Home / Fantasi / Zero: Forgotten Lost (INDONESIA) / Volume 1 Chapter 0: Terbangun Didunia yang Asing

Share

Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)
Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)
Author: Zeetsensei

Volume 1 Chapter 0: Terbangun Didunia yang Asing

Author: Zeetsensei
last update Last Updated: 2024-12-16 21:51:32

Rasa dingin dan lembap menyelimuti tubuh Fabio. Dia membuka matanya perlahan, mendapati dirinya berbaring di atas tanah yang keras dan basah. Aroma anyir dan tanah busuk mengisi udara, menyesakkan dada setiap kali dia mencoba bernapas. Pandangannya buram, tetapi dia bisa melihat bayang-bayang pohon-pohon besar yang melingkari tempatnya berada, seperti raksasa yang mengawasinya.

Dia menggigil, merasakan angin yang menusuk kulit, meskipun ia mengenakan pakaian yang tampaknya sudah compang-camping. Ketika mencoba bangkit, tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang hilang darinya—bukan hanya kekuatan, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam.

"Di mana... aku?" Fabio bergumam, suaranya serak, hampir tak dikenali oleh dirinya sendiri. Tidak ada jawaban, hanya gema kecil dari suara burung-burung asing yang terdengar di kejauhan.

Dia mengedarkan pandangan, mencari petunjuk. Di sekitarnya, tumbuh-tumbuhan yang tampak tak wajar menyembul dari tanah. Beberapa bersinar redup dalam kegelapan, memancarkan cahaya kehijauan yang menciptakan bayangan aneh. Pohon-pohon besar di sekitarnya memiliki akar yang mencuat dari tanah, seperti mencoba meraih sesuatu di atas.

"Siapa aku..." dia berbisik lagi, lebih pada dirinya sendiri.

Fabio mengangkat tangannya, memperhatikan bekas luka di telapak tangan kirinya. Bekas itu seperti rune yang tergores, membentuk pola yang rumit. Namun, dia tidak ingat dari mana asalnya. Tidak ada satu pun memori yang terasa nyata di kepalanya—hanya kekosongan yang menyakitkan.

Sebuah suara mendesing dari kejauhan, diikuti oleh lolongan panjang. Suara itu membuat rambut di tengkuk Fabio berdiri. Nalurinya menyuruhnya bergerak, meski otaknya masih bingung. Dengan cepat, dia memeriksa kantong kecil di pinggangnya. Sebuah belati tua dengan bilah yang berkarat adalah satu-satunya benda yang dia miliki.

"Bagus," gumamnya pahit. "Setidaknya aku tidak sepenuhnya tak bersenjata."

Langkah kakinya perlahan membawanya keluar dari area itu. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah dia bergerak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Tapi dia tahu satu hal pasti: dia harus bergerak, harus bertahan, dan harus mencari jawaban tentang siapa dirinya—dan apa tempat mengerikan ini.

Suara lolongan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Fabio berhenti, menatap ke arah sumber suara dengan tubuh yang tegang. Matanya menatap tajam, dan meskipun jantungnya berdebar kencang, dia tidak membiarkan rasa takut menguasai dirinya.

"Kalau ini ujian pertama... aku akan memastikan aku lolos," desisnya sambil mengangkat belatinya.

Dengan nafas yang berat, Fabio melangkah ke kegelapan, menuju suara ancaman yang tidak dia kenal, tanpa mengetahui bahwa ini hanyalah awal dari petualangan panjang dan penuh bahaya.

Lolongan itu semakin dekat. Fabio menahan napas, menyelinap di antara akar-akar pohon yang menjulang seperti dinding. Dia mencoba memusatkan pendengarannya, tetapi hanya suara gemerisik daun dan gemuruh samar di kejauhan yang terdengar.

Kemudian dia melihatnya.

Di celah antara dua pohon besar, makhluk itu berdiri, membungkuk seperti sedang mencium tanah. Sosoknya jauh dari bentuk manusia. Kulitnya hitam pekat, seperti terbuat dari bayangan yang bergerak. Lengan-lengannya panjang, dengan jari-jari yang seperti cakar tajam memanjang. Kepala makhluk itu berbentuk memanjang, tanpa mata, hanya mulut yang dipenuhi gigi tajam yang berkilauan dalam kegelapan.

Nyxaroth. Nama itu tiba-tiba muncul di pikiran Fabio, meski dia tidak tahu dari mana. Mungkin sebuah ingatan yang tertinggal, atau hanya insting yang tertanam di benaknya.

Makhluk itu sedang memburu sesuatu. Fabio bisa melihat bekas jejak darah di tanah, membentuk pola zig-zag menuju semak-semak di depan makhluk itu. Nyxaroth melangkah perlahan, cakar-cakarnya menggores tanah, sementara suara geraman rendah terdengar dari tenggorokannya.

Fabio merunduk lebih rendah, bersembunyi di balik akar besar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus menyerang? Atau menunggu makhluk itu pergi? Tetapi saat pikirannya berlomba mencari keputusan, sesuatu terjadi.

Dari semak-semak yang berlumur darah, seekor binatang kecil melompat keluar—seperti rusa kecil dengan bulu perak yang berkilauan. Namun, matanya memancarkan cahaya merah, penuh ketakutan. Makhluk itu mencoba melarikan diri, tetapi Nyxaroth bergerak cepat, lebih cepat dari yang Fabio bayangkan.

Makhluk itu melompat, cakar-cakarnya menghantam binatang malang itu dengan kekuatan brutal. Terdengar suara retakan tulang yang mengerikan saat tubuh binatang itu terhempas ke tanah. Jeritan terakhirnya menggema di udara, sebelum terdiam dalam kesunyian yang mengerikan.

Fabio menahan rasa mual. Dia tidak bisa berpaling, meskipun setiap insting dalam tubuhnya memohon untuk melarikan diri. Dia melihat Nyxaroth menunduk, mulai mencabik tubuh binatang itu, memakan dagingnya dengan rakus.

Ini adalah predator, pikir Fabio. Bukan sekadar makhluk liar, tapi pemburu yang hidup untuk membunuh dan menghancurkan.

Namun, dalam kesibukan makhluk itu, Fabio melihat sesuatu yang aneh. Di tengah tubuh Nyxaroth, ada semacam inti bercahaya. Cahaya biru kehijauan itu berdenyut, seperti detak jantung, setiap kali makhluk itu bergerak.

Dia tidak tahu mengapa, tetapi Fabio merasakan sesuatu yang menarik tentang inti itu. Naluri lain berbicara padanya: jika makhluk ini harus dilawan, inti itu adalah kunci untuk menghentikannya.

Tanpa sadar, dia meremas belatinya lebih erat.

Nyxaroth tiba-tiba berhenti. Kepala tak bermatanya menoleh ke arah Fabio. Meskipun makhluk itu tidak memiliki mata, Fabio bisa merasakan tatapannya menembus kegelapan, langsung ke arahnya.

Sial, pikir Fabio, makhluk ini tahu aku di sini.

Nyxaroth mengeluarkan suara geraman rendah, cakar-cakarnya mencakar tanah dengan suara yang mengiris telinga. Makhluk itu mulai berjalan mendekat, meninggalkan sisa-sisa mangsanya di belakang.

"Ayo," Fabio berbisik pada dirinya sendiri, menyiapkan posisinya untuk bertarung. Dia tidak punya pilihan lain.

Makhluk itu menerjang, dan Fabio melompat ke samping, menghindari serangan pertama. Jantungnya berdebar kencang saat dia berguling dan segera berdiri. Dia tahu dia tidak bisa melawan makhluk ini secara langsung. Dia harus pintar, harus menemukan cara untuk menyerang inti yang bercahaya itu.

Pertarungan dimulai.

Nyxaroth menerjang lagi, lebih cepat dari yang Fabio duga. Cakarnya mengarah ke lehernya, tajam seperti pisau yang siap mengoyak. Fabio melompat ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan. Udara di sekitar makhluk itu terasa berat, seolah-olah kegelapan yang menyelimutinya memiliki wujud fisik.

Makhluk itu mendekat, geramannya rendah dan mengancam. Fabio menggenggam belatinya erat, mencoba tetap tenang meski jantungnya berpacu seperti genderang perang.

"Sialan," desisnya sambil melirik sekeliling. Tidak ada tempat untuk lari. Dia hanya memiliki satu pilihan—melawan.

Nyxaroth melompat lagi, cakarnya menghantam tanah dan menciptakan lubang besar. Fabio memanfaatkan momen itu untuk menyerang, menusukkan belatinya ke sisi makhluk itu. Namun, kulit hitam legam Nyxaroth keras seperti baja. Belatinya terpental, nyaris membuat Fabio kehilangan senjatanya.

Makhluk itu berbalik cepat, memukul Fabio dengan lengan panjangnya. Tubuh Fabio terlempar dan menghantam batang pohon, membuatnya terbatuk keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, tetapi dia memaksa dirinya berdiri.

"Tak bisa menang dengan kekuatan saja," pikir Fabio. Dia memandangi inti bercahaya di dada Nyxaroth. Itu adalah satu-satunya titik lemah makhluk ini. Tapi bagaimana cara mencapainya?

Nyxaroth mendekat lagi, mulutnya terbuka lebar, menampilkan deretan gigi tajam yang mengerikan. Fabio berlari ke arah kanan, mencoba mengelabui makhluk itu. Dengan cepat dia menghindari serangan lain, lalu melemparkan batu ke arah kepala Nyxaroth. Batu itu memantul tanpa efek, tetapi cukup untuk membuat makhluk itu berbalik ke arah yang salah.

Saat itu, Fabio mendapatkan ide. Dia memandangi akar besar yang melingkari medan pertempuran. Jika dia bisa memanfaatkan lingkungan...

Dengan langkah cepat, Fabio melompat ke atas akar besar, berlari sepanjang lengkungan pohon. Nyxaroth mengikuti, cakarnya menghantam akar dengan keras, mencoba meraih Fabio. Namun, Fabio sudah berada di atas makhluk itu, melompat dengan belati terhunus, langsung mengarah ke inti bercahayanya.

Belatinya menembus inti itu dengan suara gemeretak yang memuakkan. Nyxaroth melolong, suara yang menggetarkan udara dan membuat daun-daun di sekitar bergetar. Fabio menggenggam belatinya erat, memutar bilah itu dengan sekuat tenaga.

Cahaya dari inti Nyxaroth mulai bergetar, seperti nyala lilin yang hampir padam. Makhluk itu meronta, mencoba menjatuhkan Fabio dari tubuhnya. Tapi Fabio bertahan, menusukkan belatinya lebih dalam lagi.

Dengan jeritan terakhir, tubuh Nyxaroth membeku, lalu runtuh ke tanah dengan suara dentuman keras. Fabio terjatuh, tubuhnya terhempas ke tanah bersamaan dengan makhluk itu.

Dia terbaring di sana, terengah-engah, menatap langit gelap di atasnya. Udara dingin terasa menyengat, tetapi dia tidak peduli. Dia telah bertahan.

Ketika dia akhirnya berdiri, dia melihat tubuh Nyxaroth mulai hancur menjadi debu hitam, tertiup angin dan menghilang begitu saja. Di tempat inti bercahayanya, hanya tersisa serpihan kecil kristal biru kehijauan. Fabio mengambilnya, memeriksa dengan saksama.

"Ini... penting," katanya pelan, meski dia tidak tahu mengapa.

Dengan napas berat, Fabio menatap ke arah hutan yang gelap dan penuh misteri. Dia tahu ini baru awal dari perjalanan yang jauh lebih berbahaya. Tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dia memiliki tujuan—dan kekuatan untuk bertahan hidup.

Lolongan terakhir Nyxaroth menggema di hutan gelap, menarik perhatian mereka yang ada di kejauhan. Beberapa saat kemudian, dari dalam bayangan pepohonan, muncul pasukan bersenjata lengkap. Mereka mengenakan zirah logam yang tergores bekas pertempuran, dihiasi simbol yang tidak terlihat jelas di tengah kegelapan. Cahaya obor mereka menerangi reruntuhan pertempuran, menyoroti tanah yang porak-poranda dan jejak darah.

"Berhenti di sini," perintah seorang pria dengan suara tegas. Dia tampak sebagai pemimpin, dengan mantel yang berbeda dari prajurit lainnya. "Makhluk itu pasti ada di dekat sini. Bersiaplah."

Para prajurit merapat, membentuk formasi defensif. Ketegangan memenuhi udara saat mereka mendekati area tempat pertarungan berlangsung. Kemudian mereka melihatnya—sisa tubuh Nyxaroth yang telah menjadi debu hitam, bertebaran seperti abu dingin di atas tanah.

Salah satu prajurit melangkah maju, mengangkat obor lebih tinggi untuk memperjelas pandangan. "Tuan, makhluk itu... telah dihancurkan," katanya, suaranya terdengar ragu.

"Aneh." Pemimpin pasukan itu berjongkok, memeriksa bekas cakaran besar di tanah dan pohon-pohon di sekitar. Dia menyentuh debu hitam Nyxaroth yang perlahan menghilang dalam angin. "Tidak mungkin makhluk ini mati tanpa perlawanan besar. Siapa yang melakukannya?"

"Tuan, lihat ini!" teriak salah satu prajurit.

Di dekat sisa debu itu, tubuh Fabio terbaring tanpa bergerak. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya penuh luka, dan belati kecil yang berlumuran darah tergeletak tak jauh darinya. Wajahnya pucat, hampir seperti mayat.

"Mungkin dia sudah mati," gumam salah satu prajurit.

Pemimpin pasukan itu mendekat, memeriksa denyut nadi Fabio. Dia terdiam sejenak, lalu berbicara dengan nada serius. "Dia masih hidup. Tapi nyaris. Luka-lukanya parah."

Para prajurit saling pandang, tampak ragu. Salah satu dari mereka bertanya, "Apa dia benar-benar melawan Nyxaroth sendirian? Itu... mustahil."

"Mustahil atau tidak, dia di sini dan makhluk itu sudah mati." Pemimpin pasukan itu berdiri, lalu memberikan perintah cepat. "Angkat dia. Kita bawa ke ibu kota. Dia membutuhkan perawatan, dan siapa tahu, dia mungkin punya jawaban."

Dengan hati-hati, dua prajurit mengangkat tubuh Fabio yang tidak sadarkan diri. Mereka membungkusnya dengan jubah tebal untuk melindunginya dari dinginnya malam. Sementara itu, pemimpin pasukan itu mengamati sekali lagi tempat pertarungan itu, seolah-olah mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Siapkan jalan pulang," katanya akhirnya. "Kita tidak tahu apakah ada Nyxaroth lain di sekitar."

Pasukan bergerak dengan cepat, membawa Fabio melewati hutan yang gelap. Perjalanan itu penuh kehati-hatian, dengan prajurit di garis depan dan belakang memegang obor untuk menerangi jalan. Fabio tetap tak sadar, tubuhnya terombang-ambing di atas tandu darurat yang mereka buat.

Setelah perjalanan panjang, mereka akhirnya tiba di luar hutan, menuju medan yang lebih terbuka. Di kejauhan, puncak menara ibu kota tampak samar, bersinar di bawah cahaya bulan. Pasukan itu mempercepat langkah, memasuki gerbang besar yang dijaga ketat.

Fabio dibawa ke dalam sebuah ruangan yang hangat dan aman, dikelilingi oleh lentera-lentera yang bersinar lembut. Para prajurit menyerahkan tanggung jawab kepada seorang tabib yang segera memeriksa lukanya.

"Dia beruntung masih hidup," gumam tabib itu sambil mulai merawat luka Fabio.

Pemimpin pasukan itu mengangguk, lalu memandangi pemuda yang terbaring di depannya dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Siapa sebenarnya kau, anak muda? Dan bagaimana bisa kau bertahan melawan makhluk seperti itu?"

Namun, Fabio tetap diam, terjebak dalam kegelapan pikirannya sendiri, sementara masa depannya perlahan mulai terungkap di tempat asing ini.

Kehangatan yang menyelimutinya perlahan menarik Fabio keluar dari kegelapan yang mencekam. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lemas, tetapi perlahan ia membuka matanya. Ruangan yang samar-samar dikenalnya berwarna hangat, dengan cahaya lentera yang memantul lembut di dinding batu yang dingin. Tubuhnya terbaring di atas ranjang sederhana, dan di sekelilingnya ada suara bisikan pelan serta langkah kaki yang tenang.

Ketika matanya sepenuhnya terbuka, dia melihat seorang wanita berdiri di dekatnya. Wanita itu memiliki mata yang tajam, seolah menembus jiwa setiap orang yang dilihatnya. Rambutnya panjang dan gelap, tergerai dengan rapi, sementara pakaiannya berwarna hitam dan biru gelap, memberi kesan misterius yang kental.

“Terbangun akhirnya.” Suara wanita itu lembut namun penuh ketegasan. “Kau sudah cukup lama tak sadarkan diri. Aku Thalysa.”

Fabio merasakan mulutnya kering, dan suaranya terdengar serak ketika dia mencoba berbicara. “Si… siapa saya?”

Thalysa mengamati Fabio dengan intens. “Kau tidak ingat siapa dirimu?”

“Yang bisa saya ingat… hanya nama saya. Fabio.”

Perasaan cemas menyelimuti dada Fabio saat ia melihat ekspresi wanita itu yang seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Ia merasa seolah-olah tubuhnya diperiksa lebih dari sekadar fisiknya. Ada sesuatu yang mendalam dalam pandangan Thalysa.

“Nama itu saja?” Thalysa bertanya, tetap tenang, meskipun ada rasa heran yang jelas tergambar di wajahnya. “Tidak ada yang lain yang bisa kau ingat? Tidak ada kenangan, wajah-wajah, tempat, atau perasaan?”

Fabio menggelengkan kepala, rasa kekosongan di dalam dirinya semakin menyakitkan. “Tidak… Hanya Fabio. Itu saja. Saya tidak tahu bagaimana saya sampai di sana atau apa yang terjadi.”

Wanita itu merenung sejenak, menyusuri ruangan dengan langkah tenang, lalu berhenti di depannya. “Pasti ada sesuatu lebih dari itu. Seseorang tidak mungkin terbangun tanpa ingatan tentang apa pun setelah bertarung dengan makhluk seperti Nyxaroth.”

Pada saat itu, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria berpakaian zirah, yang Fabio kenali sebagai pemimpin pasukan yang membawanya ke sini, Baizhu, memasuki ruangan. Wajahnya penuh keraguan, dan pandangannya tajam, tidak sepenuhnya yakin dengan cerita Fabio.

“Thalysa, apa kau yakin ini tidak hanya kebohongan? Orang ini bisa saja bertindak bodoh atau mencoba mengalihkan perhatian dari sesuatu yang lebih besar,” kata Baizhu, suaranya dipenuhi keraguan. “Kita tidak bisa begitu saja menerima kisah tanpa bukti.”

Thalysa menatap Baizhu dengan tenang, tidak terburu-buru dalam merespon. “Baizhu, kamu tahu aku tidak pernah salah dalam membaca seseorang.”

“Ya, tapi—” Baizhu mencoba berbicara lagi, namun Thalysa menghentikannya dengan satu pandangan tajam.

“Dia tidak berbohong.” Suara Thalysa kali ini sangat meyakinkan, namun tetap rendah dan misterius. “Kau bisa meragukan cerita ini, tetapi kamu tidak bisa meragukan caranya bicara. Aku bisa melihat melalui kata-katanya. Ketidakpastian yang ada di dalam dirinya bukanlah pura-pura. Aku dapat merasakan ketulusan dalam setiap suaranya.”

Baizhu terdiam, memandangi Thalysa dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Jika itu benar, dan dia tidak berbohong, maka ada lebih banyak yang harus kita pelajari tentang siapa dia. Dan bagaimana dia bisa bertahan hidup melawan makhluk itu."

Fabio merasa cemas saat mereka berdua saling berbicara, namun Thalysa kembali menatapnya. “Kau tidak mengingat apa pun tentang dirimu, tapi ada hal lain yang masih terjaga dalam dirimu, Fabio. Entah itu kekuatan atau sesuatu yang lebih dalam. Kau bertahan hidup setelah bertarung dengan Nyxaroth—sebuah keajaiban yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kebetulan.”

“Keajaiban…?” Fabio bertanya pelan, mencoba memahami maksudnya.

“Keajaiban yang hanya dimiliki oleh mereka yang disebut Saint,” jawab Thalysa, senyumnya sedikit tersenyum, tapi tetap penuh rahasia. “Dan aku rasa… kamu adalah salah satu dari mereka.”

Pemimpin pasukan itu akhirnya mengangguk, meskipun raut wajahnya masih penuh keraguan. “Jika memang begitu, kita harus tahu lebih banyak tentang dirinya. Tapi, saat ini, kita tidak punya banyak waktu untuk bertanya. Kita akan bawa dia ke tempat yang lebih aman, Thalysa. Mungkin setelah dia pulih, kita bisa mendapat jawaban lebih banyak.”

Thalysa tidak menjawab langsung, namun matanya beralih ke Fabio sekali lagi, menilai lebih dalam. "Baizhu benar, kita memang tidak bisa menunda lebih lama. Namun, aku tetap ingin memastikan apa yang ada di balik semua ini."

Thalysa memberi isyarat agar Baizhu mempersiapkan perjalanan mereka, sementara dia tetap berdiri di samping Fabio, menatapnya dengan mata yang tampaknya bisa menembus masa lalu Fabio.

"Jangan khawatir," kata Thalysa akhirnya, “Perjalanan ini hanya akan mengungkap lebih banyak. Semua akan terungkap pada waktunya."

Namun, meskipun dia tidak berkata sepatah kata pun, Fabio merasa ada sesuatu yang aneh—sebuah ketegangan yang menggantung di udara. Seperti sebuah kebenaran besar yang menunggu untuk ditemukan, dan yang hanya Thalysa yang tahu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 1: Kerajaan Thalos

    Hari itu cerah meski suhu udara masih terasa dingin, menandakan musim dingin yang belum sepenuhnya berakhir di Kerajaan Thalos. Fabio, yang masih lemah dan hampir tidak ingat apa-apa, berjalan dengan hati-hati di jalanan kerajaan yang luas. Thalysa berjalan di sampingnya, diikuti oleh Baizhu yang tetap menjaga jarak namun jelas mengamati setiap langkah mereka. Udara yang tajam mengingatkan Fabio pada perasaan aneh yang menguasainya—kehilangan sesuatu yang penting, namun tidak tahu apa.Kerajaan Thalos, benteng terakhir peradaban manusia setelah Cataclysmic Catastrophe, tampak sebagai dunia yang bertahan hidup di tengah kehancuran. Terletak di dataran tinggi yang aman dari bencana besar, kerajaan ini memiliki ciri khas arsitektur megah yang sudah sedikit usang, meski masih memancarkan aura kekuatan yang tak tergoyahkan.Saat mereka melangkah melalui jalan utama ibu kota, Fabio tak bisa menahan kekagumannya. Di sepanjang sisi jalan, tembok-tembok besar yang dibangun dari batu hitam dan

    Last Updated : 2024-12-16
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 2: Konflik Kakak Adik

    Saat mereka berjalan lebih dalam ke ibu kota, suasana yang tenang dan penuh harmoni tiba-tiba terpecah oleh suara langkah cepat yang menghampiri. Seorang prajurit kerajaan, mengenakan pelindung tubuh dan membawa senjata, datang dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak tegang, matanya tidak bisa menutupi kecemasan yang mendalam."Komandan Baizhu!" prajurit itu berkata dengan nada terburu-buru, berhenti di depan Baizhu. "Ada masalah di hutan, tempat kita menemukan pria itu. Kami menemukan jejak-jejak aneh dan beberapa makhluk tak dikenal. Kami membutuhkan bantuan segera."Baizhu segera mengerutkan alis, ekspresinya langsung berubah serius. "Apa maksudmu dengan 'makhluk tak dikenal'? Kami baru saja meninggalkan tempat itu, tidak ada yang bisa melacak ke sana dalam waktu singkat."Namun, prajurit itu menggelengkan kepala. "Kami menemukannya hanya beberapa jam setelah pertemuan itu, dan jejaknya sangat aneh. Tidak seperti makhluk biasa. Kami khawatir jika ada bahaya lebih besar yang mendekat."

    Last Updated : 2024-12-16
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 3: Nyxaroth Primus

    Saat Thalysa dan Fabio berjalan lebih dalam melalui ibu kota, menikmati keindahan dan kehidupan sehari-hari yang penuh harapan, udara yang seharusnya tenang mendadak berubah. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, menggoyahkan bangunan-bangunan di sekitar mereka, dan membuat jalanan yang semula damai menjadi hening sesaat. Tanah bergetar dengan kekuatan yang tak terbayangkan, dan suara dentuman itu menggema melalui udara, merobek keheningan kota. Orang-orang di sekitar mereka langsung panik, berlarian mencari perlindungan. Fabio berhenti sejenak, tubuhnya tegang. Mata Thalysa terfokus ke arah utara, ke arah hutan yang terletak di luar benteng—tempat mereka sebelumnya menemukan sisa-sisa pertempuran melawan Nyxaroth. Sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan merayap di dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan aneh yang selalu menyelimuti tubuhnya sejak pertama kali ia terbangun di dunia ini. "Thalysa, apa itu?" tanya Fabio, suara penuh kecemasan. "Aku rasa itu dari hutan," jawab Thalysa

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 1 Chapter 4: Kebenaran

    Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat. Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah

    Last Updated : 2024-12-17
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 0: Zero

    Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 1: Kerajaan Valtor

    Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan

    Last Updated : 2024-12-18
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 2: Misi dan Ramalan

    Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter

    Last Updated : 2024-12-21
  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 2 Chapter 3: Konflik di Ashenfield

    Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.

    Last Updated : 2024-12-23

Latest chapter

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 1: Kondisi Benua Iblis (Codex Benua Iblis)

    Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 4 Chapter 0: Benua Iblis

    Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Asa itu Masih Ada!

    Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Surat yang tidak Tersampaikan

    Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Datang Lagi, Sampai Kapanpun

    Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Chapter Interlude: Anak yang Tumbuh Membenci Manusia

    Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 13: Destinasi Berikutnya

    Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 12: Istirahat

    Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa

  • Zero: Forgotten Lost (INDONESIA)   Volume 3 Chapter 11: Pertemuan Kedua

    Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status