Saat Thalysa dan Fabio berjalan lebih dalam melalui ibu kota, menikmati keindahan dan kehidupan sehari-hari yang penuh harapan, udara yang seharusnya tenang mendadak berubah. Sebuah ledakan besar mengguncang tanah, menggoyahkan bangunan-bangunan di sekitar mereka, dan membuat jalanan yang semula damai menjadi hening sesaat. Tanah bergetar dengan kekuatan yang tak terbayangkan, dan suara dentuman itu menggema melalui udara, merobek keheningan kota. Orang-orang di sekitar mereka langsung panik, berlarian mencari perlindungan.
Fabio berhenti sejenak, tubuhnya tegang. Mata Thalysa terfokus ke arah utara, ke arah hutan yang terletak di luar benteng—tempat mereka sebelumnya menemukan sisa-sisa pertempuran melawan Nyxaroth. Sebuah rasa yang tak bisa dijelaskan merayap di dalam dirinya, mengingatkan pada perasaan aneh yang selalu menyelimuti tubuhnya sejak pertama kali ia terbangun di dunia ini. "Thalysa, apa itu?" tanya Fabio, suara penuh kecemasan. "Aku rasa itu dari hutan," jawab Thalysa, ekspresinya serius, matanya menyipit, memperkirakan ancaman yang bisa datang. "Kita harus menuju ke sana, cepat." Mereka bergegas menuju pintu benteng yang mengarah ke hutan, tubuh mereka bergerak cepat, menembus kerumunan yang panik. Fabio merasakan jantungnya berdegup lebih cepat, setiap langkah terasa lebih berat, seolah ketegangan itu meresap ke dalam tulang-tulangnya. Kejadian tadi—pertarungan dengan Nyxaroth—terasa masih begitu segar dalam ingatannya. Apa yang telah terjadi di sana? Mengapa tiba-tiba ledakan itu terdengar begitu dekat? Saat mereka tiba di pintu utama benteng, suara dentuman yang lebih keras terdengar lagi, kali ini lebih dekat dan lebih mengguncang. Di depan mereka, di tengah kerumunan prajurit yang telah bersiap, Baizhu muncul. Wajahnya yang biasanya tenang dan terkendali kini tampak penuh kegelisahan, dan tubuhnya yang tegap seolah tidak bisa menahan ketegangan yang muncul. Pandangannya langsung tertuju pada Fabio. "Fabio!" seru Baizhu dengan nada yang penuh peringatan, "Bergerak mundur!" Namun, sebelum Fabio bisa merespons, sebuah perintah keras datang dari Baizhu yang tampak sangat tegang. "Tahan dia! Kelilingi dia!" Sekelompok prajurit segera mengelilingi Fabio, menodongkan senjata mereka ke arahnya. Fabio yang terkejut dan bingung mencoba bergerak mundur, namun sekelilingnya dipenuhi oleh prajurit yang memegang tombak dan pedang dengan keteguhan. Thalysa yang ada di samping Fabio langsung bergerak cepat, mencoba menghalangi pasukan itu. "Baizhu, apa yang terjadi?" tanya Thalysa dengan suara tegas namun penuh keheranan. "Mengapa kau melakukannya?" Baizhu menatap Thalysa dengan pandangan tajam, seolah tidak melihatnya. Wajahnya berkerut, dan tangannya terkepal erat. "Dia—dia tidak bisa begitu saja pergi setelah apa yang telah terjadi. Tidak mungkin dia tidak tahu apa-apa! Tidak mungkin!" Fabio yang masih bingung, merasakan tangan prajurit yang menahannya semakin kuat, berusaha mempertahankan dirinya. "Apa yang sedang terjadi? Kenapa kalian menahanku?" suaranya penuh kebingungan. "Aku tidak tahu apa-apa!" Baizhu mendekat dengan langkah cepat, matanya penuh kemarahan yang tak terbendung. "Tidak mungkin kau tidak tahu apa-apa!" teriaknya, suaranya penuh amarah. "Kau terbangun di tengah kehancuran yang begitu besar, dan kau mengatakan tidak tahu apa-apa? Apa yang kau sembunyikan, Fabio?" Thalysa menatap Baizhu dengan tajam, matanya tidak menunjukkan sedikit pun kelemahan. "Baizhu, cukup!" katanya dengan tegas, suaranya melunak, namun ada tekanan yang mengintimidasi. "Kau tahu dia tidak tahu apa-apa. Jangan biarkan kebingunganmu mengaburkan penilaianmu." Fabio melihat Baizhu, yang tampaknya berjuang keras untuk mempertahankan sikapnya, namun ia tahu ada sesuatu yang sangat mengganggu pria itu. "Aku tidak tahu apa-apa, Baizhu. Aku tidak ingat apapun selain namaku dan pertempuran itu—aku hanya ingat bertarung melawan makhluk itu. Aku tidak tahu tentang apa yang terjadi sekarang." Baizhu menatap Fabio, matanya berapi-api, namun akhirnya dia mengalihkan pandangannya, seolah tidak bisa lagi menahan kemarahan yang meluap. "Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," katanya dengan nada yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Aku harus melindungi kerajaan ini. Tidak ada ruang untuk kebingunganku." Namun, saat Baizhu hampir memerintahkan prajurit untuk memperketat pengepungan terhadap Fabio, tiba-tiba seseorang muncul dari tengah pasukan. Seorang wanita dengan rambut putih panjang yang mengalir indah hingga punggungnya, mengenakan gaun yang elegan namun praktis, berjalan dengan anggun menuju mereka. Gerakannya lembut namun penuh kewibawaan, dan setiap langkahnya terasa seperti dia membawa kedamaian dalam ketegangan yang sedang terjadi. "Putri Jinshi-sama?" Baizhu dan Thalysa berseru serentak, terkejut melihat wanita itu muncul di tengah ketegangan ini. Wanita itu, yang ternyata adalah Putri Jinshi-sama, menatap Baizhu dengan mata yang tajam dan penuh kepercayaan diri. "Baizhu," ujarnya dengan suara lembut namun penuh wibawa, "apa yang terjadi di sini? Mengapa kamu menahan Pria ini?" Baizhu terdiam, matanya terbuka lebar melihat kedatangan Putri Jinshi, yang jelas sangat dihormati di kerajaan ini. Meskipun ragu, ia tetap berdiri tegak, berusaha menjaga sikapnya. "Putri Jinshi, ini masalah serius. Ada sesuatu yang tidak beres, dan aku harus memastikan keamanannya. Pria ini, Fabio, orang yang baru saja kami temukan di hutan, mengatakan tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi di sana. Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja." Jinshi menatap Fabio dengan pandangan yang berbeda. Mata putihnya yang lembut namun tajam itu penuh rasa percaya, dan dia mengalihkan perhatian dari Baizhu kepada Fabio. "Aku percaya padanya," kata Jinshi dengan keyakinan yang luar biasa. "Aku percaya pada intuisiku—dia sama sepertiku dN Thalysa, dia adalah seorang saint, dan aku percaya pada kemampuannya. Lepaskan dia." Baizhu terlihat sangat terkejut. "Tapi Putri, kami tidak bisa begitu saja membebaskannya tanpa mengetahui lebih lanjut—ada begitu banyak yang tidak kami pahami!" Putri Jinshi mengangkat tangan dengan anggun, matanya berkilau dengan kecerdasan yang dalam. "Apakah kamu tidak percaya padaku, Baizhu? Apakah kamu meragukan penilaianku?" Baizhu terdiam, kata-kata Putri Jinshi seperti sebuah serangan yang sulit untuk ditanggapi. Ia tahu bahwa Putri Jinshi bukan hanya seorang wanita dengan kedudukan tinggi, tetapi juga seseorang dengan insting yang sangat tajam. Ketegangan di antara mereka terasa begitu kuat, seolah-olah Baizhu berada di ambang keputusan besar yang akan mengubah arah peristiwa ini. Dengan suara yang hampir tak terdengar, Baizhu akhirnya menghela napas panjang, merasa seolah-olah dia telah kalah dalam perdebatan ini. "Baiklah," katanya dengan nada berat, "Lepaskan dia. Tapi aku akan terus mengawasi semuanya." Fabio yang semula terperangkap di tengah ketegangan itu, akhirnya merasa sedikit lega ketika prajurit yang menahannya mundur, membebaskannya. Thalysa yang sejak tadi diam, menatap Baizhu dengan pandangan penuh rasa hormat terhadap keputusan yang akhirnya dibuat. Dengan Putri Jinshi di samping mereka, Baizhu, Thalysa, Fabio, dan Jinshi segera berangkat menuju hutan. Ledakan yang terdengar tadi berasal dari Nyxaroth Primus, dan mereka semua tahu bahwa ancaman yang sangat besar menanti di luar benteng. Keempatnya berjalan menuju kegelapan yang mencekam, siap untuk menghadapi apa pun yang menunggu mereka di dalam hutan yang penuh bahaya itu. Di bawah langit yang kelabu, keempat mereka menaiki kuda masing-masing, berlari menuju hutan yang telah menggema dengan ledakan tadi. Udara terasa semakin dingin, dan pohon-pohon besar yang menjulang tinggi seakan semakin gelap, seolah-olah hutan itu sendiri menyembunyikan rahasia yang lebih besar. Kecepatan perjalanan mereka terasa terburu-buru, dan meskipun Fabio tidak mengenal banyak tentang dunia ini, perasaan aneh yang menggelayuti dadanya semakin kuat. Ada sesuatu yang buruk sedang terjadi di luar tembok benteng—sesuatu yang berhubungan dengan makhluk yang telah ia hadapi, Nyxaroth. Saat kuda mereka melaju di jalan setapak yang gelap, Fabio tidak bisa menahan rasa penasaran yang menguasainya. Dia memandang ke arah Thalysa dan Jinshi yang mengendarai kuda di sampingnya, dan akhirnya memutuskan untuk bertanya, suara sedikit serak karena ketegangan yang masih menggantung di udara. "Apa itu Nyxaroth Primus? Kenapa dia begitu penting?" Jinshi, yang telah memperhatikan setiap gerakan Fabio dengan perhatian yang penuh, menyentuh pelan tali kekang kudanya, lalu menjawab dengan suara tenang namun dalam. "Nyxaroth Primus adalah makhluk yang sangat kuat, Fabio. Dia bukan makhluk biasa. Dia adalah pemimpin dari ras Nyxaroth, yang muncul setelah Cataclysmic Catastrophe. Ras ini berasal dari dimensi yang lebih gelap, dari dunia yang hancur dan penuh kehancuran. Sumber dari kekuatan mereka berasal dari entitas yang lebih tua dan lebih gelap daripada apa yang bisa dipahami oleh kebanyakan orang." Fabio memperhatikan dengan seksama, merasa bahwa ada lebih banyak yang tersembunyi dalam penjelasan ini, namun ia memilih untuk mendengarkan lebih lanjut. Di sebelahnya, Thalysa, yang sejak tadi diam, akhirnya membuka mulut dengan suara lembut namun penuh kekuatan. "Nyxaroth Primus adalah manifestasi dari kehancuran itu sendiri," kata Thalysa, suaranya mengalir dengan mudah, namun terdapat kedalaman yang menyiratkan banyak pengetahuan. "Dia adalah wujud dari kekuatan yang melanggar batas antara dimensi kita dan dunia lain yang penuh kegelapan. Para penyihir kuno yang mencoba membuka portal ke dunia itu tidak tahu bahwa mereka akan membebaskan ras yang sangat kuat—Nyxaroth dan semua makhluk yang ada dalam dimensi itu. Sejak Cataclysmic Catastrophe, mereka telah berusaha untuk menaklukkan dunia kita, dan Nyxaroth Primus adalah pemimpin mereka yang paling berbahaya." Fabio menatap kedua wanita itu dengan rasa kagum, namun juga kebingungan. Mereka berbicara dengan keyakinan yang tak terbantahkan, seolah-olah mereka tahu segalanya tentang makhluk ini, dan tentang dunia yang Fabio sendiri baru mulai pahami. "Ras Nyxaroth berasal dari Benua Iblis," Thalysa melanjutkan, suaranya tenang namun penuh makna. "Benua itu terletak jauh dari sini, di ujung dunia yang terlupakan. Sebelumnya, Benua Iblis adalah tempat yang terisolasi, jauh dari peradaban manusia, tetapi Cataclysmic Catastrophe merobek batas-batas antara dimensi kita dan dunia mereka. Sekarang, ras Nyxaroth tidak hanya menguasai Benua Iblis, tapi juga mengincar seluruh dunia—termasuk Thalos." Fabio memperhatikan perubahan di wajah Thalysa saat dia menyebutkan Benua Iblis. Ada ketegangan di sana, sesuatu yang lebih pribadi dan dalam daripada sekadar pengetahuan tentang makhluk itu. Thalysa menatap Fabio untuk beberapa saat, lalu melanjutkan, "Benua Iblis bukanlah tempat yang bisa kita jelajahi dengan mudah. Tanahnya keras, dipenuhi dengan makhluk-makhluk mengerikan, dan iklimnya sangat brutal. Sebagian besar makhluk di sana tidak mengenal belas kasihan. Tetapi Nyxaroth Primus, sebagai pemimpin mereka, memiliki kekuatan yang jauh melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh manusia. Jika dia mengamuk, kita semua akan dalam bahaya besar." Jinshi yang mendengar penjelasan Thalysa menambahkan, "Namun, Benua Iblis juga memiliki sejarahnya sendiri, yang sangat berbeda dari dunia manusia. Dunia mereka penuh dengan sihir gelap yang tak terkendali, dan banyak dari makhluk yang ada di sana diciptakan oleh energi yang terlahir dari Cataclysmic Catastrophe. Sihir itu mengalir dalam darah mereka, dan semakin mereka menguasainya, semakin besar ancaman yang mereka timbulkan." Fabio merasa hatinya berdegup lebih cepat, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti. Kata-kata ini, tentang sihir gelap dan makhluk yang tak terkendali, menggambarkan dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Tapi ada sesuatu tentang penjelasan Jinshi dan Thalysa yang menarik perhatian Fabio lebih dari sekadar fakta itu—kedua wanita ini sepertinya memiliki ketertarikan yang lebih besar pada dirinya. Thalysa, yang biasanya tidak mengungkapkan banyak perasaan, kali ini menatap Fabio dengan tatapan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, seperti dia sedang mencoba memahami bukan hanya Fabio yang terbaring di depan mereka, tetapi juga potensi yang tersembunyi dalam dirinya. Di sisi lain, Jinshi yang cantik dengan rambut putih panjang dan sikap anggun, memberikan pandangan penuh perhatian dan minat, seolah-olah setiap kata Fabio membawa sebuah teka-teki yang menarik bagi dirinya. Jinshi melanjutkan, "Aku percaya pada intuisimu, Fabio. Sebagai seorang saint, kau memiliki potensi yang belum kita pahami sepenuhnya. Itu sebabnya aku mempercayai perasaanmu, bahkan jika dunia ini penuh dengan misteri. Aku rasa ada lebih banyak dari dirimu yang belum kau ketahui." Fabio sedikit terkejut dengan kata-kata Jinshi. Selama ini, dia hanya tahu sedikit tentang kekuatannya—dan bahkan itu pun masih terasa asing dan membingungkan. "Saint?" ulangnya, merasa aneh mendengar kata itu keluar dari mulut seseorang yang begitu dihormati seperti Jinshi. Thalysa, yang sepertinya memahami kebingungannya, mengangguk pelan. "Saint adalah seseorang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Kemampuan itu bukan hanya tentang kekuatan fisik atau sihir, tapi lebih pada kekuatan batin dan potensi untuk membawa perubahan besar. Kau mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi ada sesuatu dalam dirimu yang lebih besar dari apa yang kau rasakan." Fabio merasa gelisah, tidak tahu apakah dia harus merasa terhormat atau malah takut. Apakah dia benar-benar memiliki potensi yang begitu besar, atau hanya bagian dari sesuatu yang lebih besar dari yang bisa dia pahami? Baizhu, yang selama ini hanya diam mendengarkan percakapan mereka, tetap menatap ke depan dengan wajah tertutup. Raut wajahnya tidak berubah, dan meskipun dia mendengar setiap kata yang diucapkan, dia tetap terfokus pada perjalanan mereka, seolah-olah ada sesuatu yang lebih mendalam yang dipikirkannya. Keheningan di antara mereka semakin terasa, dan Fabio merasa, seolah-olah Baizhu, dengan segala sikapnya yang dingin, berjuang dengan pikirannya sendiri. Ketika mereka semakin dekat dengan hutan yang terdengar semakin ramai, suara pertempuran semakin jelas. Teriakan dan dentuman yang menggema dari dalam hutan seakan mengundang mereka menuju kegelapan yang menunggu di depan. Fabio menatap hutan yang dipenuhi dengan pohon-pohon tinggi dan gelap. Ia tahu, di balik kabut itu, ada sesuatu yang lebih besar yang akan mereka hadapi. "Jadi, ini Benua Iblis?" Fabio bertanya pelan, berharap mendapatkan jawaban yang bisa membantunya mengerti lebih banyak tentang dunia yang baru dia masuki. "Apa yang sebenarnya ada di sana?" Thalysa yang mendengar pertanyaan itu menatapnya sejenak. "Benua Iblis adalah tempat yang berbahaya," jawabnya dengan suara serius. "Namun, itu juga tempat yang penuh dengan pengetahuan yang hilang—pengetahuan yang mungkin bisa memberi kita petunjuk tentang bagaimana menghentikan ancaman dari Nyxaroth." Jinshi menambahkan, "Meskipun Benua Iblis dipenuhi dengan kegelapan, itu juga tempat di mana rahasia-rahasia besar tersembunyi. Aku rasa, jika kita bisa mengungkapnya, kita bisa menemukan cara untuk mengalahkan mereka." Perjalanan mereka semakin cepat, kuda-kuda mereka berlari lebih kencang, mendekati hutan yang semakin gelap. Namun, di dalam hati Fabio, rasa penasaran dan kecemasan bercampur aduk. Apa yang akan mereka temui di dalam kegelapan ini? Apa yang benar-benar tersembunyi di balik Nyxaroth Primus dan Benua Iblis yang penuh rahasia?Malam yang mencekam menyelimuti hutan, dan udara terasa lebih berat dengan setiap langkah mereka. Keempatnya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, berusaha mengidentifikasi sumber ledakan yang telah mengguncang benteng beberapa waktu lalu. Namun, meskipun mereka semakin dekat, ada ketegangan yang mengalir di antara mereka—sebuah perasaan bahwa bahaya sudah terlalu dekat. Di kejauhan, sesuatu bergerak dengan cepat, melintasi kabut yang mulai turun di antara pohon-pohon tinggi. Tiba-tiba, sebuah teriakan keras, disusul oleh dentuman keras, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sebelum mereka bisa bereaksi, makhluk itu muncul. Nyxaroth Primus, sosok raksasa yang mengerikan, muncul dari balik bayang-bayang, wajahnya penuh dengan amarah dan kebencian yang terakumulasi selama berabad-abad. Tubuhnya besar, berkilau dengan cahaya merah yang memancar dari dalam tubuhnya, seolah menyatu dengan kegelapan yang menyelimuti hutan. Dengan gerakan yang tidak bisa dihindari, ia melompat ke arah
Rasa dingin menyelimuti tubuh Fabio, membangunkannya dari kegelapan yang tampak abadi. Namun, ini bukan kebangkitan seperti biasa. Tidak ada tanah di bawah kakinya, tidak ada langit di atasnya—hanya kehampaan yang tak terhingga, sebuah dunia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau imajinasi. Segalanya terasa tidak nyata, namun begitu jelas di depan matanya.Di tengah kehampaan itu, berdiri sosok yang pernah dilihatnya sebelumnya, namun kali ini dengan penampilan yang berbeda. Tubuh sosok itu hitam pekat seperti malam tanpa bintang, tetapi dihiasi pola galaksi yang berpendar lembut, menciptakan kontras antara kegelapan dan keindahan yang tidak bisa dijelaskan. Pola itu bergerak perlahan, seperti nebula yang melayang di angkasa, memberi kesan kehidupan yang tak terbatas sekaligus kesunyian yang mendalam.Matanya bersinar seperti supernova—cahaya putih yang menusuk, seolah menembus segala hal. Rambut panjangnya melayang perlahan, seperti berada dalam gravitasi nol, berganti warna d
Satu minggu setelah Fabio dinyatakan pulih sepenuhnya, dia akhirnya bisa bergerak dengan normal. Luka-luka yang sebelumnya membuat tubuhnya tampak mustahil untuk pulih kini telah sembuh tanpa jejak, meninggalkan Fabio dengan pertanyaan yang belum terjawab tentang kekuatan misterius dalam dirinya. Namun, tidak ada waktu untuk merenung terlalu lama—pagi itu, seorang utusan kerajaan datang ke rumah sakit, menyampaikan pesan dari Putri Jinshi. Fabio dipanggil ke istana untuk sebuah audiensi penting.Thalysa, yang sedang menemani Fabio saat itu, memutuskan untuk ikut bersamanya. Tidak lama setelahnya, Baizhu juga bergabung, tampak lebih serius dari biasanya, meskipun ekspresinya tetap sulit ditebak.-Istana Thalos: Ruang Singgasana-Istana kerajaan Thalos berdiri megah di tengah ibu kota, sebuah bangunan yang memancarkan wibawa sekaligus keindahan. Pilar-pilar besar dari batu granit hitam menopang atap berlapis emas, sementara dindingnya dihiasi ukiran kuno yang menceritakan sejarah panjan
Ruang singgasana istana Thalos dipenuhi keheningan yang tegang. Jinshi, yang memimpin rapat kecil itu, berdiri di dekat singgasana dengan tangan terkepal di belakang punggungnya. Di depannya, Fabio, Thalysa, dan Baizhu berdiri dalam jarak yang tidak terlalu dekat. Wajah mereka menunjukkan emosi yang berbeda—Fabio dengan ekspresi serius namun tenang, Thalysa yang penuh tekad, dan Baizhu dengan kerutan tajam di dahinya."Fabio," Jinshi memulai, suaranya lembut namun tegas, "Aku ingin kau pergi ke Valtor dan menyusul ayahku, Kaito Akio V."Mata Fabio sedikit membesar mendengar perintah itu. "Menyusul ke Valtor?" tanyanya, nada suaranya penuh keheranan.Jinshi mengangguk. "Ayahku sedang dalam perjalanan diplomatik untuk memperbaiki hubungan dengan kerajaan itu. Tetapi situasi ini sangat sensitif, dan aku khawatir dia mungkin membutuhkan bantuan. Kau telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam pertempuran melawan Nyxaroth Primus. Aku percaya kau bisa melindungi ayahku jika sesuatu ter
Perjalanan Fabio dan Thalysa menuju Kerajaan Valtor baru memasuki hari kelima ketika mereka mencapai dataran terbuka yang dikenal sebagai Ashenfield. Matahari senja menyinari lanskap yang suram, menciptakan bayangan panjang di atas tanah abu-abu yang penuh dengan bekas luka bencana. Ashenfield adalah sisa-sisa kehancuran besar selama Cataclysmic Catastrophe, di mana api besar telah melalap kehidupan dan meninggalkan tanah yang penuh energi magis tak stabil. Namun, penduduk setempat yang tangguh berusaha keras menghidupkan kembali daerah ini dengan bercocok tanam, meskipun tanah masih menyimpan jejak kutukan.Fabio memperhatikan sekeliling dengan ekspresi netral, pandangannya menyapu reruntuhan dan ladang yang tak subur. Di sebelahnya, Thalysa menatap dengan penuh perhatian, memperhatikan penduduk yang tampak lelah namun tetap berusaha bekerja di bawah bayang-bayang kehancuran. Mereka memasuki desa kecil di tengah dataran itu, tempat asap tipis dari dapur-dapur kayu mengepul ke udara.
Penginapan kecil tempat Fabio dan Thalysa tinggal selama di Ashenfield tidak terlalu ramai pagi itu. Udara dingin dari luar terasa menusuk, tetapi kehangatan dari api di perapian ruangan utama penginapan membuat suasana sedikit lebih nyaman. Fabio duduk di salah satu kursi dekat jendela, pandangannya terpaku pada jalanan yang mulai sibuk dengan penduduk setempat. Di sampingnya, Thalysa berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas setelah mendengar rencana yang diusulkan Fabio."Kita tidak membutuhkan bantuan," ujar Thalysa dengan nada tegas. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Lagipula, Ashenfield hanyalah sebuah daerah kecil. Aku yakin ini bukan prioritas tinggi bagi kerajaan."Fabio menghela napas, menoleh ke arahnya. "Thalysa, aku tahu kau percaya pada kemampuan kita, tapi ini bukan tentang seberapa kuat atau cerdas kita. Ini tentang skala masalahnya. Jika kita gagal di sini, dampaknya bisa lebih besar dari yang kau bayangkan."Thalysa mengerut
Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja
Malam masih pekat saat Fabio melompat keluar dari jendela mansion, meninggalkan suara teriakan prajurit dan dentingan logam di belakangnya. Udara dingin menghantam wajahnya, tetapi itu lebih baik daripada bilah tombak yang hampir menyentuh punggungnya. Dia mendarat di tanah dengan ringan, tubuhnya bergerak tanpa ragu ke arah hutan yang gelap, tempat bayangan sang assassin telah menghilang."Aku harus menangkapnya," pikir Fabio, langkah kakinya semakin cepat di atas dedaunan basah. Dia tahu, jika gagal menangkap pembunuh itu, dia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membersihkan namanya.Hutan di malam hari adalah labirin tanpa ujung. Pohon-pohon besar menjulang seperti dinding gelap, dan hanya sinar rembulan yang menembus sela-sela dedaunan memberikan sedikit penerangan. Fabio menghentikan langkahnya sejenak, telinganya tajam menangkap setiap suara.“Kau tidak bisa jauh,” gumam Fabio pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam Khopesh erat, senjata itu memanca
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zama
Kapal udara melayang rendah, melintasi langit kelam yang mendominasi Benua Iblis. Angin dingin menerpa lambung kapal, membawa serta aroma besi dan tanah basah yang menguap dari permukaan di bawah. Dari kejauhan, Fabio dan Thalysa dapat melihat daratan hitam yang membentang luas, sebuah dunia yang seolah telah mati sejak lama. Tak ada kehijauan, hanya hamparan reruntuhan yang terbengkalai, seakan-akan sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada namun kini hanya menjadi kenangan samar yang terkubur di bawah abu dan debu.Di tengah pemandangan yang begitu suram, ada satu titik cahaya yang menarik perhatian mereka—sebuah kota yang dikelilingi dinding tinggi, berdiri kokoh di antara kehancuran yang meliputi tanah ini. Lentera sihir berpendar redup di sepanjang jalan utama, memberikan sedikit penerangan di kegelapan yang abadi. Fabio mempersempit pandangannya. Kota ini terlihat seperti tempat perlindungan, tetapi tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar aman."Ebonhold," gumam Tha
Di bawah langit yang kelam dan tanah yang masih berbau abu, seorang pemuda berdiri di tengah reruntuhan yang dulunya adalah desanya. Bangunan-bangunan yang dulu penuh kehidupan kini hanyalah puing-puing yang berserakan. Udara masih menyisakan jejak kehancuran, dan setiap langkah yang ia ambil membawa suara kayu rapuh yang patah di bawah kakinya. Namun, meskipun dunia di sekitarnya hancur, matanya tidak memancarkan keputusasaan. Tangan pemuda itu menggenggam erat sekop tua yang ia temukan di antara reruntuhan. Ia menarik napas dalam, menatap tanah yang porak-poranda di hadapannya. "Aku akan membangun kembali desa ini," gumamnya, suaranya hampir seperti janji yang diucapkan kepada dirinya sendiri. Hari pertama adalah yang paling sulit. Ia mulai membersihkan puing-puing, satu demi satu, meskipun tubuhnya masih penuh luka akibat perang yang baru saja berlalu. Setiap kali ia mencoba mengangkat kayu besar atau memindahkan batu bata yang hancur, tubuhnya berteriak kesakitan. Tapi ia ti
Di sebuah kamar penginapan kecil, di bawah cahaya redup lilin yang hampir habis, seorang pria duduk di depan meja kayu tua. Tangannya bergerak perlahan, pena yang dipegangnya menari di atas selembar kertas kosong. Udara malam menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma laut yang asin dan suara langkah kaki samar dari jalanan di luar.Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ia menulis surat. "Aku tiba di kota ini menjelang senja. Jalanan sempitnya dipenuhi cahaya lentera yang menggantung di depan rumah-rumah kayu, menari pelan dihembus angin. Ada sesuatu tentang kota ini yang mengingatkanku padamu—mungkin caranya menyimpan kehangatan di tengah udara yang dingin, atau mungkin karena suara riuh pasar malamnya mengingatkanku pada tawamu yang pernah memenuhi hariku."Ia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Di sebelahnya, bertumpuk lembaran-lembaran kertas lain—surat-surat yang tak pernah dikirimkan. Setiap kota yang ia singgahi, setiap
Langit senja menggantung rendah di ufuk barat, menyelimuti desa kecil ini dengan semburat jingga yang hangat. Udara sore terasa lembut, membawa serta aroma tanah yang masih lembap setelah hujan siang tadi. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan berbatu yang kulewati. Aku berhenti sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam warung kecil di sudut desa. Tempat ini tidak banyak berubah—meja-meja kayu sederhana, aroma masakan yang menggugah selera, dan suara orang-orang yang bercakap santai.Dan di sana, berdiri seorang gadis yang kukenal. Senyumnya masih sama. Hangat, menenangkan, dan… selalu berhasil membangkitkan sesuatu di dalam diriku yang sudah lama hilang."Wah, masakanmu enak dek," ucapku dengan nada ceria, berusaha menahan sesuatu yang perlahan mulai menggenang di dalam dadaku. Aku melahap cemilan yang ia buat dengan lahap, seolah rasa itu adalah sesuatu yang sudah lama kurindukan."Duh, makasih loh mas," jawabnya dengan se
Seorang anak manusia lahir di dunia yang penuh kebohongan. Ia tumbuh tanpa mengetahui apa itu kasih sayang, tanpa memahami makna kelembutan. Setiap hari yang ia jalani bukanlah lembaran baru yang penuh harapan, melainkan kelanjutan dari penderitaan yang tak kunjung usai. Sejak kecil, ia melihat bagaimana manusia saling menghancurkan, bagaimana mereka tersenyum di depan tetapi menusuk dari belakang, bagaimana kebaikan hanyalah topeng untuk menutupi niat busuk yang mengendap dalam jiwa mereka. Anak itu tidak pernah tahu seperti apa rasanya dipeluk dengan tulus. Tidak pernah ada tangan yang menepuk kepalanya dengan lembut, tidak pernah ada suara yang mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang ia tahu hanyalah kelaparan, dingin, dan suara-suara kasar yang terus membentaknya, memberitahunya bahwa ia tidak diinginkan, bahwa ia tidak pernah seharusnya ada. Setiap malam, ia tidur dalam gelap, bukan karena lampu dipadamkan, tetapi karena kegelapan adalah satu-satunya teman yang tida
Malam terakhir di Valtor terasa lebih sunyi dari biasanya. Fabio dan Thalysa duduk di atas menara tertinggi di kota, menatap laut yang gelap dan tak berujung di kejauhan. Angin dingin membawa suara ombak yang menghantam tebing-tebing batu, menciptakan irama yang tak beraturan, seolah-olah lautan itu sendiri berbisik tentang sesuatu yang tidak bisa dipahami manusia. Lampu-lampu di kota perlahan mulai redup, meninggalkan hanya bintang-bintang yang terpantul samar di permukaan air yang hitam pekat.Thalysa menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, “Apa yang kita cari di sana, Fabio? Apakah hanya jawaban tentang Abyssal, atau lebih dari itu?” Suaranya lembut, tetapi ada kegelisahan yang jelas di dalamnya. Perjalanan mereka bukan sekadar ekspedisi biasa. Ini adalah langkah menuju sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami.Fabio tetap diam untuk waktu yang lama, hanya menatap cakrawala kosong tanpa ekspresi. Kemudian, akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, “Aku tidak
Setelah ritual berakhir, suasana dalam kuil masih terasa berat. Para Saint dan Septentrion menundukkan kepala saat Fabio, Thalysa, dan Kaito Akio V berjalan keluar dari Ruang Penghakiman. Hanya suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong batu, seolah udara di dalam kuil pun menahan napas. Fabio masih diam, tidak berbicara sepatah kata pun sejak jawaban dari Sang Penghakim menggantung di udara. Matanya kosong, tatapannya menembus lantai tanpa benar-benar melihatnya. Seolah pikirannya masih terperangkap di dalam lingkaran ritual yang kini sudah padam.Thalysa mencuri pandang ke arahnya beberapa kali, ingin bertanya sesuatu tetapi tidak yakin bagaimana cara memulainya. Ini bukan pertama kalinya Fabio tenggelam dalam pikirannya sendiri, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Biasanya, dia hanya bersikap acuh, tetapi sekarang... ada sesuatu yang lain. Seakan ia sedang berada di antara dua dunia, berdiri di perbatasan antara masa lalu dan masa depan, tetapi tidak bisa melangkah ke sa
Saat ritual berlangsung, semua orang melihat Fabio hanya berdiri diam di tengah lingkaran tanpa ekspresi. Tidak ada reaksi apa pun. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketegangan yang terlihat di wajahnya. Namun, di dalam kesadarannya, ia tidak berada di ruangan itu lagi.Dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi tempat yang tidak nyata—sebuah hamparan kosong yang dipenuhi cahaya pucat yang berkedip-kedip seperti lilin yang hampir padam. Udara di sekelilingnya terasa berat, seperti ribuan suara bisikan yang tak terdengar memenuhi ruang hampa ini. Fabio melangkah perlahan, tetapi tidak ada gema, tidak ada suara dari langkah kakinya. Seolah dunia ini sendiri menolak keberadaannya.Dari kegelapan yang tak berujung, seseorang muncul. Tidak seperti pertemuan pertamanya, sosok ini bukan lagi bayangan hitam tanpa bentuk. Kini, sosok itu memiliki wajah yang sama dengan Fabio, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya lebih dalam, lebih tua, seolah membawa beban yang tak terhitung. Pakaian yang i