“Tidak …,” lirihku lemas.
Aku memelas sambil memandang wajah Cinta yang semakin pucat. Dia hanya diam di dalam pelukan ibunya. Entahlah bagaimana perasaannya. Pasti sangat sakit, seperti diriku yang merana ini. Rasanya nyilu, pusing, kayak pengen kerokan yang keras, dan Rahman biasanya yang membantuku.
“Man, aku kerokin ya, aku masuk angin,” kataku memegang lengannya dan dia mengernyit.
“Kalau masuk angin itu ke spa pijit refleksi, malah minta kerok. Direktur kok gitu,” bisik Rahman membuatku mencep melihatnya.
“Mau, apa ndak?” tanyaku kembali.
“Iyo, habis rapat,” jawabnya menggeleng.
Sementara Bapak masih saja menjelaskan bagaimana ahli waris harus dilahirkan dengan secepatnya. Aku sendiri tidak paham dengan semua situasi ini.
“Gus, Gus!” panggilan Bapak yang mengejutkanku saat melamun. Rahman menepuk pundakku. Aku hanya terfokus dengan Cinta yang masih mu
Cinta menarikku untuk melanjutkan. Sementara Minah berteriak kencang menangis tidak karuan. Untung ada Rahman di sebelahnya. Dia seketika memeluk Minah sambil tersenyum menatapku dan memberikan jempol kanannya.“Sudah, wes, sabar … untung ada Mas Rahman yang sangat super ganteng ini. Minah ayu bisa menyandarkan kepalanya dengan tenang,” kata Rahman meringis keenakan mengelus-elus punggung Minah yang masih tidak sadar dengan itu semua.“Agus, kamu kok jahat sih?” tanyanya masih menyembunyikan wajahnya di dada kekar Rahman.“Wes, sabar Minah ayu,” ucap Rahman masih meringis kesenangan.Aku segera merapatkan resletingku. Berjalan menutup pintu kamar dengan rapat.“Brak!”Cinta menatapku dengan manyun, membuatku panik. Tiada yang membuatku panik melihat wajah manyunnya.“Gus, ingat anjuran dokter!” teriak Rahman sekali lagi.Aku menggeleng dan mendekatI Cinta. &ldqu
Tidak aku percaya semua kondisi ini semakin membuatku resah. Apalagi dengan kekadiran Minah yang melekat kayak perangko. Dia mengikutiku kemana saja. Perasaan Cinta pasti akan sangat sakit saat melihatnya. Bagaimana jika kita bersama dengan wanita yang dicalonkan buat suami kita selalu berada di tengah-tengah kita? Aku sangat memahaminya. Aku sendiri menahan perasaan itu. Semoga Cinta bisa melalui kondisi ini.Sambil berjalan, aku segera masuk ke dalam kamar di mana Cinta sudah terbaring lemas dengan selang infus yang sudah menancap di lengan kanannya. Lirikan sayu dia lemparkan ke arahku. Tanpa memperhatikan sekitar, aku terus mendekati Cinta yang kini telapak tangannya ada digenggamanku.“Cinta …,” lirihku. Dia hanya melirik belakangku. Yah, melirik calon istri keduaku dan sahabat konyolku yang super baik bernama si ganteng Rahman, katanya.“Cinta, anggap mereka tidak ada. Dan hanya aku suamimu yang sangat tampan ini yang berada di kam
Tamparan keras melayang di pipi kanan Minah. Cinta menarik bungkus bulat berisi cairan infus dari tiang besi yang menyangganya. Dia berjalan mendekati Minah dan, “Plak!” Suaranya sangat kencang sekali. Minah diam seketika menatap tajam Cinta.Aku dan Rahman diam melotot saat melihatnya. Minah menarik napas panjang, dan dia sangat murka. “Aku, akan mengadukan ini, hingga membuatmu terpisah dengan Agus sampai kita menikah!” bentakan Minah membuatku tersulut emosi. Tidak aku percaya dia mengatakan hal gila.“Minah, kau harus pulang bersama Rahman, dan tidak boleh menolak. Cinta, membutuhkan istirahat, dan kalian harus pergi dari sini,” tegasku membuat Rahman ketakutan segera menarik Minah paksa.“Lepaskan!” Minah meronta, tidak membuat Rahman menyerah. Dia mengangkat tubuh Minah hingga akhirnya berhasil membawanya keluar kamar. Aku segera berjalan mengunci pintu kamar dua kali tekanan.“Rahman!” ter
Aku tidak percaya Rahman mengendap masuk ke dalam halaman belakang rumahku tepat di bawah jendela rumahku di lantai dua. “Man, kamu lewat mana?” bisikku namun keras. Hingga suaraku terasa serak.“Gus, pakai tali, turun. Aku nanti akan mengalihkan perhatian semua pengawal. Wes yo. Kamu cerdas. Pikirkan cara itu,” teriakan pelan Rahman. Tepatnya teriakan pakai suara dalam.“Tapi, aku harus memakai tali apa?” batinku mencari cara yang tepat dan hisa aku gunakan untuk menuruni kamar yang lumayan tinggi ini.“Duh, aku tidak tahu harus pakai apa ini.”Aku kembali berjalan di balkon melihat Rahman yang sudah tidak ada di sana. “Kemana, dia?” batinku menatap semua arah. Ternyata Rahman berbicara kepada pengawal menyogoknya dengan rokok yang begitu banyak. Tapi, aku masih tidak tahu bagaimana mencari cara untuk menuruni jendela kamarku, hingga aku kembali melihat batang pohon yang berdiri tegak di pinggir
Kami berdua saling berpelukan hingga terdengar suara perutku, “Kriuk!” Aku memegangnya. Tentu saja aku lapar. Habis senam sama Cinta. Senam Cinta ala-ala melayang.“Cinta, bangun!” Tanpa aku sadari, Cinta ternyata sudah terlelap. “Hmm, enak banget. Udah dapat vitamin tidur. Aku ini kekurangan vitamin,” gumamku mengecup keningnya dan perlahan menuruni ranjang.Aku mengatur selimut agar menutupi tubuh Cinta, dan aku mengendap membuka pintu kamar Cinta. Ruangannya sudah gelap. Pastilah, ini tengah malam. Semua penghuni rumah sudah tidur. Tapi, ini sesuatu yang menguntungkanku. Aku bisa dengan mudah mengambil sesuatu di kulkas.Dengan masih mengendap, aku perlahan menuruni tangga berputar ini. Rumah Cinta besar sekali walaupun besar rumahku. Pantas dia wanita popular di kampus. Tapi, sekarang istri popular, hehe.“Kulkas, yes,” ucapku gembira. Aku mengambil snack dan es krim. Lalu keripik tempe kesukaanku. Aku s
Tamparan keras Cinta layangkan di pipi kananku. Dengan kaku aku menarik dan memeluknya. Aku sangat paham dengan perasaannya. Aku tidak akan marah dengan apa yang sudah dia lakukan. Ini semua karena Cinta sudah sangat putus asa dengan keadaannya.“Aku mohon suamiku, pergilah. Kita tetap akan menjadi suami istri, berapapun banyak nanti istrimu,” jawab Cinta membuatku melotot.“Emang baju, punya banyak?” protesku.“Suamiku, kita akan bertemu lagi. Ingat perkataanmu tadi malam. Keajaiban akan terjadi,” kata Cinta membuatku mengangguk dan akhirnya mengikuti Bapak.“Maafkan aku. Baiklah, aku pergi dulu,” kata Bapak menepuk pundak Bapak Cinta sambil mengangguk. Ibu Cinta memeluk Cinta sambil menangis. Cinta hanya diam melambai ke arahku. Aku segera memasuki mobil dengan Bapak dan melesat.Di dalam mobil, kami hanya diam. Sopir sering kali mengernyit melihat kami di kaca spion. Tapi, dia juga diam, hingga, &l
Baju beskap putih berkalungkan melati sudah aku pakai dengan lengkap. Rahman masih sesenggukan di kursi mengamatiku. Dia seperti hantu yang menangis di tempat gelap dengan mengerikan.“Man, hentikan! Kamu itu nangis di pojokan kayak gitu. Wes, diam!”“Huhuhu, Gus! Kamu nanti malam ama Minah melayangkan roket. Aku bagaimana?”“Wes, aku nati kabur habis ijab. Pokoknya kabur aku. Atau, aku mengulur tidak menjawab ijab, kamu culik Minah pakai topeng, bawa dia pergi. Gimana?” Saranku yang membuat Rahman diam seketika.“Gus, kamu ndak lupa, pengawal bapakmu serem kayak gitu. Lalu, bagaimana aku nanti? Bisa remek kayak rempeyek Gus.” Rahman kesal menyandarkan tubuhnya lagi di sofa melanjutkan tangisannya. “Huaaa, Minah bidadariku turun dari sedan, Mas Rahman sudah edan ini. Minah!” teriaknya membuat aku semakin ikut sedih. Sudah, aku biarkan saja dia. Kakiku melangkah menatap halaman rumah yang sudah di
Dokter membuatku tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Semua undangan bersalaman. Ternyata mereka juga senang dengan kabar bahagia ini. Mungkin mereka sebenarnya ikut merasakan penderitaanku jika menikah lagi.Cinta tersenyum lemah memandangku. Kedua matanya berlinang air mata. Salah satu tangannya membelai pipiku. Aku memegangnya sambil sesenggukan. Kami tersenyum dengan saling menatap, namun menangis bahagia. Perjuangan untuk menghasilkan ahli waris akhirnya bisa tercapai.Dengan kedua mata yang masih basah, aku menolehkan wajah ke arah Bapak. “Pak, ijinkan Agus membawa istri ke rumah sakit. Dia hamil, Pak,” ucapku parau dengan tetesan air mata yang masih saja berlinang deras membasahi pipiku.Bapak menganggukkan kepala dengan tersenyum. Kini aku menolehkan pandangan ke wajah penyemangat hatiku. “Ibu, terima kasih semangat dan doa yang sudah terkabul. Cinta hamil, Bu. Agus tidak perlu melakukan peralihan ahli waris,” kataku dan ibu