Aku tidak percaya Rahman mengendap masuk ke dalam halaman belakang rumahku tepat di bawah jendela rumahku di lantai dua. “Man, kamu lewat mana?” bisikku namun keras. Hingga suaraku terasa serak.
“Gus, pakai tali, turun. Aku nanti akan mengalihkan perhatian semua pengawal. Wes yo. Kamu cerdas. Pikirkan cara itu,” teriakan pelan Rahman. Tepatnya teriakan pakai suara dalam.
“Tapi, aku harus memakai tali apa?” batinku mencari cara yang tepat dan hisa aku gunakan untuk menuruni kamar yang lumayan tinggi ini.
“Duh, aku tidak tahu harus pakai apa ini.”
Aku kembali berjalan di balkon melihat Rahman yang sudah tidak ada di sana. “Kemana, dia?” batinku menatap semua arah. Ternyata Rahman berbicara kepada pengawal menyogoknya dengan rokok yang begitu banyak. Tapi, aku masih tidak tahu bagaimana mencari cara untuk menuruni jendela kamarku, hingga aku kembali melihat batang pohon yang berdiri tegak di pinggir
Kami berdua saling berpelukan hingga terdengar suara perutku, “Kriuk!” Aku memegangnya. Tentu saja aku lapar. Habis senam sama Cinta. Senam Cinta ala-ala melayang.“Cinta, bangun!” Tanpa aku sadari, Cinta ternyata sudah terlelap. “Hmm, enak banget. Udah dapat vitamin tidur. Aku ini kekurangan vitamin,” gumamku mengecup keningnya dan perlahan menuruni ranjang.Aku mengatur selimut agar menutupi tubuh Cinta, dan aku mengendap membuka pintu kamar Cinta. Ruangannya sudah gelap. Pastilah, ini tengah malam. Semua penghuni rumah sudah tidur. Tapi, ini sesuatu yang menguntungkanku. Aku bisa dengan mudah mengambil sesuatu di kulkas.Dengan masih mengendap, aku perlahan menuruni tangga berputar ini. Rumah Cinta besar sekali walaupun besar rumahku. Pantas dia wanita popular di kampus. Tapi, sekarang istri popular, hehe.“Kulkas, yes,” ucapku gembira. Aku mengambil snack dan es krim. Lalu keripik tempe kesukaanku. Aku s
Tamparan keras Cinta layangkan di pipi kananku. Dengan kaku aku menarik dan memeluknya. Aku sangat paham dengan perasaannya. Aku tidak akan marah dengan apa yang sudah dia lakukan. Ini semua karena Cinta sudah sangat putus asa dengan keadaannya.“Aku mohon suamiku, pergilah. Kita tetap akan menjadi suami istri, berapapun banyak nanti istrimu,” jawab Cinta membuatku melotot.“Emang baju, punya banyak?” protesku.“Suamiku, kita akan bertemu lagi. Ingat perkataanmu tadi malam. Keajaiban akan terjadi,” kata Cinta membuatku mengangguk dan akhirnya mengikuti Bapak.“Maafkan aku. Baiklah, aku pergi dulu,” kata Bapak menepuk pundak Bapak Cinta sambil mengangguk. Ibu Cinta memeluk Cinta sambil menangis. Cinta hanya diam melambai ke arahku. Aku segera memasuki mobil dengan Bapak dan melesat.Di dalam mobil, kami hanya diam. Sopir sering kali mengernyit melihat kami di kaca spion. Tapi, dia juga diam, hingga, &l
Baju beskap putih berkalungkan melati sudah aku pakai dengan lengkap. Rahman masih sesenggukan di kursi mengamatiku. Dia seperti hantu yang menangis di tempat gelap dengan mengerikan.“Man, hentikan! Kamu itu nangis di pojokan kayak gitu. Wes, diam!”“Huhuhu, Gus! Kamu nanti malam ama Minah melayangkan roket. Aku bagaimana?”“Wes, aku nati kabur habis ijab. Pokoknya kabur aku. Atau, aku mengulur tidak menjawab ijab, kamu culik Minah pakai topeng, bawa dia pergi. Gimana?” Saranku yang membuat Rahman diam seketika.“Gus, kamu ndak lupa, pengawal bapakmu serem kayak gitu. Lalu, bagaimana aku nanti? Bisa remek kayak rempeyek Gus.” Rahman kesal menyandarkan tubuhnya lagi di sofa melanjutkan tangisannya. “Huaaa, Minah bidadariku turun dari sedan, Mas Rahman sudah edan ini. Minah!” teriaknya membuat aku semakin ikut sedih. Sudah, aku biarkan saja dia. Kakiku melangkah menatap halaman rumah yang sudah di
Dokter membuatku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Semua undangan bersalaman. Ternyata mereka juga senang dengan kabar bahagia ini. Mungkin mereka sebenarnya ikut merasakan penderitaanku jika menikah lagi.Cinta tersenyum lemah memandangku. Kedua matanya berlinang air mata. Salah satu tangannya membelai pipiku. Aku memegangnya sambil sesenggukan. Kami tersenyum dengan saling menatap, namun menangis bahagia. Perjuangan untuk menghasilkan ahli waris akhirnya bisa tercapai.Dengan kedua mata yang masih basah, aku menolehkan wajah ke arah Bapak. “Pak, ijinkan Agus membawa istri ke rumah sakit. Dia hamil, Pak,” ucapku parau dengan tetesan air mata yang masih saja berlinang deras membasahi pipiku.Bapak menganggukkan kepala dengan tersenyum. Kini aku menolehkan pandangan ke wajah penyemangat hatiku. “Ibu, terima kasih semangat dan doa yang sudah terkabul. Cinta hamil, Bu. Agus tidak perlu melakukan peralihan ahli waris,” kataku dan ibu
Mobil Rahman terhenti dengan cepat plus mendadak. Aku memegang dadaku yang rasanya ingin meledak. Pekikan Cinta membuatku bersama Rahman ingin melompat saja.“Mangga di pantai?” tanyaku mengernyit. “Mana ada mangga di sana? Yang ada kepala!” tegas Rahman semakin membuatku kesal. “Kelapa! Kepalamu itu pikirannya Minah saja sampai salah ucap,” protesku. Sementara Rahman menggaruk-garuk kepalanya yang pastinya tidak terasa gatal. Samponya saja harganya jutaan. Tidak mungkin dia berketombe.“Duh, kalian ini ya, kerjaannya ribut saja. Aku ini mual, dan mau makan mangga, tapi yang tumbuh di pantai. Udah, antar ke rumah ibu, dan carikan aku mangga itu!”Tidak bisa aku percaya permintaan Cinta sangat aneh. Yang penting aku akan mengusahakannya. “Man, ayo kita antar Cinta pulang, lalu menuju pantai.”Rahman menyalakan mesin mobil kembali dan melesat menuju rumah Cinta dalam waktu lumayan singkat. Ibu Cint
TES DNA …“Cinta, kamu itu jangan sembarangan kalau bicara. Sekarang katakan kepada bule kampung ini!”“Hoho, aku bukan bule kampung. Aku bule kota!” balasnya melirikku tajam yang aku balas dengan pelototan sebesar mata boneka panda yang akhirnya sedikit membuat dia mencep.“Cinta, kok diam saja?” tanyaku kembali.“Suamiku, aku tidak mau membahas masalah ini. Yang aku mau, sekarang mangga di pantai. Harus bau laut. Huek, huek! Aku mual, sudah dulu ya,” katanya menutup ponselnya dengan segera. Aku berjalan mendekati bule itu yang namanya Ben.“Kamu, pergilah!” perintah yang tidak membuat dia menurut. Dia malah menggeleng sambil tersenyum.“Aku ambil Cinta dulu, baru aku pergi,” jawabnya santai sambil mengelap kaca mata hitamnya persis dengan Rahman. Tanpa berbicara lagi, aku berjalan akan masuk ke dalam mobil dan memutuskan mengabaikannya. Namun, Rahman menarikku.
Aku hanya diam menerima perkataan yang membuatku sangat menderita. Cinta itu sepertinya sengaja melakukannya. Suka kalau aku merasa cemburu. Wes, aku akan membiarkan saja. Rahman masih saja saling melotot dengan Ben.“Cinta, aku capek dan mau masuk ke dalam kamarmu,” kataku menjulurkan lidah kepada bule kota itu. Dia tidak menghiraukanku dan masih saja memandang Cinta yang asik memakan mangga.“Cukup, pulanglah Ben. Kenapa kau masih di sini?” Akhirnya Cinta mengusirnya, dan aku lega melihatnya. Aku semakin tersenyum, rasanya puas dengan apa yang aku lihat.“Rasain, kamu diusir. Wes, pulang sana!” bentakku. Cinta berdiri mendekati Ben. Rahman di sebelahnya bersiaga, dan aku kembali mendekatinya.“Cinta, pelase I love so much,” katanya bersujud. Tidak aku percaya, semakin melihat sinetron di rumah ini.“Eh, jangan pakai bersujud! Kayak mau melamar saja,” selaku menarik Cinta agar tidak di ha
Pirang? Apakah itu memang anaknya si bule itu? Tidak mungkin dan itu mustahil. Aku masih diam tidak mengerti dengan hatiku sendiri. Tidak mungkin aku meragukan kehamilan Cinta. Sudah jelas-jelas itu adalah anakku dan aku ayahnya.“Gus, kamu tidak apa-apa?” tanya Rahman kembali. Aku hanya diam mengacak-acak rambutku sendiri. Sudah beres masalah satu, tumbuh satunya lagi. Persis seperti pepatah. Mati satu tumbuh seribu. Ya, inilah hidup. Cobaan selalu ada. Sebagai kepala rumah tangga, aku harus mengatasi masalah ini dengan hati jernih. Walaupun sebenarnya hatiku keruh, sekeruh air bak yang tidak dikuras.“Man, ndak mungkin dia itu anak bule itu. Aku yang jelas-jelas selalu bersamanya. Jangan ngawur kamu!” bentakku, tapi nadanya tidak terlalu tinggi. Rahman manggut-manggut saja di hadapanku. Dia merasa tidak bersalah sudah mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkanku pagi-pagi sekali ditambah pantunnya yang menggelegar itu. Tapi, itulah kelebihanny