agus. Kamera cctv itu menunjukkan yang masuk ke dalam kamar tetap pelayan dengan menggunakan baju Agus. Mereka tidak akan mengetahui semua rencanaku. Bulan depan jika aku hamil, dia terpaksa akan menikahiku,” kata Rahman menirukan semua kalimat yang keluar dari mulut Minah. Aku bersama Cinta saling memandang. Tidak aku percaya Minah yang dulunya kalem, polos, dan lugu, ternyata memiliki hati seperti bunga bangkai. Sangat busuk. Cinta yang selalu berd
Aku tidak percaya melihat Cinta pingsan. Dia memang masih hamil, dan kondisinya pasti sangat lemas. Apalagi semua masalah yang menimpa. Minah sangat keterlaluan. Secepatnya aku membawa Cinta ke kamar tamu di bawah. Semua keluarga kebingungan. Ibu segera membuatkan rempah hangat. Aku menghubungi dokter untuk segera datang. Perasaanku sangat tidak enak. Sementara, Bapak berwajah sendu mendengarkan perkataan Sesepuh yang tidak aku mengerti.“Aku akan melakukan sesuatu,” batinku. Kakiku melangkah mendekati Bapak. Beliau menatapku dengan tegang. Aku sangat tahu jika kemarahan terarah kepadaku. “Bapak, biarkan aku berbicara,” ucapku pelan.“Agus, Cinta pingsan bukan karena kesalahanku. Aku hanya ingin meminta pertanggung jawaban saja,” sela Minah dengan perkataannya.“Kamu minta apa dariku? Pertanggung jawaban yang sama sekali tidak seharusnya aku berikan. Kau sudah membohongi semua orang Minah,” balasku membuat Bapak da
Masalah semakin rumit. Di pesawat aku melihat mereka dan satu lagi wanita yang sudah meribetkan kehidupanku. “Minah!” Rahman seketika membenarkan rambutnya padahal tidak berantakan. Jeli khusus rambut sudah membuat setiap helai rambutnya kaku. Bahkan tertiup angin saja tidak akan bergerak.“Kamu duduk di sana, Man. Sebelah Minah. Aku akan duduk di antara mereka,” kataku membuat Ibu menor melirikku sinis, kemudian menggelengkan kepala. Dia melarang aku menduduki kursiku sendiri karena berada di tengah.“Kalau saya tidak duduk di sini, lalu aku kemana?” tanyaku kesal.“Ke laut aje,” jawab laki gendut sambil menunjukkan jarinya. Aku tidak menghiraukan ancaman mereka. Kakiku tetap melangkah paksa menuju kursiku. Mereka tidak berkhak melarangku. Ini hakku.“Agus, aku mau duduk di sini, denganmu. Rahman harus pergi!” Minah semakin membuat suasana tidak enak. Pramugari dengan cepat menghampiri kami. Aku
Napasku semakin kencang seperti kereta api. “Tut, tut!” Suaranya kencang, berasap, dan panas. Kuatur dengan baik. Aku berusaha menenangkan jiwaku yang meronta kebingungan. Rahman menelan salivanya. Dia juga sangat bingung. Hembusan keras aku keluarkan. Mungkin kali ini aku harus mengalah dengan Ibu Menor dan Laki gendut agar bisa membawa Samsul ke Jogja. Tapi, sepertinya sangat sulit aku lakukan.“Minah, kamu itu seharusnya malu. Jangan seperti ini. Aku sudah punya istri dan dia hamil. Ingat itu!” bentakku membuat semua diam. Minah mulai memperlihatkan wajahnya yang memelas. Aku kali ini tidak akan termakan kebohongannya lagi.“Minah, jika tidak karena rencana busukmu itu, aku tidak akan mengalami hal aneh seperti ini. Kau membuat kebohongan, dan tidak berpikir akibatnya sama sekali. Gitu juga tidak malu,” ucapku masih membuatnya diam. Tapi …“Agus, aku tidak akan menyerah.” Minah seketika berubah menjadi se
Perasaanku rasanya sudah kaku. Sekaku hatiku. Bahkan, rambutku juga kaku. Hanya satu yang loyo. Belalai ini. Anteng di tempat.Kutekan nomor Cinta. Dengan cepat dia mengangkatnya.“Cinta, kamu jangan kelelahan dan capek ya. Aku tidak mau istri dan anakku mengalami hal yang buruk. Sampai itu terjadi, Ben akan aku hajar.”“Besuk, Bapak sudah menyiapkan pesawat pribadi. Kamu pulang cepat ya. Dan, jangan lupa bawa Samsul.”“Baiklah. Aku mencintaimu, Cinta.”“Aku juga.”Selang beberapa jam, mobil Samsul datang. Mereka semua keluar dari mobil. Ibu Menor mencengkeram lengan Minah. Samsul bersemu tersenyum membuat Rahman kesal. Minah hanya diam cemberut.“Kenapa kalian?” tanyaku saat mereka sudah memasuki rumah.“Minah akan menjadi istri Samsul. Dan, besuk kita ke Jogja.” Ibu Menor membuat semua diam. Minah menghampiri Rahman dan memeluknya.“Agus tida
Tanpa banyak bicara, aku mengambil jaket. Kali ini aku membutuhkan ketenangan. Kabur, itulah yang akan aku lakukan. “Cinta, kita harus pergi dari sini. Biarkan saja mereka.” Aku menarik Cinta dan mengganti bajunya.“Agus, bagaimana kita akan kabur? Apakah tidak malah membuat masalah lebih ruyam. Bapak bagaimana ama Ibu?” Cinta menatapku dengan kebingungan. Sementara aku dengan cepat mengganti pakaiannya.“Mereka akan paham, dan kita tetap akan melakukannya. Aku hanya ingin berdua denganmu tanpa ada gangguan apapun. Aku sangat capek dengan semua ini, Cinta. Pokoknya kita kabur!” kataku dengan tegas. Cinta hanya diam menuruti apa yang akan aku lakukan.Perlahan aku membuka pintu rumah. Keributan aku dengar di depan rumah. Rahman perang pantun dengan Ibu Menor. Ibu dan adik kembarku di sebelahnya hanya menggeleng. Sementara Bapak memanggil semua pengawal dan beberapa polisi untuk menuju rumah. Di ruang keluarga beliau sangat kesa
Aku terkejut mendengar perkataan Cinta. Bagaimana bisa aku tanpa sadar melepaskan Nanta, dan sekarang dia tidak berada di pangkuanku. Wah ini benar-benar gawat! “Agus! Kamu, kan, dari tadi sudah memangku Nanta. Kenapa sekarang tidak ada dipangkuanmu? Kemana anak itu?” tanya Cinta semakin membuatku panik. “Cinta! Laga juga tidak ada dipangkuan kamu!” Cinta mengangkat kedua tangannya, juga merasa panik melihatku. “Hah, apa?” Kami berdua tidak sadar jika si kembar menghilang begitu saja. Padahal perasaanku tadi, aku sudah memangkunya dengan sangat baik. Ibu berlari menuju panggung dan menemui kami. “Agus di mana si kembar? Bukannya tadi kalian memangkunya?” ucap Ibu dengan panik. Ibu Cinta menyusul kami dengan wajah panik menuju ke atas panggung. “Kalian ini bagaimana, toh! Menjaga si kembar saja kok tidak bisa. Ini acara yang sangat penting. Lihat itu, semua keluarga sudah sangat kebingungan mengamati kalian.” “Ta
Aku tidak percaya melihat Sesepuh datang ke rumah sakit. Mereka dengan sangat serius, berjalan mendekati kami. Hatiku bergetar. Bapak masih diam saja mengamati mereka. Semoga saja mereka tidak melakukan hal yang memancing keributan di rumah sakit ini. Jika itu terjadi, maka aku akan mengalami masalah yang sangat rumit. Mereka semakin mendekat, tubuhku semakin tegang.“Sesepuh, selamat datang,” ucap Bapak memberikan salam.“Sesepuh, salam dari saya,” balasku dengan tersenyum.Mereka menganggukkan kepala dan mengarahkan tangan menuju kursi penunggu yang jauh dari kamar Cinta.“Kita akan berbicara di sana agar tidak membuat keributan di kamar istri Agus,” katanya semakin membuatku lemas. Aku sangat berharap mereka tidak benar-benar membuat keributan.Kami duduk bersebelahan, masih dengan saling memandang tegang. Jantungku berdetak kencang. Aku semakin resah. Baru saja aku mengalami kebahagiaan yang sangat-sangat tid
Aku semakin menyorotkan pandangan ke arah dokter yang mengatakan dengan serius sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Bahkan semua orang juga melotot ke arahnya.“Jadi istri kamu itu ...”“Dokter apa? Kenapa, Dok! Dari tadi jadi, jadi, jadi. Gimana sih ini, Dok Aku ini sudah stress dan putus asa menghadapi keadaan istri aku. Dokter ini malah tidak segera mengatakan bagaimana kondisinya,” protesku yang membuat dokter itu menepuk jidatnya.“Bagaimana bisa aku mengatakan kalau kalian semua melotot ke arahku seperti itu. Rasanya serem sekali,” gumamnya sembari melepaskan kaca matanya.“Wis. Ibu, Rahman, dan semuanya. Sudah! Jangan melihat dokter seperti itu. Nanti malah tidak konsentrasi. Sekarang katakan dokter! Aku itu membutuhkan kabar baik yang bisa membuatku agar lebih bersemangat.”“Baiklah aku akan mengatakan kalau istrimu itu ternyata hamil!”“Apa, hamil?”
Cinta, sekarang apa yang harus aku lakukan ... Kamu masih tertidur dan tidak terbangun lagi. Aku piye, Cinta?Aku perlahan berjalan masuk ke ruangan Cinta. Dia sangat lemas terbaring di atas ranjang dengan menggunakan bantuan oksigen untuk bernapas. Apalagi mesin mendeteksi jantung itu berbunyi sangat menyeramkan. Aku tidak kuasa melihatnya. Apakah aku harus menghubungi semua keluarga dan mengatakan ini? Pasti mereka akan menyalahkan aku dengan semua kejadian ini. Tidak masalah jika memang itu yang akan mereka katakan. Memang benar jika aku ini adalah suami yang tidak becus menjaga istri hingga sampai membuatnya seperti ini.“Agus!”“Rahman?”“Astaga, Agus! Kenapa Cinta sampai begini?”“Rahman, kamu kok bisa tahu jika Cinta mengalami kecelakaan seperti ini?”“Kamu tidak memberitahukan semua keluarga, Gus?” tanya Rahman menatapku dengan serius.“Aku memang sengaja melaku
Cinta tersungkur ke depan, dan dia terjebur!“Cinta!”Aku berlari kencang. Jalanan tidak terlihat, apalagi gelap sperti ini. Sungai dengan arus deras. Itu yang lihat. Cinta! Bagaimana dengan dia?“Cinta!”“Pak, ada apa?” tanya seorang warga mengejutkanku. “Pak, istriku tersungkur dan jatuh di sungai. Bagaimana ini, Pak,” jawabku dengan panik. Aku tanpa berpikir lagi, membuka semua baju dan menjeburkan diri ke sungai. “Byur!”“Pak, hati-hati, arus deras!” teriak warga itu yang sedikit samar aku dengar karena masih menyelam mencari Cinta.“Cinta, kamu di mana?” Aku mengamati semua arah, kemudian menyelam lagi. Dia tidak ada. Aku sangat panik. Cinta … kenapa kau teledor seperti ini? Jangan pernah melakukan hal bodoh jika mengalami semua masalah. Jika seperti ini, bagaimana nantinya dengan anak-anak.“Cinta!” teriakku sekali lagi masih b
Cinta masih menangis berada di pinggir jalan. Dia menolehkan pandangannya ke kanan, lalu ke kiri, sepertinya akan menyebrang. Sebuah truk melintas dengan sorotan lampu yang sangat menyilaukan. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Spontan Aku berlari sangat kencang mendekati Cinta dan, “Cinta awas!” Untung saja aku bisa menarik tubuhnya lalu mendekapnya. Dia menangis tersedu-sedu di dalam pelukanku.“Cinta kamu jangan seperti ini! Kalau terjadi apa-apa sama kamu, lalu kembar dan aku bagaimana? Aku sangat tahu kamu memikirkan masalah ini. Aku pun, juga seperti itu. Jadi kamu sebaiknya menenangkan diri, jangan berbuat macam-macam.”“Aku tidak suka dengan cara mereka, suamiku. Aku hanya ingin menjalani kehidupan biasa saja. Semua harta dan kedudukan yang kita miliki tidak seindah yang mereka bayangkan.”Tanpa berbicara lagi, aku menggendongnya, lalu membawa Cinta untuk menghindar dari jalanan.“Mbak cint
Kami semua melotot melihat kembar ternyata …“Kenapa mereka sama-sama memegang buku tulis?” Ini sama sekali tidak kami sangka. Ternyata mereka memegangnya dalam waktu bersamaan. Hanya perbedaannya, mereka memegang dengan posisi yang berbeda. Nanta sangat serius, sementara Laga dengan sangat santai.“Agus. Ternyata si kembar sama-sama memegang buku tulis. Waktu yang mereka lakukan juga sama persis. Apakah semua anak kembar seperti itu?” Kata Cinta menatapku dengan resah. Sementara aku menatap Sesepuh dan Bapak yang sepertinya saling berdebat. Lebih baik aku mendekati mereka. Bagaimanapun juga si kembar adalah anakku. Bapak kandungnya yang harus menentukan masa depan mereka itu bagaimana.“Cinta, aku mau mendekati Bapak untuk membicarakan masalah ahli waris. Ini tidak boleh berlarut-larut. Masalah ini harus segera diselesaikan. Jika memang kembar melakukan sesuatu selalu bersama-sama, mungkin ini takdir mereka juga untuk dijadi
Minah menarik Rahman, mencium bibirnya seperti itu. Semua mata melotot melihatnya. Kami semua terkekeh melihat Rahman tidak bisa berciuman dengan baik, malah Minah yang sangat liar melakukannya. Rahman berdiri tegak kayak patung. Hahaha, aku semakin pengin ketawa. Sementara semua orang terus menganga melihat pertunjukan itu.“Rahman, come on! Carilah kamar kalian!” Ben melakukan protes, namun saat akan mencium Mira malah mendapatkan tamparan. “Plak!”“Mira, aku hanya mau sedikit saja menikmati bibirmu semerah bunga mawar,” rayunya membuat Mira menggeleng cepat. Sementara Leo hanya tersenyum malu di depan Intan.Syukurlah semua masalah berakhir, dan aku bisa pulang dengan kebahagiaan.**Kami sudah sampai di rumah orang tua Cinta. Mereka sangat bahagia mendengar tawa kembar, apalagi kami yang sudah rukun.“Kamu memang hebat, Agus. Bisa membawa kembar dalam waktu singkat. Bapak sudah menghubungi Pak Po
Leo menghentikan mobilnya dengan mendadak. Kami semua di dalam mobil melotot tajam. melihat keempat wanita dengan sangat-sangat keren berdiri sambil menghadang kami. Tapi keempat wanita itu sangat tidak asing.“Minah?” Rahman berteriak di sebelahku, membuat aku terperanjat.“Cinta, Mira, Intan?” ucapku juga yang sangat keras membuat Leo dengan Ben menepuk jidatnya. Pengawal dan lelaki itu berlari hingga akhirnya sudah berada di sebelah mobil kami.“Kenapa semua wanita itu tiba-tiba menghalangi kita, hingga kita tidak bisa melarikan diri!” protes Leo yang sangat kesal.“Iyo, Agus! Kita ini sedikit lagi loh, bisa lolos dari lelaki yang tidak jelas itu. Namun kenapa berhenti, dan sekarang mereka menangkap kita kembali.” Rahman lemas menyandarkan punggung ke belakang.“Aku sendiri tidak tahu, Man. Ternyata para wanita ini sudah merencanakan sesuatu untuk ikut menolong kita. Namun tidak tepat waktuny