Fabio memulai penyelidikannya dengan hati-hati. Sejak tiba di Ashenfield, ada sesuatu yang tidak beres—rakyat tampak murung, pembicaraan mereka berbisik, dan kehadiran para prajurit lokal terasa mengintimidasi. Setelah mendengar desas-desus di sekitar penginapan, Fabio berhasil mendapatkan informasi bahwa tiga bangsawan di wilayah ini memainkan peran penting dalam situasi buruk Ashenfield.Ketiganya memiliki reputasi yang berbeda di mata masyarakat, tetapi kesamaan mereka adalah kuasa mereka yang besar dan jejak kecurigaan yang membayangi. Nama-nama mereka: Lord Gregor Ashbourne, Baron Alaric Whitmore, dan Duke Cedric Ravenshade.Lord Gregor AshbournePeran: Sang manipulator, Gregor adalah dalang di balik upaya menyebarkan konspirasi antara masyarakat Ashenfield dan bangsawan lainnya. Dia menggunakan retorika dan propaganda untuk menciptakan ketidakpercayaan di antara mereka, memperburuk hubungan antar kelas sosial.Ciri Khas: Gregor adalah pria dengan wajah ramah, tetapi matanya taja
Malam masih pekat saat Fabio melompat keluar dari jendela mansion, meninggalkan suara teriakan prajurit dan dentingan logam di belakangnya. Udara dingin menghantam wajahnya, tetapi itu lebih baik daripada bilah tombak yang hampir menyentuh punggungnya. Dia mendarat di tanah dengan ringan, tubuhnya bergerak tanpa ragu ke arah hutan yang gelap, tempat bayangan sang assassin telah menghilang."Aku harus menangkapnya," pikir Fabio, langkah kakinya semakin cepat di atas dedaunan basah. Dia tahu, jika gagal menangkap pembunuh itu, dia akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membersihkan namanya.Hutan di malam hari adalah labirin tanpa ujung. Pohon-pohon besar menjulang seperti dinding gelap, dan hanya sinar rembulan yang menembus sela-sela dedaunan memberikan sedikit penerangan. Fabio menghentikan langkahnya sejenak, telinganya tajam menangkap setiap suara.“Kau tidak bisa jauh,” gumam Fabio pelan, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam Khopesh erat, senjata itu memanca
Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole
Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr
Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun dimana seorang anak manusia pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia tumbuh mendengar kisah-kisah tentang ksatria yang membela yang lemah, tentang raja-raja yang bijaksana, dan tentang keajaiban yang turun dari surga untuk menyelamatkan dunia. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, namanya akan tertulis di halaman sejarah, disebut dengan hormat oleh generasi mendatang. Ia percaya bahwa jika ia cukup kuat, cukup berani, cukup teguh, maka dunia akan mengenalnya sebagai pahlawan sejati. Tapi dunia tidak peduli pada mimpi anak-anak. Perjalanan itu dimulai dengan penuh harapan. Ia berlatih lebih keras dari siapa pun, bertarung melawan rintangan yang tak terhitung jumlahnya. Ia tidak punya darah bangsawan, tidak memiliki keberuntungan yang diberikan oleh keturunan suci, hanya tekad yang keras seperti baja dan hati yang menolak menyerah. Ketika akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya, pedang yang muncul dalam mimpinya menuntunnya
Dunia telah hancur oleh peperangan, oleh keserakahan, oleh dosa-dosa yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Kota-kota yang dulu megah kini hanya puing-puing yang tertimbun debu, peradaban yang dulu berkilauan kini menjadi kuburan tanpa nama, hanya diingat oleh mereka yang masih bertahan hidup di dunia yang telah kehilangan maknanya. Dalam kehancuran itu, seorang pria berjalan tanpa arah, pahlawan yang telah dicampakkan, terlupakan oleh mereka yang dulu bersorak memujanya. Ia tidak lagi mencari pengakuan, tidak lagi mencari tujuan, hanya berjalan, tanpa suara, tanpa harapan. Di suatu tempat dalam kehancuran ini, ia bertemu dengan seseorang yang tidak perlu diperkenalkan. Orang-orang menyebutnya "Penghakim." Mereka semua tahu kisahnya, bagaimana ia menyalakan api pemberontakan, bagaimana ia mengadili mereka yang berkuasa dengan cara yang paling brutal, bagaimana ia menghancurkan kerajaan yang ia anggap sebagai akar dari segala kebusukan dunia. Pahlawan tahu siapa dia. Tapi yang tid
Langit kelabu menggantung berat di atas kota yang dulunya megah, kini hanya menjadi sisa-sisa peradaban yang nyaris hancur. Jalanan dipenuhi lumpur, genangan air kotor bercampur darah yang telah mengering, aroma kemiskinan menyelimuti setiap sudut. Dunia ini bukan lagi tempat bagi mimpi-mimpi besar, hanya tempat bagi mereka yang cukup beruntung untuk bertahan hidup sehari lagi. Setelah perang panjang melawan Nyxaroth, umat manusia tidak menemukan kebebasan, melainkan ketakutan yang lebih pekat dari sebelumnya. Setelah kiamat, dunia tidak menemukan kedamaian—hanya peradaban yang mencoba bangkit di atas tulang-tulang mereka yang telah gugur. Namun, di masa transisi ini, kekuasaan lebih kejam dari sebelumnya. Para petinggi manusia tidak hanya sekadar memulihkan apa yang hilang, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang berkuasa tetap berkuasa. Relik-relik sihir yang ditemukan dari reruntuhan perang menjadi alat dominasi, bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menindas mereka. Se
Malam itu langit pekat tanpa bintang, gelapnya menelan sisa-sisa cahaya yang tersisa di dunia yang telah lama kehilangan harapan. Di dalam sebuah gubuk reyot yang hampir rubuh, seorang anak tidur dengan tubuh menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang merayapi kulitnya, tetapi juga karena kelelahan dari hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas. Tidur bukanlah tempat yang aman baginya, tetapi malam itu, ia bermimpi.Dalam mimpi itu, ia melihat ibunya—bukan sebagai mayat yang tergeletak tanpa kepala di tanah berlumpur, tetapi seperti dulu, sebelum dunia merenggutnya. Wajahnya lembut, matanya penuh kasih sayang, dan di tangannya ada sesuatu yang bersinar. Sebuah relik tua, berkilauan dengan cahaya redup, seperti api kecil yang bertahan di tengah badai. Ibunya tidak berbicara, hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir, anak itu mengambilnya.Ketika ia terbangun, dadanya naik turun dengan napas tersengal, tangannya masih terasa hangat dari sentuhan ibu
Langit malam masih diselimuti oleh keheningan yang dingin ketika Fabio dan Rava bergerak dalam bayangan, menyusuri gang-gang sempit menuju penginapan tempat Thalysa berada. Langkah mereka hampir tak bersuara, seperti dua siluet yang menyatu dengan gelapnya malam. Meskipun mereka sekarang telah sepakat untuk bekerja sama, Fabio tidak bisa mengabaikan kewaspadaannya terhadap Rava, dan hal yang sama jelas terpancar dari tatapan Rava yang selalu meneliti lingkungan sekitarnya.Setibanya di penginapan, Fabio memimpin jalan menuju kamar Thalysa tanpa banyak bicara. Rava tetap di belakangnya, sikapnya tenang, tetapi jelas tidak santai. Mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berjalan mulus, dan Fabio hanya bisa berharap bahwa Thalysa cukup rasional untuk mendengar penjelasannya sebelum bertindak gegabah.Begitu Fabio membuka pintu kamar dan melangkah masuk, segalanya terjadi begitu cepat. Dalam sekejap, bayangan melesat dari sudut ruangan, dan sebelum Rava sempat bereaksi, sebuah p
Cahaya api unggun berpendar samar di tengah kegelapan hutan, bayangannya menari-nari di permukaan tanah lembab. Angin malam berembus dingin, membawa suara dedaunan yang berbisik seolah menyaksikan pertarungan diam antara dua individu di sisi berlawanan. Fabio duduk bersila di seberang perapian, sorot matanya tajam, menembus sosok di depannya yang masih terkekang dalam rantai besi.Rava menatapnya dengan penuh kebencian, tetapi di balik sorot mata keemasan itu, Fabio bisa membaca kelelahan dan rasa sakit yang berusaha disembunyikan. Luka di perutnya masih basah, meskipun telah diperban dengan rapi. Namun, ketahanan Assassin itu patut dipuji. Bahkan dalam kondisi sekarat, ia masih berusaha menampilkan dirinya sebagai ancaman.Fabio mengulurkan tangan ke tanah, mengambil sebongkah kayu dan melemparkannya ke api unggun. Percikan api melesat sesaat sebelum padam. Ia tidak terburu-buru. Waktu ada di pihaknya."Aku tidak punya banyak kesabaran," ucapnya, suaranya datar dan tanpa emosi. "Siap
Hutan malam adalah penjara tanpa dinding, di mana kegelapan menggantung seperti tirai kematian. Fabio terus berlari, napasnya berat, tetapi langkahnya tetap mantap. Tentara yang mengejarnya kini hanya tinggal bayangan yang tertinggal jauh di belakang. Pepohonan tinggi dan semak belukar yang menutup jalan adalah perlindungan terbaiknya. Namun, saat kesadarannya mulai menenangkan denyut adrenalinnya, ia menyadari sesuatu yang lebih berbahaya—ia telah tersesat.Sunyi. Hanya desiran angin yang merayap di sela dedaunan dan suara langkahnya yang teredam oleh tanah basah. Hutan ini bukan tempat yang ramah, dan Fabio tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa tempat yang sunyi hanyalah latar belakang bagi sesuatu yang mengintai dalam kegelapan.Lalu ia mendengarnya.Jeritan tajam, bukan suara manusia. Bukan suara biasa. Itu adalah raungan Nyxaroth. Fabio mengangkat kepalanya, matanya menyipit dalam kegelapan saat ia mencoba menentukan arah sumber suara. Kewaspadaannya meningkat. Bukan karena ke
Malam itu langit pekat tanpa bintang, gelapnya menelan sisa-sisa cahaya yang tersisa di dunia yang telah lama kehilangan harapan. Di dalam sebuah gubuk reyot yang hampir rubuh, seorang anak tidur dengan tubuh menggigil, bukan hanya karena udara dingin yang merayapi kulitnya, tetapi juga karena kelelahan dari hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk bernapas. Tidur bukanlah tempat yang aman baginya, tetapi malam itu, ia bermimpi.Dalam mimpi itu, ia melihat ibunya—bukan sebagai mayat yang tergeletak tanpa kepala di tanah berlumpur, tetapi seperti dulu, sebelum dunia merenggutnya. Wajahnya lembut, matanya penuh kasih sayang, dan di tangannya ada sesuatu yang bersinar. Sebuah relik tua, berkilauan dengan cahaya redup, seperti api kecil yang bertahan di tengah badai. Ibunya tidak berbicara, hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya, dan tanpa berpikir, anak itu mengambilnya.Ketika ia terbangun, dadanya naik turun dengan napas tersengal, tangannya masih terasa hangat dari sentuhan ibu
Langit kelabu menggantung berat di atas kota yang dulunya megah, kini hanya menjadi sisa-sisa peradaban yang nyaris hancur. Jalanan dipenuhi lumpur, genangan air kotor bercampur darah yang telah mengering, aroma kemiskinan menyelimuti setiap sudut. Dunia ini bukan lagi tempat bagi mimpi-mimpi besar, hanya tempat bagi mereka yang cukup beruntung untuk bertahan hidup sehari lagi. Setelah perang panjang melawan Nyxaroth, umat manusia tidak menemukan kebebasan, melainkan ketakutan yang lebih pekat dari sebelumnya. Setelah kiamat, dunia tidak menemukan kedamaian—hanya peradaban yang mencoba bangkit di atas tulang-tulang mereka yang telah gugur. Namun, di masa transisi ini, kekuasaan lebih kejam dari sebelumnya. Para petinggi manusia tidak hanya sekadar memulihkan apa yang hilang, tetapi juga memastikan bahwa mereka yang berkuasa tetap berkuasa. Relik-relik sihir yang ditemukan dari reruntuhan perang menjadi alat dominasi, bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk menindas mereka. Se
Dunia telah hancur oleh peperangan, oleh keserakahan, oleh dosa-dosa yang dilahirkan oleh manusia itu sendiri. Kota-kota yang dulu megah kini hanya puing-puing yang tertimbun debu, peradaban yang dulu berkilauan kini menjadi kuburan tanpa nama, hanya diingat oleh mereka yang masih bertahan hidup di dunia yang telah kehilangan maknanya. Dalam kehancuran itu, seorang pria berjalan tanpa arah, pahlawan yang telah dicampakkan, terlupakan oleh mereka yang dulu bersorak memujanya. Ia tidak lagi mencari pengakuan, tidak lagi mencari tujuan, hanya berjalan, tanpa suara, tanpa harapan. Di suatu tempat dalam kehancuran ini, ia bertemu dengan seseorang yang tidak perlu diperkenalkan. Orang-orang menyebutnya "Penghakim." Mereka semua tahu kisahnya, bagaimana ia menyalakan api pemberontakan, bagaimana ia mengadili mereka yang berkuasa dengan cara yang paling brutal, bagaimana ia menghancurkan kerajaan yang ia anggap sebagai akar dari segala kebusukan dunia. Pahlawan tahu siapa dia. Tapi yang tid
Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun dimana seorang anak manusia pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia tumbuh mendengar kisah-kisah tentang ksatria yang membela yang lemah, tentang raja-raja yang bijaksana, dan tentang keajaiban yang turun dari surga untuk menyelamatkan dunia. Ia percaya bahwa suatu hari nanti, namanya akan tertulis di halaman sejarah, disebut dengan hormat oleh generasi mendatang. Ia percaya bahwa jika ia cukup kuat, cukup berani, cukup teguh, maka dunia akan mengenalnya sebagai pahlawan sejati. Tapi dunia tidak peduli pada mimpi anak-anak. Perjalanan itu dimulai dengan penuh harapan. Ia berlatih lebih keras dari siapa pun, bertarung melawan rintangan yang tak terhitung jumlahnya. Ia tidak punya darah bangsawan, tidak memiliki keberuntungan yang diberikan oleh keturunan suci, hanya tekad yang keras seperti baja dan hati yang menolak menyerah. Ketika akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya, pedang yang muncul dalam mimpinya menuntunnya
Kebencian adalah benih yang tumbuh dalam keheningan, perlahan merayap seperti akar yang mencengkeram tanah, menolak untuk dilepaskan. Sang Protagonis, yang dulunya hanyalah seorang anak petani miskin dengan harapan sederhana, kini telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kelam. Tidak ada lagi sisa dari pria yang pernah bermimpi menjadi prajurit kerajaan, yang percaya bahwa kehormatan dan keadilan masih memiliki tempat di dunia ini. Kerajaan telah menghancurkannya, menginjak-injak tubuh dan jiwanya hingga yang tersisa hanyalah kehampaan. Dari kehampaan itu, lahirlah sesuatu yang baru—kehendak untuk menghancurkan mereka yang pernah menghancurkannya. Ia berjalan dari desa ke desa, berbicara dalam bisikan, menyebarkan kebencian yang telah lama ada di hati rakyat tetapi selalu ditekan oleh ketakutan. Ia menceritakan kisahnya, bukan dengan air mata, tetapi dengan api yang membara di dalam matanya. Ia menunjukkan bekas luka di tubuhnya, membiarkan mereka melihat bukti nyata dari kebr
Langit kelabu menggantung di atas kota yang dipenuhi debu, rumah-rumah dengan dinding retak berdiri seperti saksi bisu atas sejarah panjang yang telah dilupakan oleh mereka yang berkuasa. Kisah ini bukan tentang seorang pahlawan yang bangkit untuk menyelamatkan dunia, bukan juga tentang seorang yang ditakdirkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Ini adalah kisah yang diturunkan dari generasi ke generasi, kisah tentang seorang anak petani miskin yang bermimpi mengangkat derajat keluarganya—dan bagaimana dunia menghancurkannya dengan kebrutalan yang tak terbayangkan, Ini adalah kisah yang diceritakan turun temurun. Sejak kecil, ia selalu melihat ayahnya membungkuk di ladang, bekerja tanpa henti untuk mendapatkan segenggam gandum demi memberi makan keluarganya. Ibunya menjahit pakaian dengan tangan kasar yang penuh luka, sementara adik-adiknya menangis kelaparan di sudut gubuk reyot yang mereka sebut rumah. Hidup dalam kemiskinan bukanlah pilihan, tetapi sebuah warisan yang dipaksakan ole