Beranda / CEO / Ahli Waris / Bab 61 - Bab 70

Semua Bab Ahli Waris: Bab 61 - Bab 70

145 Bab

Kebenaran

Kami segera pergi ke rumah Bapak. Rapat keluarga besar sudah akan dilakukan. Semua keluarga sudah berkumpul dengan wajah tegang, termasuk Bapak yang bersebelahan depan Sesepuh duduk saling berbisik.Aku bersebelahan dengan Cinta, hanya diam tanpa berani mengucap apapun juga. Mereka masih berbisik hingga Bapak akhirnya berdiri di antara kami semua. Rahman yang berada di depanku, menatapku tegang. Sementara, ibuku memegang telapak tanganku yang mulai berkeringat. Kami semua menunggu bagaimana hasil dari bisikan misteri Bapak dengan Sesepuh.“Baiklah, saya akan membuka acara ini. Jadi, cucuku kembar dan berjenis kelamin apa kita belum mengetahuinya. Karena anak saya lupa menanyakan kepada dokter.” Bapak melirikku sinis. Aku menunduk. Entahlah kenapa aku tidak menanyakan. Dan, kenapa dokter itu juga tidak memberitahukan kami. Cinta duduk santai, sambil mengelus-elus perutnya.“Sedangkan ahli waris ini hanya berlaku satu orang saja. Jadi, kita akan
Baca selengkapnya

Masalah Baru

Cinta datang di hadapan kami bertiga. Dia sangat marah mendengar apa yang Ben ucapkan. Aku serontak berdiri memeluknya. Aku tidak mau ada masalah yang bisa mengganggu kehamilannya.“Ben, jika kamu menolong Minah untuk melakukan itu, aku akan mencincangmu menjadi daging steak!” bentaknya membuat Ben menelan salivanya. “Glek!”“Steaknya pasti alot,” gumam Rahman dan aku mengangguk. “Alot dan pahit, hitam,” jawabku.“Gus, dia ndak mungkin hitam. Kulitnya putih, otomatis dagingnya putih,” bantah Rahman membuatku kesal.“Man, kan, bisa hitam itu karena gosong. Mau putih, kalau gosong ya hitam,” balasku melotot, dia memutar bola matanya. “Bener juga ya, Gus,” jawabnya menganggukkan kepala.“Huh, sudah cukup. Ben, pergilah!” teriak Cinta semakin membuatku kawatir. Rahman diam seketika. Namun, Ben masih tidak menyerah.“Cinta, im sory. Aku tidak ber
Baca selengkapnya

Rencana

Cinta sangat terkejut dengan apa yang dia dengar. Aku tanpa sengaja meletakkan ponselku di mikropon yang masih menyala. Semua pengunjung supermarket dan pegawai menatapku seolah-olah aku adalah penjahat dalam sebuah drama. Aku segera memberikan mikropon itu kembali kepada pegawai laki-laki yang melotot. “Mas, aku berikan kembali. Maaf sudah membuat keributan,” ucapku sambil meringis.“Laki-laki istri hamil, kok malah seperti itu,” sindirnya membuatku menarik napas. Semua pengunjung masih berbisik. Tatapan mereka sinis, menusuk, dan sadis. Aku mematikan ponselku berlari mendekati Cinta.“Cinta, jangan menuduhku macam-macam. Aku tidak tahu Minah menghubungiku. Percayalah kepadaku, Cinta!” kataku tegas berusaha membuat Cinta mempercayainya.“Agus, kamu sudah mempermalukanku. Aku seperti wanita hamil dengan suami yang jahat. Kamu menyebalkan,” protes Cinta menarikku. Dia meninggalkan semua belanjaan dan membiarkannya b
Baca selengkapnya

Masalah Selesai

Rahman berlari menuju kamar Minah, begitu juga dengan Cinta karena mendadak mendapat pesan dari seseorang yang tidak dia kenal.“Rahman?” Cinta melotot menatap Rahman berada di luar kamar. Sementara, rencana yang sebenarnya adalah, “ Man, nanti kamu itu yang masuk ke dalam kamar Minah. Terus, kamu nyatakan Cinta kepadanya. Aku bersama Cinta akan mengatakan kepada Minah, jika laki-laki yang tepat untuk dirinya adalah dirimu. Kamu beli cincin ya, Man,” bisikan Agus saat itu di rumah Cinta sebelum menuju ke hotel.“Mbak Cinta kok ikut naik? Bukannya harus ke restaurant saja?” tanya Rahman dengan kaku sambil menunjukkan jarinya ke arah belakang posisinya. Mendadak, Cinta menarik lengan Rahman. “Sudah jangan banyak bertanya. Ini sangat tidak baik,” ucap Cinta melangkah cepat menuju kamar Minah masih mencengkeram lengan Rahman yang juga mengikutinya dengan tegang.“Jalanan di kota Roma penuh dengan serdadu. Ada apa
Baca selengkapnya

Kembali Pusing

Kedua mataku mengernyip, melihat mobil peyok sport yang tidak asing memasuki halaman rumah sambil dikejar satpam. Aku sontak terbelalak semakin meyakinkan jika itu adalah bule kota edan yang kembali datang. Sudah aku peringatkan untuk tidak masuk ke dalam rumah ini lagi. Lha kok dia malah melanggar. Ini tidak bisa dibiarkan. Pengen ta pites aja itu orang. Nyebelin!Aku berjalan cepat menghampirinya. Dia membuka pintu mobil sambil mengawasiku atas bawah. “Oh my, you look so bad,” katanya dengan menepuk jidat. Aku mengamati diriku sendiri. Tapi, apa yang dia katakan memang benar. Aku sangat berantakan.“Heh, jangan sok ganteng kamu. Pulang sana!” teriakku sembari menunjukkan jari ke pagar rumah. Para satpam masih diam menunggu interuksi dariku. “Satpam ba—” Mulutku tertutup saat Bapak berteriak mendadak. “Diam!” Dengan sorotan tajam Bapak mengamati kami berdua yang diam menunduk. Bagaimanapun juga, aku harus selalu me
Baca selengkapnya

Rencana Minah

Perkataan Rahman yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia sangat membingungkan. Aku menariknya masuk ke dalam kamar. Tidak enak jika mertuaku mendengar perkataan Rahman. “Man, kamu masuk saja. Kalau bicara jangan membuatku bingung.”Rahman masuk ke dalam. Dia membuatku bersama Cinta sangat panik. “Gus, dia mengatakan …,” ucapnya sembari menggerakkan kakinya. Aku segera memegang paha itu, membuatnya mendadak berhenti.“Kamu itu kalau ngomong jangan setengah-setengah. Sekarang, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi! Maksud kamu itu saos apa? Kalian makan bakso?!” Rahman menelan salivanya saat mendengar aku berbicara tegas. Dia menarik napas, dan mulai akan berucap kembali.“Gus, saat itu, kan, kamu sudah pergi. Nah, Minah itu menatapku dengan aneh. Dia mengatakan sebuah kalimat. Rahman, kamu harus menghamiliku! Dan aku mengeluarkan cairan merah itu. Saos itu ibarat. Masak aku harus menjelaskan, sih,” protes Ra
Baca selengkapnya

Ahli Waris Batal

Bapak kembali meninggalkan kamar. Beliau memeluk Ibu yang menangis. Aku semakin tidak mengerti dengan ini. Perasaanku mengatakan jika Minah mengakui kalau dirinya di hotel denganku. Tapi, sudah jelas jika itu adalah bohong. Yang terpenting, Cinta mengetahui jika itu adalah tidak benar.“Gus, itu maksudku. Jadi gini …,” kata Rahman menceritakan kejadian saat Minah di kamar menatap dirinya di depan cermin dengan bergumam.“Hah, aku akan mengatakan jika yang membuatku kehilangan itu semua adalah Agus. Kamera cctv itu menunjukkan yang masuk ke dalam kamar tetap pelayan dengan menggunakan baju Agus. Mereka tidak akan mengetahui semua rencanaku. Bulan depan jika aku hamil, dia terpaksa akan menikahiku,” kata Rahman menirukan semua kalimat yang keluar dari mulut Minah. Aku bersama Cinta saling memandang. Tidak aku percaya Minah yang dulunya kalem, polos, dan lugu, ternyata memiliki hati seperti bunga bangkai. Sangat busuk. Cinta yang selalu berd
Baca selengkapnya

Menuju Medan

Aku tidak percaya melihat Cinta pingsan. Dia memang masih hamil, dan kondisinya pasti sangat lemas. Apalagi semua masalah yang menimpa. Minah sangat keterlaluan. Secepatnya aku membawa Cinta ke kamar tamu di bawah. Semua keluarga kebingungan. Ibu segera membuatkan rempah hangat. Aku menghubungi dokter untuk segera datang. Perasaanku sangat tidak enak. Sementara, Bapak berwajah sendu mendengarkan perkataan Sesepuh yang tidak aku mengerti.“Aku akan melakukan sesuatu,” batinku. Kakiku melangkah mendekati Bapak. Beliau menatapku dengan tegang. Aku sangat tahu jika kemarahan terarah kepadaku. “Bapak, biarkan aku berbicara,” ucapku pelan.“Agus, Cinta pingsan bukan karena kesalahanku. Aku hanya ingin meminta pertanggung jawaban saja,” sela Minah dengan perkataannya.“Kamu minta apa dariku? Pertanggung jawaban yang sama sekali tidak seharusnya aku berikan. Kau sudah membohongi semua orang Minah,” balasku membuat Bapak da
Baca selengkapnya

Terkejut

Masalah semakin rumit. Di pesawat aku melihat mereka dan satu lagi wanita yang sudah meribetkan kehidupanku. “Minah!” Rahman seketika membenarkan rambutnya padahal tidak berantakan. Jeli khusus rambut sudah membuat setiap helai rambutnya kaku. Bahkan tertiup angin saja tidak akan bergerak.“Kamu duduk di sana, Man. Sebelah Minah. Aku akan duduk di antara mereka,” kataku membuat Ibu menor melirikku sinis, kemudian menggelengkan kepala. Dia melarang aku menduduki kursiku sendiri karena berada di tengah.“Kalau saya tidak duduk di sini, lalu aku kemana?” tanyaku kesal.“Ke laut aje,” jawab laki gendut sambil menunjukkan jarinya. Aku tidak menghiraukan ancaman mereka. Kakiku tetap melangkah paksa menuju kursiku. Mereka tidak berkhak melarangku. Ini hakku.“Agus, aku mau duduk di sini, denganmu. Rahman harus pergi!” Minah semakin membuat suasana tidak enak. Pramugari dengan cepat menghampiri kami. Aku
Baca selengkapnya

MIMPI

Napasku semakin kencang seperti kereta api. “Tut, tut!” Suaranya kencang, berasap, dan panas. Kuatur dengan baik. Aku berusaha menenangkan jiwaku yang meronta kebingungan. Rahman menelan salivanya. Dia juga sangat bingung. Hembusan keras aku keluarkan. Mungkin kali ini aku harus mengalah dengan Ibu Menor dan Laki gendut agar bisa membawa Samsul ke Jogja. Tapi, sepertinya sangat sulit aku lakukan.“Minah, kamu itu seharusnya malu. Jangan seperti ini. Aku sudah punya istri dan dia hamil. Ingat itu!” bentakku membuat semua diam. Minah mulai memperlihatkan wajahnya yang memelas. Aku kali ini tidak akan termakan kebohongannya lagi.“Minah, jika tidak karena rencana busukmu itu, aku tidak akan mengalami hal aneh seperti ini. Kau membuat kebohongan, dan tidak berpikir akibatnya sama sekali. Gitu juga tidak malu,” ucapku masih membuatnya diam. Tapi …“Agus, aku tidak akan menyerah.” Minah seketika berubah menjadi se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
15
DMCA.com Protection Status