Aku hanya diam menerima perkataan yang membuatku sangat menderita. Cinta itu sepertinya sengaja melakukannya. Suka kalau aku merasa cemburu. Wes, aku akan membiarkan saja. Rahman masih saja saling melotot dengan Ben.
“Cinta, aku capek dan mau masuk ke dalam kamarmu,” kataku menjulurkan lidah kepada bule kota itu. Dia tidak menghiraukanku dan masih saja memandang Cinta yang asik memakan mangga.
“Cukup, pulanglah Ben. Kenapa kau masih di sini?” Akhirnya Cinta mengusirnya, dan aku lega melihatnya. Aku semakin tersenyum, rasanya puas dengan apa yang aku lihat.
“Rasain, kamu diusir. Wes, pulang sana!” bentakku. Cinta berdiri mendekati Ben. Rahman di sebelahnya bersiaga, dan aku kembali mendekatinya.
“Cinta, pelase I love so much,” katanya bersujud. Tidak aku percaya, semakin melihat sinetron di rumah ini.
“Eh, jangan pakai bersujud! Kayak mau melamar saja,” selaku menarik Cinta agar tidak di ha
Pirang? Apakah itu memang anaknya si bule itu? Tidak mungkin dan itu mustahil. Aku masih diam tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Tidak mungkin aku meragukan kehamilan Cinta. Sudah jelas-jelas itu adalah anakku dan aku ayahnya.“Gus, kamu tidak apa-apa?” tanya Rahman kembali. Aku hanya diam mengacak-acak rambutku sendiri. Sudah beres masalah satu, tumbuh satunya lagi. Persis seperti pepatah. Mati satu tumbuh seribu. Ya, inilah hidup. Cobaan selalu ada. Sebagai kepala rumah tangga, aku harus mengatasi masalah ini dengan hati jernih. Walaupun sebenarnya hatiku keruh, sekeruh air bak yang tidak dikuras.“Man, ndak mungkin dia itu anak bule itu. Aku yang jelas-jelas selalu bersamanya. Jangan ngawur kamu!” bentakku, tapi nadanya tidak terlalu tinggi. Rahman manggut-manggut saja di hadapanku. Dia merasa tidak bersalah sudah mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkanku pagi-pagi sekali ditambah pantunnya yang menggelegar itu. Tapi, itulah kelebihanny
Bunga dari Ben? Ini sesuatu yang tidak bisa dibiarkan. Aku akan segera menonjok muka bule itu, membawanya ke pantai agar menjadi gosong. “Man, harus kita hentikan sekarang! Dan kali ini aku yang akan membuatnya memar,” tegasku melepaskan jas. Lalu mengulung lengan kemeja panjangku. Pintu mobil segera aku buka.“Tut, tut!” Ponselku kembali berdering dengan tiba-tiba. Cinta ternyata menghubungiku lagi. Aku kembali masuk ke dalam mobil menerimanya.“Cinta, kenapa?” tanyaku gelisah.“Agus, aku mau ke dokter. Perutku rasanya sangat mual sekali,” jawabnya membuatku resah.“Baik, aku tidak ke kantor dan akan kembali pulang. Tunggu aku di rumah!” Aku menutup ponsel. “Man—” Aku menolehkan pandanganku, tidak menemukan Rahman di depan kursi kemudi. Kutolehkan pandanganku ke kanan kiri, masih saja tidak menemukannya. Saat kedua mataku melihat ke depan, ternyata Rahman jongkok memasang kamer
Kejadian beberapa menit sebelumnya.Cinta masuk ke dalam ruangan mengikuti sang Dokter. Aku masih menerima es dari Rahman dan tanpa sadar melakukan hal konyol yang dia lakukan. Rambutku sangat basah akibat lelehan es batu di atas kepalaku. Tapi, benar katanya. Kepalaku yang sangat gerah jadi dingin.“Cinta, im coming,” kata bule itu, akan ikut masuk ke dalam ruangan dokter. Aku spontan melempar bungkus es dan berlari. Kerah hem merah norak yang masih dia pakai, aku tarik kencang. Dia menahan tangannya di pinggir pintu.“What!” teriakknya. Rahman berdiri menyusulku ikut menarik kerah itu hingga molor, semakin membuat Ben kewalahan.“Oh my!” teriaknya masih menahan tangannya yang mulai melonggar.“Keluar kamu!” ucapku spontan melempar tubuhnya yang berhasil terlepas dari pegangan pintu. “Man, cegah dia!” teriakku membuat Rahman, “Buk!” Menjatuhkan tubuhnya di atas Ben, &ldq
Cinta malah menarik resletingku. Wanita hamil kok kuat begini, ya? Aku tidak mau melakukannya. Dia masih saja hamil, dan aku sebagai laki-laki harus menahan. Tangan Cinta yang sudah masuk ke dalam celanaku aku tahan seketika. Mulut Cinta cemberut kayak kerucut.“Cinta, kita ini baru saja selesai pulang. Bagaimana kalau kita mandi saja. Gerah banget. Gara bule edan itu, aku sangat berkeringat. Aku mandiin kamu ya, ama sabun, nanti aku gosok perlahan. Setelah itu, aku akan masakin dan kita akan menyebar berita gembira ini. Ahli waris kembar. Gimana?” rayuku yang membuat Cinta akhirnya menganggukkan kepala. Tapi, “Loh, Cinta …,” lirihku semakin tidak kuat melihat dia masih saja membelai belalai nakal ini. Ya, wes aku nyerah!“Iya bagaimana kalau kayak gitu?” Tanganku mengkipas-kipas belalai yang semakin memanjang ini.“Percuma di kipas. Emangnya sate?” Cinta tersenyum mengambil sepiring buah apel yang berada di
Kami segera pergi ke rumah Bapak. Rapat keluarga besar sudah akan dilakukan. Semua keluarga sudah berkumpul dengan wajah tegang, termasuk Bapak yang bersebelahan depan Sesepuh duduk saling berbisik.Aku bersebelahan dengan Cinta, hanya diam tanpa berani mengucap apapun juga. Mereka masih berbisik hingga Bapak akhirnya berdiri di antara kami semua. Rahman yang berada di depanku, menatapku tegang. Sementara, ibuku memegang telapak tanganku yang mulai berkeringat. Kami semua menunggu bagaimana hasil dari bisikan misteri Bapak dengan Sesepuh.“Baiklah, saya akan membuka acara ini. Jadi, cucuku kembar dan berjenis kelamin apa kita belum mengetahuinya. Karena anak saya lupa menanyakan kepada dokter.” Bapak melirikku sinis. Aku menunduk. Entahlah kenapa aku tidak menanyakan. Dan, kenapa dokter itu juga tidak memberitahukan kami. Cinta duduk santai, sambil mengelus-elus perutnya.“Sedangkan ahli waris ini hanya berlaku satu orang saja. Jadi, kita akan
Cinta datang di hadapan kami bertiga. Dia sangat marah mendengar apa yang Ben ucapkan. Aku serontak berdiri memeluknya. Aku tidak mau ada masalah yang bisa mengganggu kehamilannya.“Ben, jika kamu menolong Minah untuk melakukan itu, aku akan mencincangmu menjadi daging steak!” bentaknya membuat Ben menelan salivanya. “Glek!”“Steaknya pasti alot,” gumam Rahman dan aku mengangguk. “Alot dan pahit, hitam,” jawabku.“Gus, dia ndak mungkin hitam. Kulitnya putih, otomatis dagingnya putih,” bantah Rahman membuatku kesal.“Man, kan, bisa hitam itu karena gosong. Mau putih, kalau gosong ya hitam,” balasku melotot, dia memutar bola matanya. “Bener juga ya, Gus,” jawabnya menganggukkan kepala.“Huh, sudah cukup. Ben, pergilah!” teriak Cinta semakin membuatku kawatir. Rahman diam seketika. Namun, Ben masih tidak menyerah.“Cinta, im sory. Aku tidak ber
Cinta sangat terkejut dengan apa yang dia dengar. Aku tanpa sengaja meletakkan ponselku di mikropon yang masih menyala. Semua pengunjung supermarket dan pegawai menatapku seolah-olah aku adalah penjahat dalam sebuah drama. Aku segera memberikan mikropon itu kembali kepada pegawai laki-laki yang melotot. “Mas, aku berikan kembali. Maaf sudah membuat keributan,” ucapku sambil meringis.“Laki-laki istri hamil, kok malah seperti itu,” sindirnya membuatku menarik napas. Semua pengunjung masih berbisik. Tatapan mereka sinis, menusuk, dan sadis. Aku mematikan ponselku berlari mendekati Cinta.“Cinta, jangan menuduhku macam-macam. Aku tidak tahu Minah menghubungiku. Percayalah kepadaku, Cinta!” kataku tegas berusaha membuat Cinta mempercayainya.“Agus, kamu sudah mempermalukanku. Aku seperti wanita hamil dengan suami yang jahat. Kamu menyebalkan,” protes Cinta menarikku. Dia meninggalkan semua belanjaan dan membiarkannya b
Rahman berlari menuju kamar Minah, begitu juga dengan Cinta karena mendadak mendapat pesan dari seseorang yang tidak dia kenal.“Rahman?” Cinta melotot menatap Rahman berada di luar kamar. Sementara, rencana yang sebenarnya adalah, “ Man, nanti kamu itu yang masuk ke dalam kamar Minah. Terus, kamu nyatakan Cinta kepadanya. Aku bersama Cinta akan mengatakan kepada Minah, jika laki-laki yang tepat untuk dirinya adalah dirimu. Kamu beli cincin ya, Man,” bisikan Agus saat itu di rumah Cinta sebelum menuju ke hotel.“Mbak Cinta kok ikut naik? Bukannya harus ke restaurant saja?” tanya Rahman dengan kaku sambil menunjukkan jarinya ke arah belakang posisinya. Mendadak, Cinta menarik lengan Rahman. “Sudah jangan banyak bertanya. Ini sangat tidak baik,” ucap Cinta melangkah cepat menuju kamar Minah masih mencengkeram lengan Rahman yang juga mengikutinya dengan tegang.“Jalanan di kota Roma penuh dengan serdadu. Ada apa